Permasalahan Pengangguran Intelektual

Oleh : Sagita Purnomo
Pengangguran menjadi salah satu persoalan pelik yang sedang dihadapi bangsa Indonesia. Setiap tahunnya jumlah para pencari kerja terus bertambah drastis tidak sebanding dengan kesempatan kerja yang tersedia. Lebih parahnya lagi, kebanyakan pengangguran masa kini berasal dari kaum intelektual yang menyandang gelar sarjana.

Para sarjana tidak memiliki bekal soft skill diluar bidang studi (jurusan kuliah) cenderung mengalami kesulitan dalam berkompetisi dan mencari pekerjaan. Kondisi ini semakin diperburuk dengan budaya pilah-pilih antara jenis pekerjaan dan upah yang sangat melekat dikalangan para sarjana, akibatnya angka pengangguran intelektual terus membengkak.

Kurikulum dan sistem pen­didikan yang diadopsi per­guruan tinggi juga turut andil dalam menyumbang angka pengangguran intelektual. Banyak uni­versitas yang tidak membekali mahasiswanya dengan program manajemen kewirausahaan sebagai alternatif atau bekal tambahan untuk mengarungi kehidupan sesungguhnya diluar dunia kampus. Akibatnya, para sarjana hanya berkutat dan me­ngandalkan izajah untuk mencari kerja kesana-sini tanpa menyadari bahwa menjadi seorang wirausaha justru jauh lebih menguntungkan dibandingkan harus pontang-panting melamar pekerjaan.

Dalam mencari pekerjaan faktor jaringan/relasi juga sangatlah menentukan, bagi sarjana yang hanya mengedepankan kebut kuliah dengan IPK tinggi, tanpa membekali dirinya dengan relasi luas dengan berbagai kalangan, tentu saja akan mengalami kesulitan tersendiri. Hal ini menjadi dosa terbesar kampus yang memaksa mahasiswanya untk sesegera mungkin menyelesaikan studi tanpa membekali diri dengan soft skill dan relasi yang baik.

Ironi
Tuntutan dunia kerja semakin tinggi, mereka menginginkan sarjana multitalenta dengan kemampuan beradaptasi dan manajemen relasi yang ber­kualitas. Tidak selamanya nilai akademik selalu menjadi pa­tokan utama untuk menempati satu posisi strategis dalam se­buah perusahaan. Tuntutan inilah yang paling sulit untuk dipenuhi universitas melalui alumni-alumninya yang sedang bersaing keras mendapatkan lapangan pekerjaan di luar sana.

Kondisi ini menjadi sebuah dilema yang sangat menyayat hati, menyaksikan kumpulan kaum intelektual yang harusnya memberi kontribusi besar bagi masyarakat dan bangsa, justru menjadi beban atau bahkan yang paling buruk sampah masyarakat.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2014 di Indonesia ada 9,5 persen (688.660 orang) dari total penganggur yang merupakan alumni perguruan tinggi. Angka pengangguran terdidik pada 2014 itu meningkat dibandingkan pada 2013 yang hanya 8,36 persen (619.288 orang) dan pada 2012 sebesar 8,79 persen (645.866 orang).

Mungkin pernyataan penulis mengenai pengangguran intelektual sangatlah kasar, namun inilah kenyataannya. Sarjana dengan keahlian khusus, justru tidak dapat memberi kontribsi apapun bagi masyarakat dan lingkunganya.

Menyadari akan hal tersebut, Wakil Rektor I Institut Teknologi Medan (ITM) Ir Hermansyah Alam MT, mengatakan bahwa pemerintah harus bisa mencari solusi dari keterpurukan bangsa akibat pengangguran intelektual ini. Ke depannya, pemerintah lebih memperhatikan nasib rak­yat, khususnya sarjana In­donesia Sebaiknya pemerintah dan perguruan tinggi harus be­ker­jasama, sehingga bisa menekan jumlah pengangguran dan tenaga lulusan perguruan tinggi bisa diberdayakan.

Kondisi itu berbeda dengan Malaysia yang peduli dengan perguruan tinggi. Cara yang mereka lakukan, yaitu dengan membuat suatu kerjasama antara perguruan tinggi dengan pihak industri. Itu membuktikan pemerintah memberikan ke­percayaan kepada anak bangsa sendiri untuk mengelolah hasil industrinya.

“Sedangkan pe­merintah kita masih krisis kepercayaan kepada perguruan tinggi serta kurang percaya diri dengan kualitas produknya. Padahal selama ini selalu me­ngi­ngatkan untuk mencintai produk dalam negeri,” tukas Herman. (JurnalAsia.com)

Pemerintah tidak dapat dijadikan kambing hitam seorang diri, pihak universitas dan sarjana yang bersangkutan juga harus turut berbenah memperbaiki kelemahan yang ada. Tanpa adanya sinergi dan pembenahan kualitas dari masing-masing pihak, masalah penganguran intelektual akan sangat sulit untuk diatasi. Persoalan pengangguran memegang peran penting dalam upaya pemerintah menekan angka kemiskinan.

Selain men­ciptakan lapangan kerja sebanyak mungkin, pemerintah hendaknya juga dapat membantu masyarakatnya, khsusnya para sarjana untuk berwirausaha. Banyak sarjana yang ingin men­coba berwirausaha, namun mengalami kendala dalam urusan modal, sementara pihak bank terkesan tutup mata menghadapi kenyataan ini.

Semoga kedepanya angka pengangguran intelektual dapat berkurang sampai ke titik terendah. Bagimanapun juga sarjana harus dapat memberi kontribusi bagi masyarakat dan negera dengan keahlian khusus yang dimilikinya, bukan hanya mengandalkan izajah dan melamar pekerjaan di mana-mana, apalagi jika hanya menggantungkan cita-cita untuk sekedar menjadi PNS.
*) Penulis adalah Alumni FH UMSU

Close Ads X
Close Ads X