Oleh : Prof. Dr. Ir. Hasan Sitorus, MS
Presiden Joko Widodo telah menginstruksikan 25 kementerian/lembaga untuk mendukung pengembangan industri perikanan melalui Instruksi Presiden (Inpres) No. 7 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Industri Perikanan Nasional.
Inpres ini pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan kontribusi sektor kelautan dan perikanan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional, yang hingga saat ini kontribusinya masih di bawah 30 %, pada hal potensi kelautan kita mencapai 1,33 triliun dollar AS per tahun atau sekitar 7 kali dari APBN tahun 2016 dan diperkirakan mampu menyerap tenaga kerja sekitar 4 juta orang/tahun.
Seandainya potensi sebesar itu dapat kita peroleh, maka kontribusi sektor perikanan dan kelautan kita terhadap PDB nasional akan mencapai sekitar 58 % dan bahkan Indonesia akan mengalahkan Jepang dimana kontribusi sektor perikanan dan kelautan mereka terhadap PDB saat ini mencapai 48,5 % atau senilai 17.500 miliar dolar AS per tahun.
Namun faktanya, walaupun kita kaya akan sumberdaya perikanan dan 70 % wilayah kita adalah lautan, kontribusi sektor ini terhadap PDB masih sekitar 19,5 % dan masih berada di bawah Thailand dengan kontribusi sektor perikanan dan kelautannya telah mencapai 24,6 % walaupun panjang garis pantainya hanya 1/30 panjang garis pantai Indonesia.
Hambatan
Sekarang yang menjadi pertanyaan, mengapa geliat pertumbuhan industri perikanan relatif lambat ? Apa hambatan yang menyebabkan hal itu terjadi? Salah satu faktor yang diduga penyebab hal itu adalah minimnya kredit yang diberikan perbankan kepada sektor kelautan dan perikanan yang menurut laporan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bulan Oktober 2016 baru mencapai 3 % dari total Rp 5.000 triliun yang tersedia.
Oleh sebab itu, dibutuhkan terobosan baru dari pemerintah khususnya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), agar kredit investasi dari lembaga keuangan dalam negeri untuk pengembangan usaha perikanan dapat meningkat secara signifikan.
Bila dicermati lebih dalam, lambatnya pertumbuhan industri perikanan tidak hanya semata-mata disebabkan oleh kecilnya kucuran kredit yang disalurkan lembaga keuangan kepada sektor kelautan dan perikanan, tetapi juga disebabkan faktor lain seperti kondisi infrastruktur jalan ke sentra-sentra produksi perikanan yang belum mendukung, fasilitas listrik dan gas yang belum memadai, pelabuhan perikanan dan utilitas pendukungnya yang belum modern, dan fasilitas penyimpanan ikan (coldstorage) yang belum tersedia di berbagai wilayah dengan kapasitas yang memadai. Melihat hal ini, maka perkembangan industri perikanan nasional hanya akan dapat berjalan lebih cepat bila terdapat sinergi antar lintas sektoral.
Oleh sebab itu, minimnya implementasi Inpres No. 7/2016 itu tidak bisa saling menyalahkan antar sektoral, tetapi kita sangat mengharapkan adanya kebijakan pemerintah secara terpadu dibawah koordinasi Kemenko Kemaritiman.
Secara khusus, walaupun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mengawasa lembaga keuangan dalam negeri bukan berada di bawah Kememko Kemaritiman, kita sangat mengharapkan agar OJK dapat mendorong perbankan untuk meningkatkan kredit usaha sektor perikanan dan kelautan, misalnya dengan mempermudah birokrasi (debirokratisasi) kredit investasi khususnya bagi usaha perikanan skala kecil dan menengah.
Masyarakat nelayan sering mengeluhkan sulit dan rumitnya untuk memperoleh fasilitas kredit usaha perikanan, terutama karena tidak lengkapnya dokumen jaminan (agunan) ke lembaga keuangan. Hal ini disebabkan karena kapal-kapal yang mereka miliki belum memiliki sertifikat tanda kelas kapal secara resmi dari Biro Klasifikasi Indonesia (BKI), dan tanah pemukiman nelayan di wilayah pesisir yang belum memiliki sertifikat.
Hal ini menjadi tantangan bagi pemerintah untuk mengupayakan agar lahan pemukiman masyarakat nelayan di wilayah pesisir dapat memperoleh sertifikat hak milik (SHM), sehingga dokumen ini dapat digunakan nelayan dalam pengurusan kredit usaha kecil (mikro) yang dipersyaratkan lembaga keuangan atau lembaga asuransi.
