Tragedi Asiana Airlines – Fakta Baru Menjurus ke Human Error

Pesawat Boeing 777 milik Asiana Airlines dilalap api di landasan terbang saat gagal mendarat di Bandara Internasional San Fransisco, California, Sabtu (6/7) dalam foto milik salah seorang penumpang Eugene Anthony Rah.
Pesawat Boeing 777 milik Asiana Airlines dilalap api di landasan terbang saat gagal mendarat di Bandara Internasional San Fransisco, California, Sabtu (6/7) dalam foto milik salah seorang penumpang Eugene Anthony Rah.

San Francisco | Jurnal Asia

Hasil penyelidikan terhadap insiden jatuhnya pesawat Asiana Airlines di bandara San Francisco Amerika Serikat menguak fakta baru. Pilot pesawat ternyata tidak mampu melihat landasan bandara dengan jelas saat akan mendarat. Di sisi lain, pilot diduga terlalu mengandalkan sistem pilot otomatis atau disebut Throttle System.

Hal ini mampu menjelaskan kenapa posisi pesawat sangat jauh dari posisi ideal untuk mendarat saat kejadian pada Sabtu (6/7) waktu setempat. Penyelidikan kini difokuskan pada apakah faktor kesalahan manusia memang memicu insiden yang menewaskan dua penumpang ini.

Seperti dilansir AFP, Rabu (10/7), hasil penyelidikan juga menemukan fakta bahwa pilot tersebut baru sekali itu mendaratkan pesawat jenis Boeing 777 ke bandara San Francisco yang dikenal memiliki medan yang sulit.
Kepala Dewan Keselamatan Transportasi Nasional (NTSB), Deborah Hersman menuturkan, pihaknya telah meminta keterangan tiga pilot dari total empat pilot yang menerbangkan pesawat Asiana tersebut.

“Pilot yang duduk di kursi lontar menyatakan dirinya tidak bisa melihat landasan dari posisi duduknya. Dan bahwa pesawat bagian hidungnya lebih ke atas, jadi dia tidak bisa melihat landasan,” tutur Hersman.

Ketika pilot instruktur memberi tahu menara kontrol bahwa mereka berada pada ketinggian 500 kaki, dia menyadari itu terlalu rendah untuk mendarat. “Dia mendorong kendali akselerasi ke depan, tapi dia menyatakan bahwa pilot lain sudah melakukannya,” jelas Hersman.

Saat kejadian, pilot keempat tidak berada di dalam kokpit, dia sedang berada di kabin. Para penyelidik sebelumnya menyatakan, hanya selang 1,5 detik sebelum pesawat menghantam daratan, salah satu awak pesawat meminta dilakukannya pembatalan pendaratan pesawat. Namun sayang, hal tersebut sudah sangat terlambat untuk dilakukan. Pesawat akhirnya menabrak dinding pembatas laut dan kemudian hilang kendali, hingga akhirnya meledak ketika salah satu mesinnya terbakar.

Hersman juga mengungkapkan, pilot diketahui terlalu tergantung kepada sistem pilot otomatis atau disebut Throttle System. Mereka menggunakan sistem throttle itu untuk mempertahankan kecepatan pesawat namun tidak sadar bahwa pesawat Boeing 777 itu sudah terbang rendah, hingga hanya berada 60 meter dari permukaan tanah.

Selain menewaskan dua orang, Hersman juga menyebut dua pramugari ikut terlempar ke luar kabin saat ekor pesawat menabrak dinding pembatas laut di depan landasan pacu.  Kedua pramugari itu diketahui berhasil selamat, namun mengalami luka cukup parah. Keempat pilot maskapai asal Korea Selatan itu tidak dites narkoba atau alkohol, karena mereka tidak wajib mengikuti aturan yang berlaku di Amerika Serikat.

“Saat di ketinggian 152 meter, pilot baru menyadari pesawat sudah terbang rendah,” ungkap Hersman.  Masih menurut Hersman antara ketinggian 60 hingga 152 meter, pilot berusaha untuk memperbaiki posisi itu pada detik ke-16 sebelum pesawat jatuh. Sayang tidak berhasil.
Salah satu instruktur pilot disebut Hersman akhirnya menyadari bahwa sistem kemudi otomatis yang mereka aktifkan tidak dapat mempertahankan kecepatan. Alhasil mereka mencoba untuk membatalkan pendaratan namun gagal.

Selama investigasi, Hersman menemukan sistem alat kemudi otomatis memang diaktifkan. Tetapi tidak jelas apakah itu difungsikan dengan benar atau alat itu gagal berfungsi sehingga pesawat jatuh.
“Kami butuh informasi yang lebih banyak sehingga dapat memahami bagaimana sistem kemudi otomatis throttle digunakan. Mereka memang mengatur kecepatan 137 knot dan beranggapan bahwa sistem kemudi otomatis dapat mempertahankan kecepatan,”ujar Hersman yang menirukan kalimat instruktur pilot.

Menurut laporan stasiun berita BBC, Rabu (10/7) saat kecelakaan terjadi, tiga dari empat pilot berada di ruang kokpit. Lee Kang-kuk yang masih menyelesaikan latihannya mengemudikan pesawat Boeing 777 dan baru kali pertama terbang ke San Fransisco, memegang kendali.

Di sampingnya adalah komandan pesawat sekaligus instruktur pilot. Sementara di bangku belakang terdapat dua pilot yang berfungsi sebagai pilot monitor dan pernah terbang ke San Fransisco sebanyak lima atau enam kali.
“Salah satu hal penting yang perlu dipantau saat akan mendaratkan pesawat adalah kecepatan. Jadi, kami perlu memahami apa yang terjadi di ruang kokpit dan peswat,” kata Hersman.

Dikritik
Serikat kesatuan pilot dari Air Line Pilot Association, menyayangkan cara kerja NTSB yang terlalu banyak membeberkan informasi ke publik dalam waktu singkat. Menurut mereka hal itu malah akan memicu persepsi keliru masyarakat melihat peristiwa ini.
“Membeberkan informasi yang berada di dalam kotak hitam pesawat tanpa investigasi menyeluruh mengenai konteks informasi dapat memancing spekluasi soal penyebab kecelakaan yang sesungguhnya,” ujar asosiasi itu dalam pernyataan tertulis.

Namun Hersman membantah kritik tersebut dan berdalih bahwa NTB bekerja untuk publik.  “Kami merasa penting untuk menunjukkan kepada masyarakat bagaimana cara kami bekerja,” ungkap Hersman. (Net)

Close Ads X
Close Ads X