Jakarta | Jurnal Asia
Pemerintah dan DPR tengah menggodok rancangan undang-undang (RUU) pengampunan pajak atau tax amnesty untuk menarik kembali dana milik orang Indonesia yang diperkirakan banyak disimpan di luar negeri terutama di negara-negara yang menerapkan tarif pajak rendah (tax haven).
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menilai secara alamiah orang yang memilih menempatkan dananya di luar negeri terutama di offshore bank atau bank bayangan tidak otomatis orang tersebut bersalah.
Hal tersebut dikatakan Ketua PPATK Muhammad Yusuf dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi XI mengenai tax amnesty di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (26/4).
“Orang yang menaruh uang di bank yang tidak menjalankan fungsinya secara utuh tidak otomatis orang yang salah. Mereka pasti punya alasan, entah karena ada cabang usaha di negara perbankan tersebut, atau menghindari pajak, atau supaya hartanya tidak dapat diperiksa asal usulnya,” kata dia.
Namun, dirinya paham dengan tujuan pemerintah untuk melakukan pemerataan pembangunan melalui program infrastruktur yang tentunya membutuhkan biaya yang besar. Saking besarnya, beberapa pos anggaran seperti anggaran belanja K/L pun harus dipangkas.
Sementara, fakta yang ditemukan banyak dana-dana milik orang Indonesia yang diparkir di luar negeri yang diprediksi mencapai Rp2.000 triliun. Untuk itu, lanjut dia, keinginan Pemerintah menerapkan tax amnesty demi mengembalikan dana-dana ke Indonesia dipandang sebagai hal yang wajar. Lebih jauh Yusuf mengimbau agar dalam kebijakan tersebut diberikan jaminan untuk meyakinkan pemilik dana untuk menaruh dana di Indonesia.
Dirinya menambahkan, uang hasil repatriasi tersebut nantinya akan masuk ke Indonesia dan akan bermanfaat bagi pembangunan infrastruktur melalui investasi portfolio atau melalui surat utang.
“Diharapkan dengan adanya kebijakan ini, akan membawa balik dana-dana tersebut dari pada menaruh uangnya di offshore bank dengan bunga yang kecil, bagaimana untuk ditaruh di Indonesia dengan bunga agak besar sedikit di bawah BI rate, dan bisa dipinjamkan ke kontraktor (buat bangun infrastruktur),” pungkas dia.
RUU Tax Amnesty Berseberangan
Lembaga tinggi negera seperti Polri, ikut dimintai pandangan mengenai pembahasan rancangan undang-undang (RUU) pengampunan pajak atau tax amnesty oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) Komisi XI.
Kapolri Badrodin Haiti yang diwakilkan oleh Inspektur Pengawasan Umum Polri, Komisaris Jenderal Dwi Priyatno mengatakan ada beberapa ketentuan dalam beleid RUU pengampunan pajak yang nantinya akan bersebrangan dengan peraturan perundang-undangan yang lain.
Beleid tersebut, kata Dwi yakni terdapat pada pasal 22 ayat 2 yang menerangkan setiap pejabat yang terkait dengan pelaksanaan Undang-Undang ini dilarang memberitahukan data dan informasi yang diketahui atau diberitahukan oleh Wajib Pajak (WP) kepada pihak lain.
Serta pasal 22 ayat 3 yang berisi data dan informasi yang disampaikan WP dalam rangka Pengampunan Pajak tidak dapat diminta atau diberikan kepada pihak lain berdasarkan peraturan perundang-undangan lain, kecuali atas persetujuan WP sendiri.
“Ketentuan itu pada pelaksanaannya akan berpotensi menimbulkan ketidaksinkronan dalam ketentuan beberapa UU termasuk UU Ketentuan dan Tata Cara Perpajakan,” kata Dwi di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (26/4).
Begitu juga dalam UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), pasal 41 yang menyatakan bahwa melaksanakan fungsi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf a, PPATK berwenang untuk meminta dan mendapatkan data dan informasi dari instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta yang memiliki kewenangan mengelola data dan informasi, termasuk dari instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta yang menerima laporan dari profesi tertentu; “Artinya kewenangan PPATK dalam UU TPPU tidak bisa diterapkan dalam UU pengampunan pajak,” jelas Dwi.
RUU Pengampunan Pajak juga tak sinkron ketika dihubungkan dengan UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Pada pasal 41 ayat 1 menyebutkan, untuk kepentingan perpajakan, Pimpinan Bank Indonesia (BI) atas permintaan Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada bank, agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis, serta surat-surat mengenai keadaan keuangan nasabah penyimpan tertentu kepada pejabat pajak dengan harus menyebutkan nama pejabat pajak dan nasabah wajib pajak yang dikehendaki keterangannya.
Pasal tersebut menyatakan perbankan harus memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keuangan nasabah pada pejabat pajak.
Namun, dengan adanya pengaturan kerahasiaan bank di RUU pengampunan pajak, Menteri Keuangan juga tidak dapat lagi meminta keterangan perbankan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis, karena Menteri Keuangan merahasiakan data nasabah, kecuali atas persetujuan wajib pajak yang telah mendapat ampunan. “Kondisi ini juga tentunya akan menyulitkan penyidikan tindak pidana perpajakan,” ujar dia.
Lebih jauh, dengan mempertimbangkan hal tersebut, mengingat implementasi pasal 22 di RUU pengampunan pajak akan berpotentensi menimbulkan ketidaksinkronan terhadap UU KUP, UU TPPU, dan UU Perbankan, maka Polri berharap agar para stakeholder yang terkait dalam semua payung hukum tersebut dapat memahami UU Pengampunan Pajak bersifat lex specialis.
“Ini untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang, penyuapan dalam implemenasi, perlu memeprkliuat pengawasan terhadap pejabat pajak terhadap implementasi ruu pengampunan pajak,” pungkas dia.
(mtv/ant)