Problematika Berbahasa Indonesia

Oleh : Otniel Wijaya Napitupulu
Bahasa Indonesia memiliki peran penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Peran ini tampak di dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia.Komunikasi pada berbagai kegiatan masyarakat telah memanfaatkan bahasa Indonesia, di samping bahasa daerah sebagai wahana untuk membangun kesepahaman, kesepakatan, dan persepsi. Hal ini memungkinkan terjadinya kelancaran pembangunan nasional.

Sebagian penutur bahasa Indonesia belum menunjukkan sikap yang positif. Sikap yang demikian tercermin melalui kecenderungan pemakainya, antara lain penggunaan kosa kata asing,pemfeodalan bahasa dan penggunaan eufemisme yang berlebihan. Kecenderungan ini berimplikasi terhadap penggunaan bahasa Indonesia standar.

Kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia,baik sebagai nasional maupun sebagai bahasa resmi negara telah dijelaskan dan diuraikan dalam politik bahasa nasional. Walaupun demikian, dalam usia negara Republik Indonesia yang ke-71 ini,ternyata masih banyak ditemukan persoalan yang mendasar tentang pemakaian bahasa Indonesia.

Realitas yang ditemui menujukkan bahwa sikap negative berbahasa masyarakat penutur bahasa Indonesia. Maksudnya, sikap bangga memiliki bahasa nasional belum terimplikasi secara utuh dalam penggunaaan bahasa Indonesia. Sikap yang demikian dapat dilihat melalui kecenderungan penutur bahasa Indonesia dewasa ini.

Penutur Bahasa Indonesia
Masyarakat penutur memiliki andil yang sangat besar dalam mengembangkan kosakata. Hal ini dapat dipahami karena pada prinsipnya kosakata suatu bahasa itu lahir akibat kebutuhan para penutur untuk mengkomunikasikan ide, pengetahuam, perasaan dan hasil pengamatannya.

Masyarakat yang kegiatannya terbatas, seperti masyakarat suku-suku terpencil hanya memiliki kosakata yang terbatas jumlahnya. Sebaliknya masyarakat yang terbuka yang anggota-anggota masyarakatnya mempunyai kegiatan yang sangat luas memiliki kosakata yang sangat banyak. Kenyataan menunjukkan bahwa suatu bangsa tidak terlepas dari perkembangan masyarakat penuturnya. Masyarakat yang maju, semakin besar kebutuhannya, sehingga semakin kaya pula perbendaharaan kosakata bahasanya (Chaer, 1995:47).

Pernyataan di atas sejalan dengan pernyataan Badudu (1993:3) yang menyatakan bahwa makin rendah peradaban suatu masyarakat, semakin sederhana bahasanya karena anggota-anggotanya dari masyarakat itu hanya membutuhkan simbol-simbol sederhana untuk menyatakan keinginan, kemauan, atau perasaan dan hasil pemikirannya.

Kebudayaan dan peradaban yang semakin berkembang, memperluas jangkauan pemikiran penggunaan bahasa. Karenanya, dibutuhkan bahasa yang berkemampuan tinggi untuk menyatakan semua yang dipikirkannya.

Untuk memenuhi kebutuhan itu, penutur akan menggunakan kata dan istilah yang sesuai profesinya sekalipun harus meminjam kosakata bahasa asing. Faktor sosial-kultural bangsa Indonesia memberikan peluang yang besar untuk berlangsungnya proses peminjaman bahasa yang demikian. Hal ini menjadi kecenderungan penutur bahasa, bahkan sudah dianggap lazim dalam berbahasa.

Penutur bahasa Indonesia dengan ragam profesi cenderung menggunakan kata-kata baru dalam bahasa Indonesia . Masyarakat penutur pada kalangan pengusaha dan pengendali ekonomi tidak henti-hentinya memasukkan kata dan istilah baru yang berkaitan dengan masalah ekonomi, seperti dana amortisasi, dividenagio, klausula perpanjangan polis, dan sebagainya (Depdikbud, 1995: 3-4).

Masyarakat penutur dari kalangan intelektual cenderung mempergunakan kata dan istilah baru sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, seperti mutsubishi, kontroversional, komputerisasi dan lain-lain. Dari kalangan pendidikan, mereka juga ada istilah playgroup, achievementtest, placementtest, dropout, output, dan input.

