Perkembangan Industri Pendukung Masih Terganjal

Jakarta | Jurnal Asia
Kebutuhan bahan baku dan penolong bagi industri pengolahan nonmigas sulit dipenuhi dari dalam negeri. Hambatan utama yakni terkait perpajakan, ketersediaan infrastruktur, dan penguasaan teknologi. Kepala Badan Pengkajian Kebijakan, Iklim, dan Mutu Industri (BPKIMI) Kementerian Perindustrian, Arryanto Sagala, berpendapat secara umum ada tiga hal yang mengganjal perkembangan industri pendukung di tanah air.
“Industri pendukung harus dikembangkan mulai dari perpajakan, infrastruktur, dan bagaimana memancing alih teknologi,” kata dia, akhir pekan kemarin.
Soal pajak misalnya, industri galangan kapal meminta penghapusan pajak pertambahan nilai (PPN) dan bea masuk impor komponen kapal sebesar 15%. Kalau perlu perpajakan ini dihapus sampai ke industri komponen tier pertama.
Kemenperin mencatat terdapat 86 barang yang impornya perlu dipantau lantaran memiliki kecenderungan pertumbuhan volume di atas 30% dengan nilai lebih dari US$10 juta. Sejumlah empat produk masuk binaan Direktorat Jenderal Agro, IUBTT 35 produk, Basis Industri Manufaktur 47 produk.
Sementara itu produsen furnitur mebel dan kerajinan menyatakan 12% kebutuhan barang penunjang diimpor, seperti cat untuk finishing, bahan kulit permukaan sofa, engsel, dan komponen lain. Pasalnya harga komponen impor lebih murah daripada produk lokal.
Berbeda dengan galangan kapal dan furnitur, industri otomotif dan elektronik bisa memeroleh suplai komponen dari dalam negeri. Tapi komponen utama produk bersangkutan tetap dikuasai produsen.
Mesin kendaraan bermotor dan komponen utama produk elektronik seperti chipset biasanya tetap dipasok dari negara asal produsen. Alih teknologi untuk dua komponen ini tidak sepesat barang pendukung lain.
Dirjen Industri Unggulan Berbasis Teknologi Tinggi (IUBTT) Kemenperin Budi Darmadi menyatakan bahan baku plastik untuk produk elektronik bisa dipenuhi dari dalam negeri. Tapi komponen utama serupa chipset tetap disuplai dari produsen.
Sementara untuk kendaraan bermotor pada umumnya mesin tetap dibeli dari luar negeri. “Sebetulnya juga ada perubahan pola produksi industri sejalan dengan perdaga­ngan bebas, tak semua bisa diproduksi dalam negeri. Ada sistem saling pasok antarnegara,” kata Budi.
Saat ini terdapat sekitar 220 produsen komponen elektronika di tanah air. Produk elektronik merek lokal banyak bekerja sama dengan industri penunjang lapis pertama dan kedua. Tapi untuk merek-merek asing biasanya melibatkan produsen komponen lapis kedua saja.
Aryanto sendiri menegaskan, ketergantungan impor bahan baku dan barang penolong diramalkan tak menyusut hingga lima tahun mendatang.
Untuk jenis barang yang terbanyak diimpor terutama mesin, tekstil, serta besi baja dan produk turunan.
“Industri pendukung tak berkembang bukan sekedar karena masalah skala keekonomian. Tapi memang tidak ada niat membangun industri pendukung di dalam negeri,” ujar Arryanto. (bc)Perkembangan Industri
Pendukung Masih Terganjal
Jakarta | Jurnal Asia
Kebutuhan bahan baku dan penolong bagi industri pengolahan nonmigas sulit dipenuhi dari dalam negeri. Hambatan utama yakni terkait perpajakan, ketersediaan infrastruktur, dan penguasaan teknologi. Kepala Badan Pengkajian Kebijakan, Iklim, dan Mutu Industri (BPKIMI) Kementerian Perindustrian, Arryanto Sagala, berpendapat secara umum ada tiga hal yang mengganjal perkembangan industri pendukung di tanah air.
“Industri pendukung harus dikembangkan mulai dari perpajakan, infrastruktur, dan bagaimana memancing alih teknologi,” kata dia, akhir pekan kemarin.
Soal pajak misalnya, industri galangan kapal meminta penghapusan pajak pertambahan nilai (PPN) dan bea masuk impor komponen kapal sebesar 15%. Kalau perlu perpajakan ini dihapus sampai ke industri komponen tier pertama.
Kemenperin mencatat terdapat 86 barang yang impornya perlu dipantau lantaran memiliki kecenderungan pertumbuhan volume di atas 30% dengan nilai lebih dari US$10 juta. Sejumlah empat produk masuk binaan Direktorat Jenderal Agro, IUBTT 35 produk, Basis Industri Manufaktur 47 produk.
Sementara itu produsen furnitur mebel dan kerajinan menyatakan 12% kebutuhan barang penunjang diimpor, seperti cat untuk finishing, bahan kulit permukaan sofa, engsel, dan komponen lain. Pasalnya harga komponen impor lebih murah daripada produk lokal.
Berbeda dengan galangan kapal dan furnitur, industri otomotif dan elektronik bisa memeroleh suplai komponen dari dalam negeri. Tapi komponen utama produk bersangkutan tetap dikuasai produsen.
Mesin kendaraan bermotor dan komponen utama produk elektronik seperti chipset biasanya tetap dipasok dari negara asal produsen. Alih teknologi untuk dua komponen ini tidak sepesat barang pendukung lain.
Dirjen Industri Unggulan Berbasis Teknologi Tinggi (IUBTT) Kemenperin Budi Darmadi menyatakan bahan baku plastik untuk produk elektronik bisa dipenuhi dari dalam negeri. Tapi komponen utama serupa chipset tetap disuplai dari produsen.
Sementara untuk kendaraan bermotor pada umumnya mesin tetap dibeli dari luar negeri. “Sebetulnya juga ada perubahan pola produksi industri sejalan dengan perdaga­ngan bebas, tak semua bisa diproduksi dalam negeri. Ada sistem saling pasok antarnegara,” kata Budi.
Saat ini terdapat sekitar 220 produsen komponen elektronika di tanah air. Produk elektronik merek lokal banyak bekerja sama dengan industri penunjang lapis pertama dan kedua. Tapi untuk merek-merek asing biasanya melibatkan produsen komponen lapis kedua saja.
Aryanto sendiri menegaskan, ketergantungan impor bahan baku dan barang penolong diramalkan tak menyusut hingga lima tahun mendatang.
Untuk jenis barang yang terbanyak diimpor terutama mesin, tekstil, serta besi baja dan produk turunan.
“Industri pendukung tak berkembang bukan sekedar karena masalah skala keekonomian. Tapi memang tidak ada niat membangun industri pendukung di dalam negeri,” ujar Arryanto. (bc)

Close Ads X
Close Ads X