Oleh : Lidia, S.Pd.I
Dalam pembentukan kepribadian peserta didik sebagai agent of change, pendidikan karakter sangat memiliki peran besar. Sebab dalam sejarah peradaban di seluruh dunia pada kenyataanya telah mampu membuktikan bahwa beberapa negara yang memiliki karakter kuat dapat menunjukkan kepada dunia kemajuan dan kesejahteraan bangsanya, namun sebaliknya negara yang memiliki karakter yang lemah mereka nyaris tidak punya kontribusi bermakna pada kemajuan dunia.
Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Marcus Tulius Cicero, seorang cendekiawan Republik Roma, bahwa kesejahteraan sebuah bangsa bermula dari karakter kuat warganya. Demikian juga Arnold Toynbee, seorang sejarawan ternama, pernah mengatakan bahwa dari dua puluh satu peradaban dunia yang dapat dicatat, sembilan belas diantaranya hancur bukan karena penaklukan dari luar, melainkan karena lemahnya karakter, sehingga tidak memiliki kontribusi apapun pada kemajuan dunia.
Fenomena yang tidak dapat dipungkiri juga terjadi di Indonesia, bahwa masyarakat modern saat ini memiliki kecenderungan akan ketidakberdayaan untuk membedakan mana yang menjadi kepentingan pribadi, dan mana yang menjadi kepentingan umum, sehingga menyeret sebagian masyarakat memiliki sifat egois, arogan dan memiliki pribadi perusak.
Sehingga yang ditampilkan sebagai dampak nyata adalah merembaknya korupsi, kolusi dan nepotisme, kebebasan seksual, penindasan dalam perilaku anarkisme masa, dan beragam perilaku negatif lainnya. Maka dari fenomena yang terjadi di Indonesia jika diakumulasikan maka yang menjadi akar permasalahanya adalah adanya krisis karakter.
Untuk mengatasi krisis karakter di negeri ini yang semangkin kronis, maka peran pendidikan sangat dituntut untuk bekerja lebih maksimal lagi. Meskipun telah diakui bahwa ada menunjukkan kegagalan sebuah system pendidikan dalam membangun karakter suatu bangsa, namun bukanlah sebuah keterlambatan untuk melakukan evaluasi dan perbaikan, dalam membangun karakter dalam kehidupan generasi suatu bangsa.
Menurut William Kilpatric, salah satu penyebab seseorang tidak mampu berperilaku baik meskipun pada dasarnya dia telah memiliki pengetahuan tentang kebaikan itu adalah karena ia tidak terlatih atau tidak terbiasa untuk melakukan kebaikan itu.
Maka dari pemikiran tersebut, keberhasilan pelaksanaan pendidikan karakter tergantung kepada bagaimana pendidik dalam mendidik mampu menerapan ketiga pilar pendidikan karakter tersebut, yaitu: Pertama, Moral Knowling.
Dalam pendidikan karakter tahapan ini merupakan tahapan pertama, dimana tahapan ini bertujuan untuk memberikan penguasaan pengetahuan kepada siswa akan nilai-nilai.
Moral knowling adalah pembentukan karakter dalam domain kognitif, yang dalam hal ini Implementasinya adalah sejauh mana individu dapat mengambil hikmah maupun pelajaran di balik setiap peristiwa sebagai bentuk pengalaman yang berharga bagi dirinya untuk meningkatkan kualitas hidupnya.
Kedua, Moral feeling. Tahapan ini dapat juga dikatatakan sebagai penguatan aspek emosi (afektif) bagi peserta didik agar mereka tumbuh menjadi individu yang berkarakter. Karena itu Hernowon, mengemukakan bahwa bersikap merupakan keberanian untuk memilih secara sadar. Kemudian selanjutnya ada kemungkinan untuk ditindklanjuti dengan mempertahankan pilihan tersebut lewat argumentasi yang diyakininya. Sikap tidak dapat diajarkan secara teoritis.
Namun Transfer sikap dapat dilakukan secara efektif melalui pemberian teladan dari seorang guru pada murid atau orang tua pada anak. Maka sangat tidak mengherankan bila dilingkungan sekitar kita banyak mengalami kemerosotan moral yang tentunya berindikasi sikap di dalamnya dikarenakan minimnya teladan yang baik yang seharusnya menjadi sumber dalam pembentukan sikap yang positif bagi perkembangan karakter anak.
Ketiga, Moral doing. Manusia lahir sebagai makhluk sosial. Sebab itu, sebagai makhluk sosial keberhasilan manusia dapat diukur dari sejauh mana keberdaannya dapat meberi manfaat bagi manusia lainnya. Untuk menjadi manusia yang bermanfaat bagi orang lain tidak lah mudah, butuh adanya usaha, termasuk juga potensi dan ketrampilan.
Hal ini yang harus menjadi perhatian setiap kalangan, terutama orangtua dan guru. Dengan memperhatikan hal tersebut orangtua maupun guru dapat merencanakan agar proses pembelajaran yang hendak dilakukan agar diarahkan pada pembentukan kompetensi siswa yang tidak saja hanya berkontribusi pada kehidupannya, namun juga member manfaat bagi kehidupan orang lain.
Dengan demikian, ketiga pilar di atas merupakan komponen dasar yang merupakan satu kesatuan yang kontinyu dalam perkembangan moral anak. dan dengan mempelajari perkembangan moral pada anak akan sangat bermanfaat sebagai dasar pengetahuan untuk melaksanakan pendidikan karakter.
Sebab pada dasarnya karakter seseorang akan tampak pada kebiasaannya sehari- hari. Karena itu, untuk menumbuhkan karakter yang baik pada anak, maka perlu peran dari semua pihak, terutama orangtua dan guru.
*)Penulis Alumni FAI UMSU.