Perokok ‘Tutupi’ Utang BPJS Kesehatan

Jokowi Teken Perpres

Jakarta | Jurnal Asia

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menan­datangani Peraturan Presiden (Perpres) mengenai pemotongan penerimaan pajak rokok dari pemerintah daerah (pemda). Pajak rokok itu rencananya akan disalurkan untuk melangsungkan program Jaminan Kesehatan Nasional milik BPJS Kesehatan, termasuk menutup defisit keuangan yang dideritanya.

Hal ini disampaikan Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo dalam rapat bersama Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kemarin. Ia menuturkan perpres baru yang diteken Jokowi pada pekan lalu merupakan perubahan atas Perpres Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Mardiasmo menjelaskan dengan perpres baru ini, pemerintah pusat bisa menggunakan pajak rokok yang merupakan hak pemerintah daerah dari tingkat provinsi hingga Kota/Kabupaten untuk program JKN, termasuk untuk membantu menutup defisit keuangan eks PT Asuransi Kesehatan (Askes) itu.

Mekanismenya, dari 50 persen penerimaan pajak rokok daerah sebanyak 75 persennya akan dialokasikan untuk program JKN. “Dengan Perpres ini, semua Provinsi hingga Kota bisa digunakan pajak rokoknya. Tinggal diambil 75 persen dari situ,” ucapnya.

Sebelumnya, pemerintah pusat memperkirakan jumlah penerimaan pajak rokok pada tahun ini sekitar Rp13 triliun. Dengan begitu, sekitar 75 persen dari Rp6,5 triliun bisa digunakan untuk program JKN, termasuk BPJS Kesehatan. Meski begitu, memang belum ada angka pasti berapa yang sekiranya langsung bisa disuntikkan ke BPJS Kesehatan.

Selanjutnya, secara lebih rinci Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati akan mengeluarkan peraturan menteri keuangan (PMK) sebagai aturan teknis pelengkap perpres. “Kami memang sengaja tidak mengeluarkan PMK untuk hal ini, karena menunggu perpres lebih dulu,” terangnya.

Mardiasmo bilang, penerbitan perpres dan PMK selanjutnya akan menutup kehilangan potensi suntikan anggaran untuk BPJS Kesehatan dari pos Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT).

Sebab, sebelumnya pemerintah telah membidik potensi tambalan defisit BPJS Kesehatan dari pos ini, namun ternyata tidak bisa digunakan karena pemerintah hanya boleh mengambil alokasi DBH CHT daerah yang memang terkenal sebagai produsen tembakau.

“Karena ternyata tidak semua daerah mendapat DBH CHT, rupanya hanya beberapa provinsi saja, misalnya Jawa Tengah dan Jawa Timur (yang terkenal sebagai produsen tembakau),” jelasnya.

Namun, dari beberapa daerah yang bisa diambil DBH CHT-nya, setidaknya pemerintah bisa mendapatkan tambahan Rp1,48 triliun. Aturan teknis soal penggunaan DBH CHT ini dituangkan dalam PMK Nomor 222 Tahun 2017.

Selain itu, pemerintah juga memaksimalkan upaya penutupan defisit keuangan BPJS Kesehatan dengan menerbitkan PMK Nomor 209 Tahun 2017 tentang Penentuan Standar Dana Operasional bagi BPJS Kesehatan.

“Kami mencoba agar biaya operasional BPJS Kesehatan itu efisien. Jadi kami lihat berapa biaya operasionalnya, kami review, dan kami keluarkan batasannya, sehingga BPJS Kesehatan tidak boleh lampau standar di PMK tersebut,” ungkapnya.

Upaya lain, dengan membuat sinergi antara BPJS Kesehatan dengan sejumlah lembaga penyelenggara jaminan sosial lain. Mulai dari BPJS Ketenagakerjaan, PT Jasa Raharja, PT Asabri, hingga PT Taspen.

“Misalnya ada kecelakaan tol, itu bisa jadi tanggung jawab Jasa Raharja, atau setidaknya ditalangi dulu oleh BPJS Ketenagakerjaan,” ujarnya.

Terakhir, Kementerian Keuangan siap mencairkan dana dari pos cadangan senilai Rp4,993 triliun sesuai arahan Presiden Jokowi untuk menutup defisit keuangan BPJS Kesehatan paling lambat pada pekan depan.

Sementara secara keseluruhan, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) memperkirakan defisit keuangan BPJS Kesehatan mencapai Rp10,989 triliun sampai akhir tahun ini. Proyeksi itu menciut dari semula mencapai Rp16,5 triliun.

-Kenyataan Ironis
Terkait perokok yang menambal utang BPJSkes, berbagai respons disampaikan warga yang mengaku sebagai perokok aktif. Abdullah Saman (35 tahun), salah satunya. Warga asal Bogor itu mengaku terharu karena rokok yang dibakarnya tak sekadar menyumbang penyakit. Tetapi juga, memberi kontribusi positif untuk program pemerintah.

“Walau ironis juga ya. Saya merokok, memberi ‘racun’ ke udara yang dihirup masyarakat, tapi ternyata rokok yang saya beli, saya bakar, bisa bermanfaat juga,” ujar Abdul, Selasa (18/9).

Pun demikian, ia mengaku baru mengetahui kebijakan anyar pemerintah tersebut. Ia juga mengklaim baru mendengar persoalan keuangan yang membelit BPJS Kesehatan.

“Ya, istilahnya substitusi ya. Yang meracuni, bisa membantu juga lah. Jadi, tidak benar-benar merasa bersalah kalau merokok,” imbuh dia.

Letia Isna (26 tahun), perokok aktif lainnya juga mengaku baru mendengar kebijakan baru ini. Ia juga kaget kebiasaannya merokok bisa diarahkan untuk membantu warga lainnya, yang membutuhkan layanan kesehatan dari program pemerintah.

“Meskipun mungkin, nanti saya yang merokok, saya yang beli, dan bayar pajak rokoknya, tapi nanti saya juga butuh bantuan pemerintah untuk berobat ke dokter kalau saya sakit,” katanya.

Sementara itu, Haira Annisa (21 tahun), bukan perokok, mengajak masyarakat untuk melihat sisi positif dari kebijakan pajak rokok. Menurut dia, kebijakan ini seolah meminta pertanggungjawaban para perokok untuk asap yang mencemari udara dan penyakit yang ditimbulkan.

Kendati begitu, Haira mengaku tak tahu menahu detil persoalan defisit keuangan yang dialami BPJS Kesehatan dan hubungannya dengan kebijakan pajak rokok.

“Sebenarnya tidak mengerti sih yang benar seharusnya darimana (menutup defisit BPJS Kesehatan),” terang dia.

Yang pasti, ia menambahkan tujuan kebijakan pajak rokok untuk menambal defisit BPJS Kesehatan cukup baik. “Yang merokok ikut tanggung biaya kesehatan. Tapi ya, semoga bukan jadi pembenaran untuk para perokok ya,” tandasnya. (cnn/put)

Close Ads X
Close Ads X