Jakarta – Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia (Apersi) menyebut aturan uang muka 1 persen membuat penjualan rumah meningkat hingga 30 persen selama awal tahun 2017.
“Memang terjadi kenaikan penjualan setelah uang muka 1 persen yang dicanangkan pemerintah. Ada kenaikan penjualan 30 persen dari serapannya bulan-bulan ini,” ungkap Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Apersi, Junaidi Abdillah , kemarin.
Namun, Junaidi tidak memaparkan serapan dari pembelian rumah tersebut per daerah. Sebab, menurutnya berbeda di tiap daerah. Tetapi, ditegaskannya rumah yang banyak diminati adalah rumah subdisi dengan kisaran harga Rp 135 juta untuk daerah Jawa Barat, Rp 180 juta untuk Papua, Rp 130 juta untuk Kalimantan dan Rp 140 juta untuk daerah pinggiran Jakarta dan sekitaran Depok atau Bogor.
Lebih lanjut, Junaidi mengharapkan, aturan uang muka tersebut tidak hanya berlaku untuk perkerja tetap melainkan juga berlaku untuk para pekerja informal. Padahal, para pekerja informal masuk dalam daftar masyarakat berpenghasilan rendah yang merupakan sasaran pemerintah sesungguhnya.
“Kalau bisa uang muka 1 persen itu berlaku untuk semuanya jangan hanya berlaku untuk teman-teman berpenghasilan tetap saja. Banyak masyarakat yang belum dapet rumah itu adalah pekerja informal dan itu penting. Mereka tidak bisa beli rumah karena tidak bankable para penjual-penjual itu. Kasihan, padahal itu termasuk data backlog (kekurangan ketersedian),” ujarnya.
Oleh karena itu, Junaidi mengharapkan pemerintah campur tangan untuk mewujudkan program uang muka satu persen untuk para pekerja informal. Di samping, program Kredit Pemilikan Rumah (KPR) untuk pekerja informal yang saat ini ditangani oleh Bank Tabungan Negara (BTN).
“Itu kan harus ada campur tangan pemerintah. Kalau hanya diserahkan ke BTN saja tidak bisa maksimal serapannya karena BTN itu kan tugasnya berat. Kalau mikro tidak ada subsidinya, mikro itu kan murni dari perbankan. Kita maunya pemerintah ikut masuk di situ untuk para mikro,” ungkapnya.
Junaidi mencontohkan sulit menyediakan rumah murah bagi pengusaha mikro kecil di tengah kota tanpa bantuan dari pemerintah. Sebab, harga lahan di perkotaan sudah sangat melambung tinggi sehingga butuh dukungan pemerintah pusat ataupun daerah.
“Harga tanah berapa dan maksimal KPR mikro adalah Rp 75 juta. Pertanyaan adalah harga rumah Rp 75 juta di tengah kota? Mudah-mudahan itu diarahkan ke pinggiran, tapi di pinggiran itu untuk harga Rp 75 juta, Saya rasa sulit. Tetapi kalau untuk nelayan masih bisa, petani masih bisa,” ujarnya.
Meskipun demikian, Junaidi menegaskan bahwa Apersi siap mendukung program satu juta rumah untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).
Lindungi Pengembang
Junaidi juga mengatakan ketentuan pajak progresif untuk tanah menganggur akan menguntungkan pengembang perumahan yang semakin sulit mendapatkan lahan.
“Pajak progresif untuk kami menguntungkan karena diberlakukan kepada para spekulan. Artinya, tanah dibeli, tapi tidak digarap sehingga untuk membangun rumah MBR. Kami kesulitan mendapat akses, kesulitan mendapat tanah murah, karena memang untuk investasi para spekulan ini,” kata Junaidi .
Namun Junaidi meminta agar regulasi pajak progresif dibuat lebih melindungi pengembang yang membangun rumah subsidi karena itu yang melindungi pengembang rumah subsidi.
“Kalau kita perhatikan rumah yang akan dibangun nanti oleh para spekulan katanya, tetapi faktanya sekian puluh tahun juga belum dikerjakan,” ujarnya.
Apalagi dengan keberadaan spekulan tanah, maka pengembang mendapatkan tanah dengan lokasi jauh. Sedangkan semakin jauh lokasi, infrastrukturnya sangat kurang. Akibatnya, harga rumah menjadi mahal.
“Harga rumah murah juga akhirnya tinggi karena infrastruktur tidak mendukung. Ada beberapa daerah yang menyamakan para pengembang subsidi ini dianggapnya margin, bagaimana pun kita coba ikut bermain, di situ, ini hambatannya. Padahal rumah subsidi jelas misi pemerintah untuk menuntaskan kemiskinan,” ungkapnya.
Diketahui, pemerintah berencana mengeluarkan kebijakan pemerataan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan dan mengurangi ketimpangan di masyarakat. Salah satu poinnya menerapkan pajak progresif bagi lahan yang menganggur.
Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/ Kepala Badan Pertanahan Nasional, Sofyan Djalil menjelaskan bahwa saat ini kementeriannya dengan Kementerian Keuangan (Kemkeu) masih merumuskan aturan penerapan
Namun ia menjelaskan bahwa semangat penerapan pajak progresif untuk lahan menganggur adalah menghindari tanah menjadi bahan spekulasi yang menjadi penyebab harga melambung. Akhirnya, masyarakat sulit memiliki tanah.
Dalam pertimbangannya, penerapan pajak progresif membuat masyarakat berpikir ulang sebelum membeli tanah sebab kemungkinan pajak akan dibebankan pada calon pembeli. Akibatnya, keuntungan bisnis tanah akan berkurang sehingga membeli tanah hanya sesuai keperluan.
Hanya saja, Sofyan mengungkapkan bahwa penerapan pajak progresif akan dikecualikan untuk kawasan industri ataupun industri swasta lainnya yang memiliki perencanaan bisnis jelas.
(bs)