UU Pilkada Disahkan | Ikut Nyalon, Anggota DPR dan PNS Wajib Mundur

Jakarta | JUrnal Asia
Paripurna DPR telah mengesahkan revisi UU Pilkada, di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (2/6). Ada point penting dipetik dari revisi UU Pilkada tersebut, yakni anggota Dewan, PNS wajib mundur bila ikut bertarung dalam pemilihan kepala daerah.

Paripurna dipimpin oleh Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan, ditemani oleh Ketua DPR Ade Komarudin, Wakil Ketua DPR Agus Hermanto, dan Wakil Ketua DPR Fadli Zon. Fahri Hamzah tak terlihat di meja pimpinan DPR. Rapat Paripurna tersebut juga dihadiri oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Mendagri Tjahjo Kumolo, dan Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro. Menkeu hadir terkait pembahasan RAPBN 2017.

“Semua anggota dewan menyetujui revisi Undang-undang ini untuk disahkan menjadi Undang-undang?” tanya Taufik sebelum mengesahkan revisi UU Pilkada. Mayoritas anggota dewan serempak menjawab, “Setuju!”. Para anggota dewan pun menyambut keputusan ini dengan tepuk tangan.

Sempat ada perbedaan pandangan terkait beberapa poin dalam pengambilan tingkat I. Namun, palu pimpinan telah diketok.”Semoga ini bisa menjadi keinginan rakyat juga,” ujar Taufik usai mengetok palu.

Dalam rapat paripurna di gedung DPR, Kamis (2/6), Ketua komisi II Rambe Kamarulzaman merinci setidaknya ada 17 poin perubahan maupun masukan dalam UU Pilkada yang disahkan.
Berikut secara rinci 17 poin dimaksud:

1. Penetapan mengenai waktu pemungutan suara agar serentak secara nasional untuk Pileg, Pilpres dan Pilkada. Dalam UU sebelumnya ditetapkan tahun 2027, UU sekarang dipercepat jadi 2024.
Secara rinci yaitu Pilkada pada 2015 digelar lagi tahun 2020. Pilkada 2017 digelar lagi tahun 2022. Pilkada 2018 digelar lagi 2023. Maka didapati satu tahun yang mendekati semuanya bisa serentak yaitu 2024.

2. Tentang meninggalnya pasangan calon atau salah satu calon dari pasangan calon. Dalam UU Pilkada disepakati KPU memberikan waktu 30 hari melakukan pergantian, jika salah satu calon meninggal dunia pada waktu 29 hari sebelum pemilihan;

3. Peningkatan verifikasi kualitas calon perseorangan, Komisi II dan pemerintah menyepakati untuk dilakukan verifikasi faktual dengan metode sensus melalui langkah menemui pendukung pasangan calon.

4. Pengaturan lebih lengkap tindak pidana menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara atau pemilih. Jika terpenuhi unsur-unsur, maka dikenai pidana penjara dan denda. Jika calon melakukan tindak pidana semacam ini, maka dikenakan sanksi pembatalan sebagai calon.

5. Penguatan Bawaslu. Bawaslu saat ini berwenang menerima, memeriksa dan memutus tindak pidana menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara dan/atau pemilih. Upaya hukum ini dimulai dari Bawaslu Provinsi ke Bawaslu hingga ke Mahkamah Agung (MA);

6. Perbaikan penormaan mengenai kampanye, metode kampanye, dan dana kampanye. Metode kampanye yang semula didanai oleh APBD dialihkan ke pasangan calon atau partai politik untuk pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka, dan dapat melakukan penyebaran bahan kampanye, dan pemasangan alat peraga. Mengenai dana kampanye ditambahkan norma bahwa dana kampanye dapat diperoleh dari sumbangan pasangan calon dan Partai Politik.

7. Perbaikan norma terkait penyalahgunaan jabatan petahana. Pejabat negara, pejabat ASN, anggota TNI-Polri, dan kepala desa atau sebutan lain dilarang membuat keputusan atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan pasangan calon, serta dilarang melakukan penggantian pejabat. Terkait dua hal tersebut dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.

