Kacamata : Kado Pahit Elpiji

Pertamina memberi kado pahit bagi 248 juta warga Indonesia pada awal tahun 2014. Harga elpiji ukuran 12 kilogram naik hampir Rp120 ribu per tabung. Sebelumnya, sejak 2009, gas nonsubsidi ini dibandrol Rp70.200 per tabung (harga resmi). Ditanya apa alasannya, perusahaan tambang plat merah ini mengklaim perusahaan sudah tak sanggup lagi menahan laju kerugian sebesar Rp6 triliun per tahun. Bila ini dibiarkan berlarut, ditakutkan pasokan elpiji ke masyarakat akan terganggu. Sehingga mau tak mau, harga elpiji 12  kg ini harus naik. Dari sisi bisnis, tak ada yang salah dari tindakan Pertamina tersebut.
Sebagai persero berkelas dunia, perusahaan tambang minyak itu memang harus mencetak laba untuk negara, bukan malah merugi. Tapi Pertamina juga harus ingat, jika dia itu Badan Usaha Milik Negara yang dibentuk untuk memberi kesejahteraan kepada rakyat Indonesia. Apalagi mengutip pasal 33  ayat 3 pada UUD 1945 berbunyi ” Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,”.
Jika menganut kepada amanat UUD 1945, tentu tindakan Pertamina menaikkan harga elpiji jauh dari kesan bijaksana. Apalagi, saat ini warga Indonesia sudah bertubi-tubi dihajar dengan kenaikan harga barang dan listrik kemudian disusul elpiji.
Pertamina (baca;Pemerintah) juga alpa, jika kebijakan mereka yang mengajak masyarakat untuk beralih ke bahan bakar elpiji  sebagai pengganti  minyak yang cadangannya kian menipis.
Pemerintah juga mengklaim jika stok gas di bumi Indonesia berlebih sehingga harganya lebih murah. Namun kini, perlahan namun pasti, janji itu mulai diingkari. Gas mulai kerap dilangkakan (dihilangkan) sehingga harganya terdongkrak naik di pasaran.
Kenaikan elpiji ukuran 12 kg ini pun rawan pengoplosan. Dimana, spekulan akan mengoplos gas dari ukuran 3 kg karena selisih harga tinggi. Akan terjadi penimbunan yang berakhir dengan kelangkaan. Ujung-ujungnya, rakyat selaku pengguna gas tetap paling dirugikan. Dengar saja jeritan para pelaku Usaha Kecil Menengah (UKM) dan pemilik rumah makan atau restoran. Gas tak naik saja, para pengusaha rumahan ini sudah kelimpungan untuk bertahan.
Pemerintah selaku atasan Pertamina pun diminta bijak. Disatu sisi tak ada larangan Pertamina mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Namun disisi lain, Pertamina juga harus bertanggungjawab dengan kepentingan hidup orang banyak. Toh, meski mengaku rugi, Pertamina masih mampu mencetak laba triliunan rupiah. Arti kata, kenaikan ini masih belum bisa dipaksakan akibat belum sejahteranya (seluruh) rakyat Indonesia.
Lebih baik Pertamina bersama Pemerintah menyediakan bahan bakar alternatif lainnya seperti biofuel (bahan bakar nabati). Apalagi bahan baku pembuatan biofuel ini sangat mudah  dan berlimpah di Indonesia.
Seperti pembakaran limbah organik kering (seperti buangan rumah tangga, limbah industri dan pertanian); fermentasi limbah basah (seperti kotoran hewan) tanpa oksigen untuk menghasilkan biogas (mengandung hingga 60 persen metana), atau fermentasi tebu atau jagung untuk menghasilkan alkohol dan ester; dan energi dari hutan (menghasilkan kayu dari tanaman yang cepat tumbuh sebagai bahan bakar).
Dan Indonesia berpeluang menjadi Raja bahan bakar nabati karena hampir keseluruhan jenis tanaman penghasil minyak nabati dapat tumbuh dengan cepat. Namun, sayangnya potensi Indonesia belum dioptimalkan dengan baik. Bahkan pengembangan bahan bakar nabati  di Indonesia, khususnya biodiesel dari kelapa sawit dinilai buruk akibat menghasilkan energi lebih rendah dan menyumbang emisi karbon secara tidak langsung melalui pembakaran hutan dan konversi hutan untuk lahan tanam.

Close Ads X
Close Ads X