Kiamat Telekomunikasi Indonesia Dimulai

Oleh: Willy Sakareza

telekomunikasiCuaca buruk yang disertai oleh awan mendung dan sambaran kilat, mulai tanggal 8 Juli 2013, berubah semakin buruk dengan turunnya badai hujan besar yang ditandai dengan jatuhnya korban anak manusia. Tidak, badai ini tidak sedang berlangsung di dunia nyata, melainkan bagi dunia bisnis layanan telekomunikasi Indonesia yang seakan sudah memasuki era kiamat.

Ketokan palu hakim pengadilan tindak pidana korupsi di Jakarta sore hari itu seakan menyertai turunnya halilintar vonis bersalah kepada anak manusia bernama Indar Atmanto. Indar, yang merupakan mantan Direktur Utama IM2, dianggap secara ilegal menggunakan frekuensi telekomunikasi untuk kepentingan bisnis IM2.

Frekuensi yang sejatinya dimiliki oleh perusahaan induk IM2, yaitu Indosat, dianggap hakim dan jaksa tidak boleh dialihkan kepada perusahaan lain dengan alasan apapun. Jika dialihkan, maka negara dianggap mengalami kerugian yang sangat besar karena kehilangan potensi pendapatan melalui pungutan izin menggunakan frekuensi.

Ironisnya, anggapan para penegak hukum ini berbeda dengan dalil yang dikeluarkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika selaku perwakilan pemerintah dalam mengurusi layanan telekomunikasi. Di sini sudah terlihat jelas bagaimana antar institusi pemerintah di kalangan eksekutif dan yudikatif tidak sinkron dalam penyusunan dan penegakan regulasi/hukum.

Semakin ironisnya lagi, dasar hukum dari dakwaan jaksa yang menilai Indar dan IM2 melakukan tindak pidana korupsi, dianggap tidak sah oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Laporan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang dijadikan senjata utama Kejaksaan Agung telah diputuskan oleh PTUN untuk ditangguhkan, sehingga secara hukum, berkas tersebut tidak dapat digunakan sebagai bukti hukum.

Siapa Rugi, Siapa Untung?

Jika ditanya, siapa yang dirugikan oleh hasil putusan ini? Secara umum, rakyat Indonesia dan negara menjadi objek penderita. Mengapa? Saya akan ulas satu per satu.

Layanan telekomunikasi khususnya internet, harus diakui telah menjadi kebutuhan pokok bagi sebagian besar rakyat Indonesia. Khususnya di kota-kota besar, layanan internet seakan telah memiliki pengaruh sangat kuat bagi pendukung aktivitas masyarakat. Tidak percaya? Data statistik menunjukkan bahwa pengguna internet mencapai angka lebih dari 60 juta penduduk Indonesia atau hampir seperempat dari populasi rakyat Indonesia menjadi penikmat layanan internet.

Namun ingat, satu penduduk Indonesia bisa saja menggunakan internet dari berbagai media seperti media tidak bergerak (komputer dan laptop), hingga media bergerak seperti telepon dan perangkat seluler lainnya. Sehingga secara kebutuhan, diyakini semakin banyak kebutuhan internet di Indonesia.

Menurut hasil riset Markplus, pengguna layanan internet didominasi oleh kalangan ekonomi menengah dan sebagian besar adalah anak-anak muda. Layanan internet pun tidak melulu digunakan untuk tujuan hiburan semata, namun juga sebagai sarana utama bisnis hingga aktivitas ekonomi melalui transaksi perdagangan online.

Jika data-data tersebut dianggap kurang memuaskan, saya akan bertanya kepada Anda, apa yang anda rasakan jika saja layanan telekomunikasi di telepon seluler Anda tidak bisa dipakai setidaknya satu hari saja atau bahkan satu jam saja. Saya yakin, Anda akan merasa kesal dan membombardir layanan pelanggan di setiap operator telekomunikasi atau internet.

3 Hari terakhir, jaringan koneksi Blackberry mengalami gangguan dan seperti kita ketahui, jumlah pengguna Blackberry di Indonesia masih salah satu yang terbesar di antara perangkat lainnya. Itupun berbagai lapisan masyarakat sudah mengeluhkan situasi tersebut hingga memaksa Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk mengambil tindakan tegas.

