Tujuh Minggu Setelah Pencerahan Agung

“Dari tiga hal kita dapat mengenal seorang bijaksana, Apa yang tiga itu ? Dia bisa melihat kekurangannya. Bila dia melihat kekurangannya dia mencoba memperbaikinya. Dan bila seseorang mengakui kekurangannya, dia akan memaafkannya sebagai mana mestinya”. ANGUTTARA NIKAYA I: 103

Setelah Pangeran Sidharta Gautama berhasil mencapai penerangan sempurna (Menjadi Buddha = Manusia yang tercerahi), beliau tidak langsung membabarkan ajaran beliau. Ajaran beliau, baru dibabarkan setelah melaksanakan 7 X 7 minggu perenungan agung (Di bulan suci Asadha ± 2 bulan setelah Waisak). Apakah yang diperbuat oleh Sang Buddha selama 7 (tujuh) minggu setelah penerangan agung ?

1. SELAMA MINGGU I = VIMUTTI SUKKHA. Sang Buddha masih duduk bermeditasi di bawah pohon Bodhi dan menikmati keadaan Nibbana yaitu keadaan yang terbebas sama sekali dari gangguan-gangguan batiniah sehingga batin – Nya tenang sekali dan penuh kedamaian. Sang Buddha merasakan “vimutti sukkha: kebahagiaan yang telah terbebas dari kemelekatan”. Bagi seorang Buddha, yang namanya “milikku”, itu hanyalah ilusi. Semuanya, hanyalah pinjaman sesaat yang setiap saat pasti akan dikembalikan.

2. SELAMA MINGGU II = KATTANNUKATAVEDI. Sang Buddha berdiri beberapa kaki dari pohon Bodhi dan memandanginya terus-menerus dengan mata tidak berkedip selama satu minggu sebagai ucapan terima kasih dan penghargaan kepada pohon yang telah memberi-Nya tempat untuk berteduh sewaktu berjuang untuk mencapai tingkat Buddha. Refleksi dari “kattannukatavedi: tahu berterima kasih”. Sebagai makhluk sosial yang saling berhubungan dan bergantungan, kita haruslah saling berterima kasih kepada siapapun juga.

3. SELAMA MINGGU III = MENCIPTAKAN RATANA CAMKAMANA. Sang Buddha berjalan mondar -mandir di atas jembatan permata yang diciptakan-Nya di udara karena melalui mata dewa-Nya, Sang Buddha mengetahui bahwa ada dewa-dewa di surga yang masih meragukan apakah Beliau benar telah mencapai Penerangan Agung atau belum ??? Ratana camkamana: jembatan permata diciptakan untuk menghilangkan keragu-raguan dari para dewa. Ini diperbuat sang Buddha, bukanlah untuk menyombongkan diri atau pamer – pemeran. Tetapi semata-mata hanyalah untuk menyadarkan para dewa.

4. SELAMA MINGGU IV = MENCIPTAKAN RATANA GRAHA. Sang Buddha berdiam di kamar batu permata yang diciptakan-Nya. Di kamar permata itulah Sang Buddha bermeditasi mengenai Abhidhamma yaitu ajaran mengenai ilmu jiwa dan metafisika. Batin dan badan jasmani-Nya telah menjadi demikian bersih sehingga mengeluarkan sinar-sinar berwarna biru (Melambangkan Bhakti), kuning (Kebijaksanaan), merah (Cinta Kasih), putih (Kesucian), jingga (Semangat) dan campuran kelima warna tersebut.

5. SELAMA MINGGU V = MENAKLUKKAN PUTRI – PUTRI MARA. Sang Buddha bermeditasi di bawah pohon Ajapala Nigrodha (pohon beringin), tidak jauh dari pohon Bodhi. Disinilah tiga orang anak Mara yaitu Tanha, Arati dan Raga masih berusaha untuk mengganggu-Nya.

Mereka menampakkan diri sebagai tiga orang gadis yang elok dan menggiurkan yang dengan berbagai macam tarian yang erotis (penuh nafsu birahi), diiringi nyanyian yang merdu dan bisikan yang memabukkan, berusaha untuk merayu dan menarik perhatian Sang Buddha. Tetapi Sang Buddha menutup mata-Nya dan tidak mau melihat sehingga akhirnya tiga orang dewi hawa nafsu meninggalkan Sang Buddha.

