Medan | Jurnal Asia
Raut wajah penuh suka cita terpancar dari empat warga Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang sebelumnya sempat disekap oleh pengusaha sarang walet bernama Mohar, warga Jalan Brigjend Katamso, Kompleks Family, Medan Johor, yang juga sebelumnya dituding melakukan penganiayaan hingga tewas terhadap Marni Baun (24) salah seorang pekerjanya.
Saat dihadirkan di halaman Polresta Medan, empat dari 16 pekerja, masing-masing Sutri Bani (20), Deli Foni (24), Juliani Seu (19), Katerina Bako (24) dan Erni Ani Baik (25) membeberkan kekejaman Mohar dan isterinya, Hariati Ongko. Salah seorang pekerja bernama Deli Foni ketika diwawancarai mengaku sudah bekerja selama empat tahun.
“Saya diajak oleh ibu Rebecca waktu jumpa di Kota Kupang. Tahun 2010 saya mulai bekerja di Medan,” katanya, Rabu (26/2) sore. Ia menjelaskan, saat diajak ke Medan, mereka dijanjikan akan mendapatkan gaji sebesar Rp750 ribu per bulan. Setelah sepakat, Deli bersama rekannya kemudian dipekerjakan di tempat usaha Mohar.
“Waktu sampai di Medan, ternyata gaji kami hanya Rp450 ribu. Kami baru tahu waktu Marni meninggal dunia,” ujarnya.
Kendati demikian, wanita berambut ikal ini mengaku gajinya sama sekali tidak pernah dibayar. Bahkan, saat pembayaran gaji tiba, mereka hanya disodori selembar kertasĀ dan diminta menandatanganinya.
“Selama empat tahun bekerja, kami semua tidak pernah digaji. Jika waktu gajian tiba, kami hanya disuruh tandatangan. Mereka juga menutup kertasnya dan hanya menyuruh kami menandatangani bukti kami sudah terima gaji,” ucap Deli menangis.
Hal senada diungkapkan rekannya, Erni Ani Baik yang mengaku selama diperkerjakan tidak diperbolehkan menjalankan ibadah.
“Kami tidak boleh keluar rumah. Waktu kami mau keluar, pintu dan jendela ditutup rapat. Kata pak Mohar, beribadah saja masing-masing,” ujar Erni tertunduk.
Mereka mengaku, jadwal kerja dimulai sejak pukul 07.00 WIB hingga pukul 18.00 WIB, dengan satu kali istirahat pukul 12.00 WIB.
“Kalau gaji tidak pernah dikasih. Hanya dikasih makan saja. Itupun waktu makan kami selalu terlambat dan tidak tentu,” ujarnya. Selama ini, kata Erni, mereka bertugas hanya sebagai pembersih sarang walet.
“Kalau kami salah, Pak Mohar selalu maki-maki. Kadang dia mengucapkan kata-kata kotor,” ujar Erni dengan raut wajah kuyuh.
Pasca meninggalnya Marni, mereka bisa kembali menghirup udara bebas. “Sudah lama sekali saya tidak bertemu orangtua. Saya ingin pulang ke Kupang. Saya tidak mau lagi kerja di sini,” ujarnya.
Tak lama berbincang, seorang lelaki bernama Son Baik (20), warga asal Kupang yang merupakan kerabat dekat Erni Ani Baik muncul. Suasana haru tampak dalam pertemuan itu. “Adik, apa kabar mu. Sudah lama sekali kita tidak bertemu. Apa kamu sehat,” ujar Son Baik disambut isak tangis Erni. Tak lama bertemu, Son akhirnya mau bercerita.
“Saya baru tau setelah adik saya bernama Ida diselamatkan. Waktu Ida pulang ke Kupang, saudara bilang ada family kami di Medan,” katanya.
Berbekal informasi tersebut, Son kemudian berangkat ke Medan. Namun, saat menyambangi rumah Mohar, pria keturunan Tionghoa ini enggan membuka pintu.
“Saya kaget waktu dengar adik saya Marni meninggal. Disitu saya terus berusaha untuk membebaskan rekan-rekan lainnya,” ujar Son.
Namun, kata dia, setelah Marni meninggal, akhirnya ke 16 pekerja lainnya terbebaskan dari siksa keluarga Mohar. “Rencananya kami mau pulang ke Kupang. Kami bersyukur semuanya sudah bebas,” ujar pria berambut keriting ini.
Terpisah, Kasat Reskrim Polresta Medan, Kompol Jean Calvijn Simanjuntak didampingi Kanit VC/Judisila Polresta Medan, AKP Jama Kita Purba mengatakan dalam kasus ini Mohar resmi ditetapkan sebagai tersangka tunggal.
“Dia (Mohar, red) kita jerat atas pasal 2 ayat 1 UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Perdagangan Manusia dan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Saat ini dia kita tahan,” kata Calvijn.
Selain Mohar, kata Calvijn, sebenarnya ada tersangka lain. Ia adalah Rebecca. Wanita paruh baya yang ditaksir berusia 40-an tahun ini berperan sebagai penyalur tenaga kerja.
“R sebenarnya DPO kita. Tapi kita mendapat kabar jika dia sudah diamankan di Kupang,” katanya.
Polda Kupang juga telah menahan seorang tersangka lainnya bernama Juli yang membantu Rebecca menyelundupkan anak dibawah umur.
“Soal penahanan, kita akan koordinasi. Saat ini kita fokus menuntaskan kasusnya,” ujar Calvijn.
Soal izin ketenagakerjaan para pekerja, kata Calvijn, merupakan urusan Pemko Medan. “Kita hanya fokus menangani pelanggaran terhadap anak dibawah umur. Kalau izin, mungkin itu ke Pemko Medan,” ujarnya.
Pantauan wartawan, para pekerja diungsikan sementara ke Kantor KPAID Sumut Jalan Perintis Kemerdekaan. (Bowo)
Derita Pekerja Asal Kupang Empat Tahun tak Digaji dan Dilarang Beribadah
Posted 27 Feb 2014 09:00, 63 views