Selain itu, belum adanya Rencana Tata Ruang Wilayah Pesisir di berbagai daerah juga menjadi hambatan tersendiri dalam penetapan status tanah milik masyarakat, apakah tanah itu milik negara atau hak masyarakat adat (tanah ulayat) atau masyarakat lokal yang sudah tinggal relatif lama di lokasi itu. Hal ini memerlukan koordinasi antara Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan lembaga lainnya yang terkait.
Upaya Akselerasi
Untuk akselerasi pembangunan industri perikanan nasional, dibutuhkan beberapa kebijakan strategis dalam level nasional, antara lain : 1) Pengembangan industri perikanan tangkap (fishing industry development), 2) Pengembangan industri budidaya perikanan (aquaculture industry development), 3) Pengembangan industri pengolahan perikanan (fishprocessing industry development), dan 4) Pengembangan industri maritim (maritime industry development).
Perubahan kebijakan perikanan tangkap secara nasional dengan menutup keran investasi asing pada dasarnya akan memberikan peluang yang lebih besar untuk mendorong berkembangnya industri perikanan tangkap oleh para pengusaha dalam negeri. Yang diperlukan adalah skim insentif bagi para pemilik modal untuk melakukan investasi dalam industri perikanan tangkap, misalnya melalui skim insentif pajak.
Selain itu, penyediaan infra struktur pelabuhan perikanan yang modern yang dilengkapi fasilitas penyediaan bahan bakar, air bersih, es, dan penyimpanan ikan (cold storage), akan sangat mendorong perkembangan industri perikanan tangkap, karena hal itu akan menekan biaya produksi terutama untuk jenis ikan bernilai ekspor.
Demikian halnya dalam kebijakan pembangunan industri budidaya perikanan, harus diarahkan ke arah budidaya laut (marine culture) dan budiaya air tawar (freshwater culture), tidak lagi ke arah budidaya air payau (brackishwater culture) karena pemanfaatan lahan di wilayah daratan pesisir secara nyata telah menimbulkan kerusakan ekosistem dan lingkungan.
Percepatan pembangunan industri perikanan budidaya hanya dapat terlaksana jika segera dapat dibangunan pusat-pusat produksi benih (hatchery) yang tersebar di tanah air, yang dapat menjamin kuantitas dan kualitas benih sesuai kebutuhan sektor budidaya. Selama ini, lambatnya perkembangan industri budidaya perikanan, salah satu pokok permasalahannya adalah penyediaan benih.
Kita sangat mengharapkan agar import benih ikan tidak dipebolehkan pemerintah, dengan tujuan untuk merangsang berkembangnya industri pembenihan ikan nasional dan sekaligus untuk menghindari resiko penyakit ikan dari luar.
Di sisi lain, pembangunan industri pengolahan ikan sudah saatnya mendapat perhatian khusus dari semua stakeholder perikanan, karena perkembangan industri ini akan memberikan efek multiplier yang beragam terhadap sub sektor lainnya. Berkembangnya industri ini akan mendorong pesatnya pertumbuhan industri perikanan tangkap dan perikanan budidaya sebagai penyedia bahan baku, dan kemungkinan besar akan meningkatkan investasi asing di bidang pengolahan produk perikananan.
Kita punya sumberdaya ikan yang besar, negara lain punya teknologi pengolahan yang modern, sudah barang tentu dapat dilakukan kemitraan usaha industri pengolahan ikan baik dengan model joint venture atau penanaman modal asing (PMA). Oleh sebab itu, pemerintah harus membuka seluas-luasnya atau mengundang investor asing untuk menanamkan modalnya di bidang industri pengolahan ikan, dengan terlebih dahulu meyediakan pasokan listrik, gas dan infrastruktur jalan yang memadai serta kepastian hukum investasi dan skim insentif yang menarik bagi investor asing.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pembangunan industri perikanan tidak bisa dipisahkan dari pembangunan industri maritim, seperti pengembangan industri galangan kapal untuk kebutuhan perikanan tangkap, dan kapal niaga untuk kebutuhan ekspor perikanan, serta peningkatan konektivitas antar wilayah, penyediaan SDM kemaritiman untuk eksplorasi hasil laut Indonesia.
Bila ke empat kebijakan di atas dapat direalisasikan pemerintahan sekarang secara bertahap dan konsisten, penulis berkeyakinan pertumbuhan industri perikanan nasional akan meningkat secara signifikan dari tahun ke tahun, dan kita optimis sektor perikanan dan kelautan kita dapat menjadi penggerak utama pembangunan nasional.
*) Penulis Guru Besar Ilmu Perikanan dan Kelautan di Universitas Nommensen Medan