Film Anak, Sebuah Tanggungjawab Moral

Sejumlah anak bermain di obyek wisata replika Sekolah Dasar Muhammadiyah Gantong, Kabupaten Belitung Timur, Bangka Belitung, Sabtu (14/10). Replika sekolah yang menjadi latar film Laskar Pelangi itu menjadi destinasi wisata favorit daerah setempat. ANTARA FOTO/Maulana Surya/kye/17.

Oleh : Nasib TS

Secara umum industri hiburan belum memihak pada anak-anak sebagai penikmat, khususnya film. Lebih dari 10 tahun terakhir Indonesia miskin produksi film anak, kalau tidak boleh dibilang sepi sama sekali.

Sulit mencari tontonan yang sesuai dengan perkembangan pribadi anak. Kita lihat betapa langkanya produksi film anak kita. Mengapa film anak tidak menarik minat produser? Apakah anak Indonesia tidak potensi pasar?

Okelah, kita menyadari produksi film Indonesia dewasa ini adalah produk dari sistem produksi kapitalisme. Artinya, wawasan dan pendekatan produksi bertolak dari motivasi dan kondisi modal. Sasaran utama adalah kembali modal dan plus keuntungan. Apapun akibatnya tidak perlu diperhitungkan.

Kalaupun kita sepakat melihat industri hiburan dari sudut bisnis, peluang pasar film anak sebenarnya masih terbuka lebar. Lihatlah betapa anak kita menjadi pemuja tokoh idola buatan luar negeri karena kita tidak punya tokoh idola di film dalam negeri. Mengapa kekosongan ini terjadi?

Kita masih ingat, hingga tahun 80-an, film anak-anak tidak begitu sepi seperti sekarang. Sekadar menyebut beberapa judul, misalnya ada Cicha, Ratapan Anak Tiri, Koboi Cilik, Senyum di Pagi Bulan Desember, Seruling Senja, Harmonikaku dan sebagainya.

Film-film tersebut tidak hanya digemari oleh kalangan anak-anak saja, akan tetapi pendidik, orangtua dan seisi keluarga. Bahkan Ratapan Anak Tiri sempat memecahkan box office pada zamannya.

Keraguan apa buat produser? Sekadar mengenang, produksi film anak waktu itu surut sejak tren film remaja menguasai pasaran. Produser disibuki oleh film gaya remaja ketika bintang-bintang muda seangkatan Rano Karno, Roy Marten, Roby Sugara, Yesy Gusman, Lidya Kandau dan lainnya berjejal menuju puncak karirnya.

Sehingga produksi film anak terabaikan justeru bukan karena kesulitan pasar.

elainkan karena ada semacam tuntutan kebutuhan booming pasar film-film remaja waktu itu. Itulah bisnis atau pendekatan kapitalis tadi. Padahal pangsa pasar pada film anak-anak tidak bisa dibilang jelek. Sehingga setelah terlena sekian lama, terasa sulit untuk bangkit kembali sampai sekarang.

Terbuka Lebar

Dalam sejumlah kajian, peluang pasar film anak justeru memiliki alasan kuat masih terbuka lebar. Pertama, dilihat komposisi penduduk, anak-anak menempatri porsi terbesar, sehingga sebagai pangsa pasar mereka amat potensial. Pada bidang produksi di luar film potensi ini sudah terbukti dan dimanfaatkan oleh pedagang.

Contohnya, majalah anak, mainan anak dan tempat rekreasi. Dalam dunia film bila disiasati keadaan ini menjadi lahan subur.

Kedua, pergeseran sosial budaya telah mengganti cara atau gaya bermain anak. Permainan tradisional seperti galasin atau petak umpet dan gatrik sudah mulai ditinggalkan anak. Mereka beralih pada robot-robotan dan mainan elektrik lainnya.

Permainan demikian cenderung mempertemukan anak dengan mesin saja. Padahal mereka membutuhkan kontak langsung dengan bathin atau jiwa mereka. Sarana rekreasi yang dapat mempertemukan langsung dengan alam masih belum sebanding dengan kebutuhan yang ada. Nah film dapat mengisi kekosonan itu.

Ketiga, dengan kekuatannya film pada kadar tertentu memberikan ganti pendidikan yang hilang karena orangtua meeka sibuk bekerja. Kendati fungsi ini amat terasa akan tetapi belum banyak yang menyadari.

Namun diperkirakan nantinya orang akan menyadari adanya pola demikian. Dan banyak orangtua yang memberikan tontonan film kepada anaknya sekaligus berarti tuntunan kepada mereka.

Keempat, film adalah sarana sosial sebagai bahan pembicaraan, baik seasama anak-anaknya sendiri atau dengan orangtua mereka. Juga film membuka cakrawala dan pengalaman anak dan perasaan lebih peka. Lambat laun film akan disadari orang sebagai kebutuhan rohani anak yang sama pentingnya dengan gizi.

Dengan melihat isyarat di atas, kita pun meragukan sekali bila ada pernyataan yang mengklaim film anak tidak laku. Kita rindu film kembali mengisi jagad hiburan anak-anak yang kini dikuasai sajian hiburan orang dewasa.

“Penyimpangan” ini harus dihentikan demi pendidikan perkembangan mental anak. Wahai, insan film, mengembalikan kerinduan pada film anak, sebuah tanggung jawab moral!*

*)Penulis Jurnalis peminat masalah sosial dan budaya.

Close Ads X
Close Ads X