Berebut “Kue” Inalum

Nafsu besar, tenaga kurang. Mungkin inilah gambaran bagi Pemerintah provinsi Sumut yang hendak merebut Inalum dari Jepang (baca;Nippon Asahan Aluminium). Karena jangankan beroleh ‘kue’, niat Gubernur Gatot Pujonugroho ini malah ditanggapi dingin oleh Pusat. Pemprovsu bersama 10 kabupaten/kota (Simalungun, Tobasa, Humbahas, Taput, Samosir, Tanah Karo, Dairi, Asahan, Batubara dan Tanjungbalai) diseputaran Sungai Asahan dan Danau Toba hanya bisa gigit jari. Padahal, digadang-gadang, tim 11 ini bakal merebut hampir 60 persen saham Inalum. Dana talangan sebesar triliunan-konon-juga telah disiapkan. Asahan harus dinikmati putra daerah. Salah satunya adalah dengan merebut Inalum. Inilah tekat mulia itu. Tapi harapan itu masih jauh dari kenyataan. Meski kontrak NAA telah berakhir, bukan berarti Inalum otomatis jatuh ke Indonesia. Saat ini, kedua negara lewat Kementrian Ekonomi masing-masing masih bernegoisasi tentang harga jual industri aluminium terbesar di Indonesia tersebut. Jepang rela melepas Inalum jika dibayar 626 juta  dolar AS. Sedang Menko Ekuin ngotot diangka 424 juta dolar AS. Mencocokan angka yang berselisih cukup besar ini, bukan perkara mudah. Apalagi sejak awal, Jepang sangat berat melepas sahamnya di NAA. Dan kalau pun ini berhasil, Inalum tak serta merta dimiliki Pemprovsu dan kawan-kawan. Karena pemerintah Pusat juga ngotot mengelola industri aluminium ini. Jika begitu, yang mengelola tentu Badan Usaha Milik Negara, bukan Badan Usaha Milik Daerah. Dan ini ditegaskan oleh Menteri Perindustrian MS Hidayat. Kondisi inilah yang membuat Gubsu sempat mencak-mencak saat curhat ke Komisi VI DPR RI di Senayan. Apalagi, Sumatera Utara saat ini tengah defisit energi listrik. Karena diketahui, 70 persen PLTA Asahan dipasok untuk operasional Inalum.

Untuk menguatkan argumentasinya, Gatot membawa beberapa Bupati disekitaran Sungai Asahan dan Danau Toba. Mereka mengaku telah menyiapkan segala sesuatunya termasuk dana Rp7 triliun. Presentase pun dilakukan dengan berapi-api. Tapi apa daya. Legislatif yang menerima Gubsu Cs hanya bisa berjanji, tanpa bisa memberi kepastian.Belum lagi, BUMD belum dinilai layak untuk mengelola perusahaan sekaliber Inalum. Karena sudah cerita lama, jangankan menyumbang pendapatan asli daerah (PAD), usaha milik daerah itu justru ‘menyusu’  dari Pemkab/Pemko, termasuk di Sumut sendiri.

Jadi wajar, ada keraguan jika Inalum diserahkan ke daerah. Karena mengelola perusahaan, dibutuhkan business plan yang jelas, bukan hanya otot dan modal kuat.  Jika tidak, dikuatirkan, Inalum yang sudah mendunia justru menjadi perusahaan kacangan.

Apalagi harus diakui sumber daya manusia (SDM) di daerah masih kurang dan jauh dari harapan. Justru keadaan ini menjadi ironi. Disatu sisi, Pemprovsu bersama 10 kabupaten/kota ingin menikmati kue ekonomi dari Inalum dengan kesejahteraan Sumut.

Namun di sisi lain,  daerah sendiri (diyakini) belum siap dan mengerti apa yang akan dikerjakan bila Inalum benar-benar diserahkan kepada mereka. Simalakama yang membingungkan.

 baringinginting@gmail.com

Close Ads X
Close Ads X