8. Komisi II dan Pemerintah menyepakati Pemerintah Daerah bertanggung jawab mengembangkan kehidupan demokrasi di daerah khususnya meningkatkan partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak pilih;

9. Perbaikan pengaturan terkait penanganan pelanggaran Pilkada. Untuk tindak pidana Pilkada perlu dilakukan penguatan fungsi sentra Gakkumdu yang mengikutsertakan peran penyidik Kepolisian dan mempersingkat alur penanganan pelanggaran tindak pidana Pemilihan.

Terkait sengketa Tata Usaha Negara pemilihan dimulai dari upaya hukum secara berjenjang yang dimulai dari Bawaslu Provinsi dan/atau Panwas Kabupaten/Kota ke Bawaslu hingga ke tingkat Mahkamah Agung (MA). Khusus yang menyangkut perselisihan hasil, diubah dengan menggunakan acuan total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir.

10. Terhadap pelanggaran pemilihan berupa politik uang yang bersifat terstruktur, sistematis, dan massif dikenakan sanksi administrasi pembatalan sebagai pasangan calon, dengan tidak menggugurkan proses pidana.

Terkait sanksi administrasi pembatalan calon tersebut, diberikan wewenang kepada Bawaslu Provinsi untuk menerima, memeriksa, dan memutus pelanggaran pemilihan, yang kemudian ditetapkan oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota dalam Surat Keputusan berupa sanksi pembatalan pasangan calon, yang dapat dilakukan upaya hukum ke MA yang putusannya bersifat final dan mengikat.

11. Komisi II dan Pemerintah menyepakati tentang pelantikan pasangan calon terpilih, Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi pemerintahan dapat melantik Bupati, Wakil Bupati, serta Walikota, dan Wakil Walikota secara serentak;

12. Tentang usulan pengangkatan calon terpilih, Komisi II dan Pemerintah menyepakati untuk mengatur lebih lanjut hal-hal yang dapat menghambat pelantikan pasangan calon terpilih akibat tidak disampaikannya usulan dari DPRD Kabupaten/Kota/Provinsi dan Gubernur;

13. Tentang syarat dukungan pasangan calon dari partai politik atau perseorangan. Untuk syarat dukungan pasangan calon dari partai politik/gabungan partai politik tetap sebesar 20% dari jumlah kursi DPRD atau 25% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu. Terkait syarat untuk pasangan calon perseorangan Komisi II dan Pemerintah sepakat yakni paling sedikit 6,5% dan paling banyak 10% dari daftar pemilih tetap.

14. Terkait pengaturan bilamana terjadi perselisihan kepengurusan partai politik yang dapat mendaftarkan pasangan calon dalam Pilkada. Parpol yang dapat mendaftarkan pasangan calon merupakan partai politik yang sah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dalam hal terjadi perselisihan yang dapat mendaftarkan adalah kepengurusan partai politik yang telah didaftarkan serta ditetapkan di Kementerian Hukum dan HAM, termasuk setelah selesai segala upaya yang dilakukan di Mahkamah Partai atau sebutan lainnya dan jalur hukum melalui pengadilan.

15. Komisi II dan Pemerintah sepakat untuk mengatur lebih lanjut ketentuan cuti bagi petahana yang mencalonkan diri dalam Pilkada (cuti diluar tanggungan Negara) selama masa kampanye yaitu 3 hari setelah penetapan pasangan calon hingga 3 hari menjelang pencoblosan. Sedangkan bagi pejabat negara yang terlibat dalam kampanye pemilihan pasangan calon yang diusung, cukup mengajukan izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

16. Tentang penggunaan E-KTP dalam Pemilihan, Komisi II dan Pemerintah menyepakati bahwa syarat dukungan calon perseorangan maupun sebagai syarat terdaftar sebagai pemilih menggunakan E-KTP terhitung sejak bulan Januari 2019.