Apa pengaruh vonis ini terhadap masyarakat? Sangat besar! Karena putusan hakim ini dapat menjadi dasar penegak hukum untuk turut mengusut kontrak kerjasama serupa yang dilakukan oleh perusahaan telekomunikasi lain. Buktinya, pada bulan Februari 2013 lalu, sebuah lembaga swadaya masyarakat bernama Realisasi Implementasi Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (RUP-KKN) telah melaporkan lima operator telekomunikasi dan enam belas perusahaan penyedia jasa layanan internet ke Kejaksaan Agung karena memiliki kontrak kerjasama yang relatif sama dengan Indosat dan IM2.

Secara linier, mereka pun harus diusut dan memiliki potensi besar untuk divonis bersalah, jika kita bandingkan dengan kasus Indar Atmanto. Akibat akhirnya, layanan telekomunikasi untuk rakyat pun akan hancur. Pertanyaan mudahnya, jika para penyedia layanan telekomunikasi dijatuhi vonis bersalah secara hukum yang berimbas pada ketersediaan layanan telekomunikasi, maukah rakyat Indonesia kembali menggunakan cara berkomunikasi seperti sebelum adanya telepon seluler dan bahkan internet?

Lalu, apa ruginya bagi negara? Bukankah negara ‘diuntungkan’ oleh terkuaknya tuduhan korupsi ini? Jawabannya, tentu tidak. Menurut vonis hakim, IM2 didenda 1,3 Triliun Rupiah sebagai hukuman. Namun, perputaran angka rupiah di bisnis ini secara total tidak sampai 1 persen dari hukuman denda tersebut.

Ya, pendapatan tiga perusahaan telekomunikasi terbesar yaitu Telkom, Indosat, dan XL Axiata di tahun 2012 saja sudah menembus angka 100 Triliun Rupiah. Apalagi jika ditambah dengan pendapatan operator dan perusahaan telekomunikasi lain?

Negara pun menerima pendapatan bukan pajak dari sektor telekomunikasi dengan angka yang cukup besar. Setiap tahun, tidak kurang dari 11 Triliun Rupiah disumbangkan oleh para penyedia layanan ini.

Setiap tahun pula, penetrasi internet menunjukkan peningkatan yang baik. Menurut survei International Telecommunication Union (ITU), peningkatan penetrasi internet memiliki dampak yang cukup signifikan terhadap peningkatan penerimaan domestik bruto. Terbukti, di tahun 2012 lalu, Badan Pusat Statistik mencatat kontribusi telekomunikasi terhadap PDB sebesar 3,2% atau lebih dari 260 Triliun Rupiah. Bandingkan dengan subsidi BBM di tahun 2012 yang mencapai 212 Triliun Rupiah.

Apakah dapat dibayangkan seberapa besar kerugian negara jika layanan telekomunikasi dan juga bisnisnya mengalami gangguan yang masif? Relakah negara kehilangan pendapatan dan eskalator ekonomi yang sedemikian berpengaruhnya?

Jika ada yang dirugikan, seharusnya ada yang diuntungkan. Pertanyaannya adalah, siapa yang diuntungkan? Tentu saja pihak-pihak yang dapat mengambil kesempatan dari segi bisnis. Seperti kita ketahui, pihak asing memiliki porsi terbesar dalam kepemilikan Indosat dan seruan untuk menasionalisasi perusahaan ini telah berkembang sejak lama. Kisruh ini, apalagi dengan adanya vonis bersalah bagi salah satu eksekutifnya, tentu berdampak negatif terhadap nilai jual perusahaan yang ditandai dengan harga saham. Paling mudah, kita bisa memantau harga saham yang merosot dalam beberapa hari ke depan.

Jika harga saham jatuh, maka peluang untuk menasionalisasi perusahaan yang pernah dimiliki oleh negara ini akan semakin besar. Itu pun kalau memang pemerintah mau membeli kembali saham perusahaan ini atau setidaknya pengusaha dalam negeri. Bagaimana kalau yang ternyata mengakuisisi Indosat tetap investor asing? Tentu isu nasionalisasi ini akan menjadi mentah kembali dan pada akhirnya perusahaan Indonesia menjadi mainan para investor asing yang berimbas kepada perekonomian bangsa Indonesia.

Jangan sampai itu terjadi !

*)Penulis adalah Mahasiswa S2 ICT in Business, Leiden University, Belanda, Penerima Beasiswa Unggulan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Close Ads X
Close Ads X