Politikus “Pelihara” Wartawan

reporterMUNGKIN banyak wartawan yang tersinggung ketika mantan Ketua Mahkamah K o n s t i t u s i Mahfud MD mengatakan banyak politikus “memelihara” wartawan. Memelihara wartawan oleh politikus dilakukan guna kepentingan Pemlihan Umum 2014. Tak hanya itu yang dikatakan Mahfud, politikus itu juga kerap membeli berita atau memesan pemberitaan di media massa yang mendukung tujuannya.

Untuk memesan berita itu para politikus dikabarkan menyiapkan anggaran hingga Rp400 miliar. Apa yang dikatakan oleh Mahfud itu sebenarnya bukan sebuah kejadian yang baru terjadi. Apa yang dikatakan itu sudah lama ada namun oleh pria asal Madura itu dibeberkan kembali.

Memelihara wartawan oleh para politikus prosesnya tentu tidak secara instan. Politikus itu bisa memelihara wartawan dan wartawan mau dipelihara politikus karena mereka sering bertemu dan berkomunikasi. Kalau meminjam pepatah dari bahasa jawa, mereka terjebak pada witing tresno jalaran saking kulino.

Dari situasi itulah mereka saling membutuhkan, sang wartawan membutuhkan berita dari sumbernya langsung dan sang politikus membutuhkan media untuk mengemukakan sikapnya. Semakin menjamurnya media dan kecepatan waktu untuk menyajikan berita kepada masyarakat maka hubungan antara politikus semakin intim, dengan SMS keduanya bisa janjian wawancara atau dengan SMS pula politikus itu bisa mengemukakan sikap-sikap politiknya.

Semakin intim hubungan itu, maka wartawan semakin mudah untuk mengakses atau berkomunikasi dengan sumber berita (politikus) bahkan hubungan itu berjalan selama selama 24 jam. Wartawan tak sungkan meng-SMS atau menelpon politikus pada tengah malam dan politikus pun siap mengemukakan sikapsikap politiknya pada saat itu juga.

Seiring dengan berjalannya waktu, sepertinya saling membutuhkan itu menyimpang dari kaidah-kaidah yang ada. Hubungan dari profesional menjadi hubungan seperti yang dimaksud oleh Mahfud tadi. Itu bisa terjadi karena sang politikus merasa senang sikapnya
dikabarkan kepada khalayak umum.

Sikapnya yang mungkin prorakyat itu akan meningkatkan popularitas dirinya. Ketika sang politikus sudah terangkat citranya, rupanya ia tidak lupa akan jasa-jasa si wartawan, sehingga dia dengan sadar atau tidak, terpaksa atau ikhlas, akan memberikan insentif atau gratifikasi, kalau bahasa kasarnya amplop, kepada wartawan itu.

Meski seluruh media cetak di dalam kotak susunan redaksi menegaskan wartawannya dilengkapi dengan kartu pengenal dan dilarang menerima bingkisan dalam bentuk apapun namun aturan itu hanya sebuah pesan yang tertulis.

Kenyataannya banyak wartawan yang mau menerima amplop itu, meski tidak semuanya, baik secara terangterangan maupun sembunyi-sembunyi. Para wartawan sudi menerima insentif itu bisa jadi dikarenakan gaji dari perusahaannya kecil, bisa juga karena dia butuh banyak duit di tengah semakin meningkatnya kebutuhan hidup, mungkin akibat BBM naik, biaya sekolah anaknya yang semakin mahal, atau karena tidak adanya jaminan sosial dari pemerintah kepada wartawan.*) Penulis adalah Pengamat Sosial Politik

Close Ads X
Close Ads X