Padang – Anggota Dewan Pers Jimmy Silalahi mengemukakan maraknya informasi hoaks pada awalnya dipicu oleh ketidakpercayaan publik pada media arus utama sehingga muncul media alternatif yang malah menjadi sarang informasi palsu.
“Berita hoaks muncul saat pemilu dan pilkada ketika itu sejumlah pemilik media yang membuat partai sehingga masyarakat jadi tidak percaya kepada media arus utama,” katanya di Padang, Rabu (26/4).
Ia menyampaikan hal itu pada kegiatan workshop bertema “Literasi Media Sebagai Upaya Cegah Tangkal Radikalisme dan Terorisme di Masyarakat” diselenggarakan Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Sumatera Barat.
Jimmy mengatakan media arus utama partisan tersebut telah melepaskan diri dari independensi sehingga mendorong lahirnya media alternatif.
“Akibat ketidakpercayaan kepada media arus utama orang kemudian beralih ke media sosial walaupun di dalamnya rawan berita hoaks,” kata dia.
Lebih lanjut media sosial telah menyebabkan orang menjadi bertikai karena perbedaan pilihan dalam politik akhirnya bermusuhan dan saling menjelekkan. “Media sosial biasanya akan panas saat ada pemilu atau pilkada di daerah,” ujarnya.
Ia memberi contoh salah satu berita hoaks adalah beredar foto aparat keamanan sedang melakukan simulasi pengamanan di DPR, namun pada keterangan informasi ditulis aparat hendak menembaki rakyat menggunakan senjata.
“Bahkan yang lebih ekstrem ada seorang gelandangan yang nyaris tewas dihakimi massa karena saat itu sedang marak isu penculikan anak padahal yang bersangkutan tidak bersalah,” katanya.
Namun ia juga menyayangkan ada media arus utama terkadang menjadikan media sosial sebagai sumber berita jika sudah kehabisan ide. “Diambil dari media sosial kemudian tanpa verifikasi akhirnya media arus utama ikut menyebarkan hoaks,” kata dia.
Ia menceritakan Ahmad Dhani saat pilpres pernah mengatakan akan memotong kemaluan lewat media sosial namun setelah dilakukan digital forensik, ternyata itu adalah akun palsu dan lebih parah pernyataan tersebut malah dikutip 17 media daring besar.
Jimmy mengajak masyarakat untuk tahap awal lebih percaya kepada media arus utama sembari tetap melakukan konfirmasi kebenaran berita yang disiarkan.
Sementara Ketua PWI Sumbar Heranof mengatakan saat ini dengan kehadiran gawai informasi yang baik, buruk, benar dan salah bercampur menjadi satu sehingga sulit dibedakan.
“Oleh sebab itu masyarakat harus bisa membedakan mana sumber berita yang jelas, kenali medianya pahami isinya pilah mana yang layak diteruskan,” kata dia.
Bedakan Pers dan Media Sosial
Jimmy Silalahi juga mengajak masyarakat dapat lebih jeli membedakan antara produk pers dengan informasi yang beredar di media sosial sebagai upaya membentengi diri dari informasi hoax atau kabar palsu.
“Jangan disamakan antara informasi dengan berita karena itu adalah hal yang berbeda,” kata Jimmy.
Ia menjelaskan perbedaan utama produk pers dengan media sosial adalah apa yang dihasilkan oleh pers disebut berita sementara apa yang keluar di media sosial adalah informasi.
“Dari sisi produksi berita harus diolah oleh wartawan yang memiliki kompetensi yang terukur sementara produk media sosial bisa ditayangkan oleh siapa saja tanpa memandang latar belakang,” ujar dia.
Kemudian cara kerja pers memiliki tim yang disebut dengan redaksi dengan standar yang ketat sementara media sosial lebih kepada pribadi sehingga sifatnya perorangan, lanjut dia.
Berikutnya terkait dengan pertanggungjawaban dalam pers ada jenjang mulai dari pemimpin redaksi hingga wartawan sedangkan untuk media sosial tidak ada dan dapat disebarkan kapan pun oleh siapa saja.
Lalu produk pers memiliki batasan yang disebut dengan Kode Etik Jurnalistik sedangkan media sosial tidak terikat batasan apapun, kata dia.
“Yang namanya wartawan itu adalah profesi dan terikat kepada kode etik sedangkan media sosial bukan profesi jadi tidak terikat kepada apapun,” lanjut dia.
Selanjutnya produk pers harus memiliki badan hukum minimal berbentuk PT sebagai legalitas mengacu kepada standar perusahaan pers yang ditetapkan Dewan Pers.
Selain itu produk pers memiliki identitas yang jelas dan bisa ditelusuri sedangkan media sosial dapat saja identitas dipalsukan atau hari ini ada orang yang menyebarkan informasi tapi besok sudah hilang.
Oleh sebab itu ia menegaskan yang namanya media sosial itu bukan produk pers karena memiliki perbedaan yang jelas.
(ant)