AS mulai Dekati Mesir

KAIRO | Jurnal Asia
Amerika Serikat mengutus Wakil Menteri Luar Negeri William Burns ke Mesir untuk bertemu dengan pemimpin baru. Ini adalah kunjungan pertama pejabat AS ke Mesir, setelah Negeri Piramid itu diguncang kudeta militer atas Presiden Mohamed Morsi.
Menurut kantor berita Reuters, kunjungan Burns ke Mesir berlangsung saat sebagian publik setempat juga mengungkapkan ketidaksukaan mereka kepada AS. Walau terus saling berseteru, baik kubu oposisi yang anti Morsi maupun pendukung kelompok Ikhwanul Muslimin yang mendukung Morsi, sama-sama mengungkapkan kecurigaan atas kepentingan Washington terhadap negara mereka.
Dalam demonstrasi yang berlangsung beberapa hari terakhir di Ibukota Kairo terlihat beberapa foto Duta Besar AS untuk Mesir, Anne Patterson, yang dicoret dengan tanda silang dan ada yang ditambahi tulisan “Pulang Saja Kau, Penyihir.”
Burns merupakan diplomat senior AS yang mampu berbahasa Arab. Di Mesir, dia akan bertemu dengan pemerintah baru, mulai dari presiden, perdana menteri dan petinggi militer yang menjungkalkan Morsi dari kekuasaan 3 Juli lalu. Sejak kekuasaan Morsi digulingkan, Mesir tengah dipimpin pemerintahan transisi yang bertugas menyiapkan pemilu dan referendum konstitusi baru dalam jangka waktu enam bulan.
Deplu AS menyatakan, dalam kunjungannya, Burns akan menegaskan dukungan AS kepada rakyat Mesir sambil menyampaikan seruan untuk mengakhiri aksi kekerasan dan meminta mereka mendukung kepemimpinan transisi yang sedang menyiapkan pemerintahan yang inklusif dan merupakan hasil dari pemilu secara demokratis.
Kunjungan Burns ke Mesir berlangsung hingga Selasa (16/7). Namun, masih belum jelas apakah dia juga akan bertemu dengan pimpinan Ikhwanul Muslimin, kelompok politik berpengaruh yang dalam lebih dari seminggu terakhir terus berdemonstrasi mengecam kudeta atas Mursi dan penahanan para pengurus mereka.
AS sendiri selama ini bersikap hati-hati menyikapi situasi di Mesir. Washington tidak mau langsung menilai langkah militer menggulingkan Morsi, yang menjadi presiden berkat kemenangannya pada Pemilu 2012, merupakan “kudeta.” Bila menyatakan kudeta, sesuai undang-undang AS yang dibuat pada dekade 1980an, Washington harus menghentikan bantuan kepada Mesir.
Padahal, bagi AS, Mesir merupakan sekutu yang sangat strategis di Afrika Utara dan Timur Tengah. Setiap tahun AS rutin mengucurkan bantuan senilai US$1,3 miliar, yang sebagian besar diperuntukkan ke militer.
Kunjungan Burns juga dimungkinkan sekaligus meredam isu kalau AS akan menyerang Mesir.
Namun, laporan itu segera dibantah pihak AS. Mereka justru menyatakan, hanya mempersiapkan kapal angkatan laut untuk bersiap melakukan evakuasi warga AS, bila situasi di Mesir semakin parah.
“Laporan mengenai kemungkinan AS akan mengirimkan pasukan ke Mesir di tengah krisis yang terjadi adalah tidak benar. Yang ada saat ini hanyalah beberapa pasukan marinir yang mempersiapkan evakuasi personel, bila diharuskan untuk melakukan evakuasi dari Kedubes AS,” ujar Juru Bicara Kedubes AS Michael Maloof, Senin (15/7). “Mengenai upaya untuk melakukan penyerangan ke Mesir, saya meragukannya. Bukan menjadi kepentingan AS untuk melakukan hal tersebut.”
Pentagon bersama Kedutaan Besar AS di Mesir menegaskan, publik Amerika tidak akan terlibat dengan masalah lain di Timur Tengah. Juru Bicara Pentagon, George Little menyatakan, laporan semacam ini adalah sebuah kesalahan besar.
Pekan lalu, dua kapal Angkatan Laut AS dikerahkan di Laut Merah Mesir. Tetapi, tidak ada perintah untuk mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan konflik yang terjadi di Mesir.
Bekukan Aset
Situasi di Mesir sendiri memang belum terlihat benar-benar kondusif. Berbagai protes dari kubu pendukung presiden terguling Morsi masih berlangsung, meski intensitasnya sedikit menurun. Hanya saja, perkembangan terakhir diketahui bahwa jaksa penuntut umum Mesir telah memerintahkan pembekuan aset-aset milik 14 petinggi kelompok Islam, termasuk di antaranya sembilan pemimpin Ikhwanul Muslimin.
Pembekuan aset itu merupakan bagian dari perintah penyelidikan dari jaksa penuntut umum Hisham Barakat. Menurut sumber kehakiman yang dikutip kantor berita AFP, pembekuan aset tersebut berdampak pada sembilan pemimpin Ikhwanul Muslimin, termasuk Mohamed Badie, serta lima anggota kelompok Islam lain. (net)

Close Ads X
Close Ads X