Untuk saat ini hingga akhir tahun 2018 masih diperbolehkan penggunaan surat keterangan yang diterbitkan oleh dinas kependudukan dan catatan sipil yang menerangkan bahwa penduduk tersebut berdomisili di wilayah administratif yang sedang menyelenggarakan Pilkada.

17. Tentang tindak lanjut Putusan MK, Komisi II dan Pemerintah menyepakati untuk memberikan pengaturan lebih lanjut mengenai pemilihan gubernur, wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, walikota dan wakil walikota serta dihapusnya persyaratan tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana.

Terkait mantan narapidana, diwajibkan untuk mengumumkan kepada masyarakat bahwa yang bersangkutan pernah menjadi narapidana. Terkait persyaratan bagi PNS, anggota DPR, anggota DPD dan anggota DPRD yang mencalonkan diri wajib mundur setelah secara resmi ditetapkan oleh KPU provinsi/KPU kabupaten/kota sebagai calon.

-Berpotensi Besar Digugat ke MK
Menyikapi pengesahan UU Pilkada, Ketua Komisi II DPR Rambe Kamarulzaman menyebut UU itu berpotensi besar digugat. “Potensi judicial review besar, tapi bukan judicial review oleh anggota DPR,” ucap Rambe usai rapat paripurna di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (2/6).

Rambe menilai beberapa poin dalam UU Pilkada bisa menuai gugatan, terutama soal norma hukum yang berbeda dalam putusan MK tentang keharusan calon mundur di Pilkada. MK memutuskan anggota DPR, DPD atau DPRD harus mundur jika maju sebagai calon dalam Pilkada, namun calon petahana/incumbent cukup mengajukan cuti. “Kalau selama ini MK dikatakan tidak konsisten keputusannya, ya dia sendiri mengubah keputusan. Kita mau tegakkan, jangan sembarangan MK memutuskan,” kritik Rambe ke MK.

Rambe menyebut salah satu yang berpotensi menjadi gugatan adalah soal perselihan kepengurusan parpol. Dia mendengar akan digugat salah satu perwakilan masyarakat. “Silakan saja digugat ke MK, tapi tidak boleh pembentuk UU. Masa anggota DPR yang menggugat ke MK. Tapi semua fraksi sudah setuju,” ucap politisi Golkar itu.

Lalu mengapa DPR tetap mengesahkan UU yang berpotensi digugat ke MK? “Undang-undang manapun berpotensi dilakukan gugatan, sebab itu dibuka dalam UU. Kalau bertentangan dengan UUD bisa judicial review ke MK,” jawab Rambe.

-Diminta Permanen
Saat dikonfirmasi mengenai UU Pilkada yang baru saja disahkan, Sekretaris Kabinet (Seskab) Pramono Anung berharap, agar UU tersebut bersifat permanen dan tidak tambal sulam untuk kemudian terus direvisi.

“Presiden Jokowi kasih arahan, harapannya UU Pilkada yang baru yang akan diketok bisa berdurasi panjang. Tidak setiap akan pilkada ada UU baru,” ujar Pramono di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (3/6).

Pramono juga mengapresiasi, akhirnya anggota DPR legowo dengan mengikuti aturan di Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyebutkan, anggota DPR, DPRD, dan DPD harus mundur jika ikut berpartisipasi di Pilkada. “Bagaimanapun kita menghormati MK sebagai lembaga yang mempunyai kewenangan,” katanya.

Selain itu, pemerintah juga berpandangan tidak perlu adanya perubahan terhadap calon independen mengenai batas dukungan untuk bisa mencalonkan diri di Pilkada. Karena kata dia, pemerintah tetap pada posisinya dengan mempertahankan mekanisme pada peraturan tersebut. “Yang ada ini dipertahankan, termasuk yang independen tidak dinaikkan,” ujarnya. (ant/dtc)

Close Ads X
Close Ads X