Kecenderungan ini, biasanya disertai dengan berbagai alasan, misalnya untuk kepentingan pendidikan, perdagangan antarnegara, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan sebagainya. Atas dasar kepentingan apapun dapat diterima jika penggunaannya sudah dibakukan atau sudah disaring berdasarkan ejaan bahasa yang disempurnakan dan pedoman umum pembentukan istilah bahasa Indonesia .

Akan tetapi, realitas yang sering ditemukan, kata dan istilah asing dipergunakan tanpa berpedoman kepada kaidah yang telah ditentukan. Bahkan, bahasa asing ini seolah-olah sudah menjadi bahasa resmi penutur bahasa Indonesia . Di berbagai instansi, kata atau istilah asing yang ditemukan untuk nama suatu ruangan, misalnya: meeting room, operation room, toilet. Pada pintu tertulis in, exit, pull, push, open dan lain-lain.

Selain hal di atas, juga ditemukan kecenderungan yang dapat merusak ketertiban bahasa Indonesia. Kecenderungan ini terlihat antara lain adalah adanya pemfeodalan bahasa dan pemakaian gejala eufimisme yang berlebihan. Kecenderungan pemfeodalan bahasa dalam keseharian.

Kata-kata yang biasanya digunakan di ganti dengan kata lain yang dianggap lebih sopan, halus dan terhormat. Kecenderungan berbahasa seperti ini biasanya tampak dalam bahasa Jawa, Sunda, dan Bali . Jika seseorang akan berbicara dengan orang yang lebih tinggi kedudukannya, dia menggunakan kata-kata tertentu. Kebiasaan seperti ini menular ke dalam bahasa Indonesia.

Kecenderungan pemfeodalan bahasa ini terlihat pada pemakaian kata aku, saya dan kami. Seorang bawahan berbicara kepada atasan, misalnya ia tidak akan menggunakan aku karena terasa kurang hormat. Oleh karena itu, seorang bawahan akan menggunakan kata saya dalam situasi seperti itu. Akan tetapi, ketika ia berbicara dengan orang yang sederajat atau orang yang lebih rendah kedudukan sosialnya, ia akan menggunakan kata aku. Penggunaan kata aku tidak terasa kasar, bahkan dengan teman sebaya dirasa lebih akrab.

Selanjutnya, eufemisme pun sudah melampaui batas kebenaran makna dari suatu kata atau istilah. Gejala eufemisme akhirnya cenderung untuk memanipulasi suatu kenyataan yang kurang menyenangkan masyarakat. Untuk menyebutkan tarif dinaikan digunakan istilah disesuaikan, utang luar negeri diganti dengan bantuan luar negeri, rumah tahanan atau penjara ditukar dengan lembaga pemasyarakatan, menderita kelaparan dimanipulasi dengan kurang pangan, dan lain-lain.

Kecenderungan di atas memperlihatkan bahwa sikap negatif penutur bahasa Indonesia. Dengan kata lain, rasa bangga memiliki bahasa Indonesia belum teraplikasi secara utuh. Sehubungan dengan itu, kecenderungan masyarakat penutur di atas perlu diminimalkan untuk tidak menyebut dimusnahkan karena kecenderungan seperti itu akan menyebabkan gangguan yang cukup berarti di dalam perkembangan bahasa Indonesia.

Masyarakat penutur memiliki peranan yang urgen dalam pertumbuhan dan perkembangan bahasa. Sehingga apa yang menjadi kecenderungan masyarakat penutur selalu berimplikasi terhadap pertumbuhan dan perkembangan bahasa. Dengan mencermati fenomena yang ada, diketahui bahwa ada beberapa kecenderungan negatif pada masyarakat penutur yang dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan bahasa Indonesia.

Untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan, maka perlu dilakukan upaya pembinaan yang terkait dengan pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya kegiatan-kegiatan penyebarluasan informasi dan peneladanan dalam rangka pembinaan bahasa Indonesia ke seluruh lapisan masyarakat. Atas dasar itu, diharapkan peran serta dari semua kalangan, terutama media massa (cetak maupun elektronik), kalangan dunia usaha, para ilmuan,dan para penerbitan.
*) Penulis Mahasiswa Fakultas Pendidikan Bahasa & Sastra Indonesia Universitas HKBP Nommensen Medan

Close Ads X
Close Ads X