6. SELAMA MINGGU VI. Sang Buddha bermeditasi di bawah pohon Mucalinda. Karena waktu itu turun hujan yang lebat dan spontanitas, muncullah seekor ular kobra yang besar sekali dan melibatkan badannya tujuh kali memutari badan Sang Buddha dan kepalanya memayungi Sang Buddha supaya tidak sampai terkena air hujan. Waktu hujan berhenti, ular itu berubah bentuknya menjadi seorang anak muda.

Pada waktu itulah Sang Buddha mengucapkan kata-kata sebagai berikut: “Berbahagialah bagi mereka yang bisa merasa puas. Berbahagialah bagi mereka yang dapat mendengar dan melihat kesunyataan. Berbahagialah bagi mereka yang bersimpati kepada makhluk-makhluk lain di dunia ini. Lenyapnya “Sang Aku” merupakan berkah yg tertinggi”.

7. SELAMA MINGGU VII. Sang Buddha bermeditasi di bawah pohon Rajayatana. Pada hari ke – 50 pagi hari, setelah berpuasa selama tujuh minggu, dua orang pedagang lewat di dekat tempat Sang Buddha sedang duduk. Mereka, Tapussa dan Bhallika, menghampiri Sang Buddha dan mempersembahkan makanan dari beras dan madu.

Sang Buddha agak tertegun sejenak karena mangkuk yang Beliau terima dari Sujata telah dihanyutkan di Sungai Neranjara dan sejak zaman dahulu tidak pernah seorang Buddha menerima makanan dengan kedua tangan-Nya. Tiba – tiba 4 (empat) orang dewa dari empat penjuru alam (Catumaharaja yaitu Dhatarattha – sebelah Timur, Virulhaka – Selatan, Virupakkha – Barat & Kuvera – Utara) datang membawa 1 “patta: mangkuk” yang dipersembahkan kepada Sang Buddha.

Sang Buddha menerima 4 “patta: mangkuk” tersebut dan dengan kekuatan gaib-Nya, dijadikan satu mangkuk. Dengan demikian Sang Buddha dapat menerima persembahan dari Tapussa dan Bhallika. Setelah Sang Buddha selesai makan, kedua pedagang itu memohon agar diterima sebagai pengikut.

Mereka diterima sebagai upasaka-upasaka pertama yang berlindung kepada Buddha dan Dharma. Setelah makan, Sang Buddha merenung apakah Dharma yang Beliau temukan akan diajarkan kepada khalayak ramai atau tidak. Sebab Dharma itu dalam sekali dan sulit untuk dimengerti. Tiba-tiba Brahma Sahampati, Penguasa dunia ini, turun dari Brahmaloka dan berdiri di hadapan Sang Buddha. Setelah memberi hormat yang layak, Brahma Sahampati berkata kepada Sang Buddha,: “Semoga Sang Tathagata, demi belas kasih-Nya kepada para manusia, berkenan mengajar Dharma.

Dalam dunia ini terdapat juga orang-orang yang sedikit dihinggapi kekotoran batin dan mudah mengerti Dharma yang akan diajarkan”. Dengan mata dewa, Sang Buddha dapat mengetahui bahwa memang ada orang-orang yang tidak lagi terikat kepada hal – hal duniawi dan mudah mengerti Dharma.

Karena itu, Sang Buddha mengambil ketetapan hati untuk mengajar Dharma demi belas kasih-Nya kepada umat manusia. Kesediaan-Nya itu, diutarakan dengan mengucapkan kata-kata sebagai berikut: “Aparuta tesam amatassa dvara. Ye sotavanto pamucantu saddhami: Terbukalah pintu kehidupan abadi bagi mereka yang mau mendengar dan mempunyai keyakinan” Dharma yang indah pada awalnya, indah pada pertengahannya dan indah pula pada akhirnya, dibabarkan oleh Sang Buddha pada bulan suci Asadha (± 2 bulan setelah Waisak) kepada 5 (lima) orang pertama. Sabbe satta sabba dukkha pamuccantu – sabbe satta bhavantu sukhitata: semoga semua makhluk hidup terbebaskan dari derita dan semoga semuanya senantiasa berbahagia,…sadhu,…sadhu,…sadhu,…

Close Ads X
Close Ads X