Medan | Jurnal Asia
Pemberlakuan tarif parkir di beberapa kawasan pemakamam Tionghoa dan Vihara, sebesar Rp5 Ribu s/d Rp10 ribu per kendaraan dinilai tidak etis oleh sejumlah masyarakat. Pasalnya, masyarakat yang datang bukan untuk melakukan bisnis ataupun liburan, melainkan untuk melakukan sembahyang.
Kondisi ini ternyata dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu menjadi ajang pungutan liar (pungli). Seperti diakui warga Sekip Baru Medan, Yuvy Limbong ketika melakukan ziarah kubur ke pemakaman Yayasan Budi Murni Galang. Ia menyebut untuk pemberlakuan uang parkir memang tidak ditetapkan. Tetapi bagi peziarah, selalu diminta tarif parkir minimal Rp5.000 per kendaraan oleh pemuda setempat.
“Kalau tarif parkir resmi kan hanya sekitar Rp3.000 dan itu berlaku di kawasan tertentu. Setahu saya, tidak ada peraturan menetapkan tarif parkir di daerah perkuburan. Berapapun tarif diberlakukan sebenarnya tidak sesuai dan tidak etis,” katanya kepada Jurnal Asia, Selasa (29/3).
Jika dibandingkan tahun lalu, maka tahun ini jauh lebih baik. Karena tahun lalu, tarif parkir untuk kendaraan pribadi sampai Rp50 ribu per mobil dan ini sangat meresahkan. Ia menambahkan, ada beberapa tempat pemakaman tidak dikenakan biaya parkir misalnya seperti di daerah Tebing. “Kalau di Tebing sudah diurus oleh pihak Yayasan, jadi yang datang sudah bebas parkir,” tukasnya.
Senada dikatakan oleh salah satu tokoh Tionghoa di Medan, Berry CWT. Menurutnya, keamanan, ketertiban dan kenyamanan sudah seharusnya menjadi perhatian pemerintah daerah. Apalagi, lanjutnya, pendapatan pemerintah daerah pasti bertambah dengan adanya momen Cheng Beng mengingat banyak etnis Tionghoa yang pulang kampung ke daerah masing-masing.
“Yang pulang ke Indonesia khususnya Medan itu tidak sedikit jumlahnya, dan pasti itu menambah PAD. Dan mereka wajib dilindungi dari kutipan-kutipan pemuda setempat atau preman,” ujarnya.
Kutipan tersebut, tegas Berry CWT, harus dihilangkan, karena itu sangat menggangu ketenangan yang berziarah. Pemuda setempat tidak memiliki hak karena tanah itu milik yayasan, yang sudah memiliki izin khusus. Kondisi ketidaknyamanan itu sering terjadi di pemakaman Kedai Durian Deli Tua.
“Berbeda halnya jika pihak yayasan yang mengutip, karena itu dialokasikan untuk biaya kebersihan dan sebagainya. Itupun umat memberikan secara ikhlas. Pemerintah dan pengelola yayasan harus tegas, tidak boleh “preman” masuk ke wilayah,” tukasnya.
Segera Tindak Pungli
Menanggapi hal ini, anggota DPRD Kota Medan, Wong Chun Sen mengatakan penarikan tarif atau retribusi parkir di areal pemakaman, diluar ketentuan peraturan daerah (Perda) dinilai menyalahi, sehingga diminta segera ditindak.
“Kita minta tindak, karena kutip diluar Perda dinilai menyalahi,” kata Wong digedung DPRD Medan, Selasa (29/3) menanggapi adanya kutipan pada sejumlah pemakaman di acara Cheng Beng (sembahyang leluhur).
Untuk itulah, menurut politisi PDIP ini merasa keberatan atas tindakan cenderung mengganggu kenyamanan masyarakat menjalani ibadah. Karena, selain penarikan parkir di lokasi itu oleh sekelompok oknum tertentu, jelas bertentangan juga dampaknya ke Pemerintah Kota (Pemko) Medan. Pasalnya, tidak secara langsung menerima pemasukan dari penarikan retribusi menjadi pendapatan asli daerah (PAD).
Sikap yang sama ditegaskan, Hasyim SE selaku Ketua Fraksi PDIP DPRD Medan, yang menilai tidak beralasan bagi sekelompok oknum tertentu untuk menarik parkir, tidak diatur dalam Perda. ”Ini harus ditertibkan, karena tarik retribusi di luar itu adalah pungli,” ucap Hasyim.
Dikatakan Hasyim kembali, masyarakat dapat melaporkan ke pihak keamanan agar menertibkan setiap kegiatan pungli di daerah pemakaman. Terutama pada pelaksanaan Cheng Beng, yang sudah pasti akan dikunjungi pihak-pihak berasal dari dalam dan luar negeri.
“Ciptakan keamanan, ketentraman dan menyamanan pada setiap kita. Upaya pemaksaan dengan mengutip tarif parkir tanpa kesepakatan diputuskan, sangat menjadi perhatian,” singgungnya. Ia juga menyebut masyarakat melaksanakan Cheng Beng dari luar negeri itu sangat berdampak positif, bagi daerah untuk kemajuan pembangunan di Kota Medan.
Polisi Cuma Target Pemerasan
Menanggapi masalah parkir liar, Kapolresta Medan Kombes Pol Mardiaz Kusin Dwihananto menegaskan pihaknya menargetkan tindak pemerasan dilakukan preman terhadap warga, baik itu yang dilakukan juru parkir (jukir), maupun preman.
Hal ini dikatakan Mardiaz, menjawab pertanyaan wartawan mengenai persoalan jukir liar marak meresahkan masyarakat. “Target kami yang utama adalah pemerasan terhadap toko-toko, rumah-rumah yang dimintai oleh OKP, PS (Pemuda Setempat), dan lainnya. Kami tidak ngurusi jukir liarnya, tapi ketika jukir ini memaksa bayar di luar ketentuan itu yang diamankan petugas,” katanya.
Dirinya kembali menegaskan, agar masyarakat yang menjadi korban pemerasan agar tidak takut membuat laporan dan memberikan keterangan atas tindak pidana yang dialaminya. Mantan Kapolres Madina ini mengatakan hotline preman+6285381881993 perharinya menerima ratusan laporan pengaduan masyarakat.
“Namun ketika kita minta pemilik toko menjadi saksi mereka sering ketakutan. Dari hasil sms online yang paling banyak warga resah, akibat tidak adanya tarif resmi dipungut oleh jukir liar ini. Meskipun hanya Rp1000 s/d Rp 2000, masyarakat pengguna lahan parkir merasa resah akibat dipaksa bayar,” kata Mardiaz.
“Nah sekarang tinggal kami yang menuntut bantuan kawan-kawan wartawan, apabila ada menjumpai pemerasan dan pungutan paksa, seperti yang saya definisikan tadi agar melapor ke kami. Dijamin tim pemburu preman akan datang ke tempat anda, untuk melayani masyarakat yang merasa terganggu dan terancam,” tandasnya.(bowo/netty/iswandi)