Diplomasi Olahraga

Tak banyak yang tahu dari kita, bahwa setiap tanggal 9 September diperingati sebagai Hari Olahraga Nasional (Haornas). Padahal peringatan Haornas sudah memasuki 68 tahun, sejak diperingati pertama kali tahun 1948.

Saat itu pemerintah menggelar Pekan Olahraga Nasional (PON) yang berlangsung 9-12 September 1948. Perhelatan PON pertama itu berlangsung di Kota Solo. Sebanyak 13 daerah ikut serta dalam PON pertama ini adalah Surakarta, Yogyakarta, Bandung, Madiun, Magelang, Malang, Semarang, Pati, Jakarta, Kedu, Banyuwangi, dan Surabaya. Pembukaan PON pertama pada 9 September 1948 oleh Presiden Soekarno tersebut lantas diperingati sebagai Hari Olahraga Nasional.

Sampai sekarang Haornas yang diperingati setiap tahun dan dirayakan besar-besaran setiap 4 tahun sekali melalui perhelatan PON menjadi even kenegaraan yang dianggap penting. Bahkan mengalahkan ‘kepentingan’ even budaya, misalnya, yang gaungnya tidak sampai mendapat dukungan sebesar PON.

Organisasi-organisasi keolahragaan pun menjadi rebutan para pemburu jabatan yang biasanya dirangkap oleh pejabat-pejabat publik. Induk cabang olahraga di Indonesia dipimpin para pejabat yang menjadikan olahraga merupakan aktivitas penting, di sisi lain olahraga menjadi komoditas politik yang menggiurkan.

Aktivitas olahraga dewasa ini melebihi esensinya sebagai aktivitas olah tubuh untuk menunjang kesehatan pelakunya. Olahraga kini sudah menjadi komoditas, tak hanya komoditas industri tontonan yang meriah, juga komoditas politik yang sungguh renyah. Lewat olahraga, popularitas seorang pejabat dan politikus bisa dilejitkan. Bahkan lebih dari itu semua, kegiatan olahraga menjadi alat diplomasi yang efektif untuk kegiatan mengembangkan kolega bisnis bahkan menjadi alat diplomasi antar negara.

Lewat even internasional olahraga, persahabatan antarnegara terjalin mesra dan lewat prestasi olahraga sebuah negara memperkenalkan diri pada dunia. Bila disimak, kelahiran PON pertama kali tidak lepas dari niatan pemerintah Indonesia mempersiapkan kontingen yang dikirim mengingikuti Olympiade, sebuah perhelatan akbar kompetisi berbagai cabang olahraga tingkat dunia.

Sebagai negara yang baru merdeka, Indonesia perlu dikenal oleh dunia. Karena itulah, Olympiade dipilih sebagai momentum untuk menunjukkan eksistensi Indonesia di mata dunia sebagai negara baru yang berdaulat. Bukan soal kalah dan menang, lewat Olympiade diplomasi olahraga bekerja.

Dengan pemikiran itu, pemerintah Indonesia bersemangat menggelar PON pertama kali. Ada sekitar 600 atlet yang mengikuti PON pertama yang memperebutkan 108 medali dengan bertanding di sembilan cabang olahraga, yaitu Bulu Tangkis, Renang, Tenis, Panahan, Pencak Silat, Bola Basket, Atletik, Lempar Cakram, dan Sepak Bola. Pelaksanaan PON pertama ini tidak hanya terkait prestasi olahraga di dalam negeri saja, akan tetapi juga menyangkut gengsi serta harkat dan martabat bangsa dan negara.

Ceritanya, pada masa itu, niat Indonesia yang ingin ikut Olympiade ke -14 di London yang mana ketika itu Inggris selaku tuan rumah menolak kehadiran atlet Indonesia. Inggris beralasan karena Indonesia yang baru merdeka belum memiliki prestasi di bidang olahraga sehingga belum layak untuk bisa masuk ke ajang Olimpiade.

Akan tetapi, alasan tersebut bukanlah alasan yang sebenarnya, alasan sesungguhnya masuknya Indonesia ke Olympiade lebih bersifat politis, karena Inggris merupakan sekutu Belanda, di kala itu, Belanda masih belum menerima kemerdekaan Indonesia.

Indonesia yang berharap besar pada Olympiade London untuk dapat menunjukkan kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia kepada dunia, tersinggung tatkala kehadirannya ditolak oleh Inggris. Indonesia tak mau putus semangat, Persatuan Olahraga Indonesia (PORI) pada masa itu menggelar konferensi darurat di Solo pada tahun 1948 dan kemudian menggelar PON untuk menandakan jika Indonesia itu ada. Ruh perjuangan tersebutlah yang menjadikan PON selalu hidup dari masa ke masa dan kontingen Indonesia diterima sebagai peserta Olympiade hingga sekarang. (*)

Close Ads X
Close Ads X