Kultur Penegak Hukum Kita

Hukum di Indonesia seolah telah mencapai titik nadir, telah mendapat sorotan yang luar biasa, dari dalam negeri maupun internasional.

Proses penegakkan hukum acap dipandang bersifat diskriminatif, inkonsistensi dan mengedepankan kepentingan kelompok tertentu”,(Gelgel, dalam Muladi, 2005:35).

Jika dicermati lebih teliti maka pada hakikatnya kulturlah yang menentukan karena kultur terebut tidak saja dipandang dari sisi eksternal seperti kesadaran hukum masyarakat pada umumnya, tapi juga kultur tersebut harus dipandang sebagai kultur dalam lingkup internal lembaga penegak hukum seperti Polisi, Hakim Jaksa, Advokat, dan KPK. Melalui kultur internal yang baik, maka perjalanan bagi sebuah proses bekerjanya hukum akan baik.

Dengan tumbuh kembangnya kultur yang baik dalam lingkup lembaga penegak hukum diharapkan tidak ada pandangan-pandangan dan tindakan-tindakan yang bersifat parsialitas dan ego sektoral, di mana masing-masing lembaga hanya memikirkan lembaganya masing-masing bukan memikirkan masyarakat, bangsa dan Negara Republik Indonesia.

Guna menegakan hukum dan sekaligus menciptakan kepercayaan publik diperlukan kultur kolektif di antara penegak hukum itu sendiri. Satjipto Rahardjo berpendapat bahwa kultur kolektif, jaksa, hakim, polisi, advokat akan mampu bekerja sama dalam memberantas korupsi, (Rahardjo, 2009:46). Tentu kultur kolektif tersebut bukan hanya diperlukan bagi pemberantasan korupsi semata tetapi juga bagi proses bekerjanya hukum pidana dalam sistem hukum.

Kultur kolektif ini perlu disadari dan diperhatikan dengan baik oleh setiap orang yang bekerja dalam sistem hukum, bahwa hukum (komponen substansi) dalam rumusan-rumusan yang terkandung dalam bentuk peraturan-peraturan atau teks-teks hukum merupakan benda mati yang bersifat abstrak. Sebagai benda mati dan abstrak ia memerlukan komponen penggerak yaitu struktur, agar hukum tadi hidup dan menjelma dalam wujud

Perkembangan penegakan hukum dari waktu ke waktu di Indonesia menunjukkan tingkat kualitas penegak hukum yang semakin merosot dan masuk pada titik rawan atau berada pada kondisi yang memprihatinkan.

Mulai dari lembaga kepolisian, kejaksaan sampai pada lembaga kehakiman ternyata sangat rentan dari prilaku menyimpang. Baik dalam bentuk kekerasan terhadap tersangka, terdakwa atau pada mereka yang dijadikan target sebagai pelaku yang sebenarnya tidak bersalah. Sampai pada bentuk penyimpangan prilaku berupa penerimaan suap, bahkan pemerasan. Yang lebih mencengangkan penyimpangan prilaku tersebut juga mewarnai oknum lembaga KPK dan Mahkamah Konstitusi, yang seharusnya menjadi panutan bagi masyarakat bagi ketaatannya terhadap hukum.

Apabila kondisi ini tetap dibiarkan, atau setidak-tidaknya terdapat ketidakseriusan dalam penangannya, maka hukum tak lagi dapat dijadikan pijakan bagi masyarakat dalam melakukan interaksi sosial, bahkan hukum pidana tak akan dapat menjalankan fungsi dan tujuannya dengan baik dalam melakukan pencegahan khusus maupun umum terhadap kejahatan. Von Feuerbach dengan ajaran paksaan psikologisnya menyatakan bahwa “agar rakyat berbuat menurut hukum, maka tiap-tiap pelanggar undang-undang (hukum) harus sungguh-sungguh dipidana”, (D. Schaffmeister, dkk, 1995:5).

Pemberian sanksi terhadap setiap pelanggar pada hakikatnya mempunyai fungsi pencegahan secara khusus maupun secara umum. Pencegahan khusus tersebut akan dapat memberikan efek jera pada si pelaku, dan pencegahan umum dapat berpengaruh secara psikologi terhadap masyarakat agar tidak melakukan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang (hukum).

Pencegahan umum tersebut menurut van Veen memiliki fungsi untuk menegakan wibawa pemerintah, menegakan norma dan membentuk norma (J.M. van Bemmelen, 1984:28). Jadi dengan demikian penerapan hukum terutama bagi penegak hukum yang melanggar akan memiliki efek yang strategis bagi ketaatan masyarakat terhadap hukum, oleh karenanya hal tersebut harus dilakukan secara serius.

Tanpa keseriusan dalam penegakan hukum, khususnya dalam lapangan hukum pidana, maka pelanggaran demi pelanggaran terhadap hukum akan terus terjadi, dan untuk selanjutnya kewibawaan negara sebagai negara hukum akan menjadi pertaruhan. Jika kondisi ini terus menerus dibiarkan maka akan terjadi mistrust and distrust terhadap penegak hukum dan hukum itu sendiri dihadapkan masyarakat. Berkaitan dengan persoalan-persoalan di atas, maka wajar apabila Harkristuti Harkrisnowo menegaskan bahwa stigma negatif masyarakat terhadap aparat penegak hukum di Indonesia dewasa ini merupakan suatu situasi yang sangat menyedihkan semua pihak.
Muhammad Ihsan M.Hum, Dosen UMSU

Close Ads X
Close Ads X