Meski Berbeda Astrologi Tiongkok dan Jawa Punya Kesamaan

Tanggal 16 bulan ini, saudara kita keturunan Tiongkok merayakan tahun baru atau yang dikenal dengan istilah Imlek. Nuansa merah, lampion, barongsai, juga kembang api hampir menghiasi setiap sudut kota.

Tahun baru Tiongkok selalu dirayakan dengan sebuah festival yang dimulai pada malam sebelum hari pertama pada bulan pertama kalender lunar atau kalender Tiongkok dan berakhir pada hari ke-15 pada bulan pertama kalender lunar.

Selain kemeriahan yang disebutkan di atas, sebenarnya ada satu lagi yang tak lepas dari imlek, yakni shio dan peruntungannya.

Tradisi yang melekat dalam masyarakat Tiongkok, setiap bayi yang lahir diwakili oleh seekor binatang sebagai zodiaknya. Zodiak ini dinamakan shengxhiao atau dikenal dengan istilah shio.

Perbedaan shio setiap tahun sebenarnya didasarkan pada kalender tradisional Tiongkok yang bersifat siklis dan berdasarkan bulan. Sama seperti kebudayaan lain, orang Tiongkok juga menggunakan kalender masehi sejak 1911, tetapi mereka pun tidak meninggalkan tradisi nenek moyangnya.

Nenek moyang orang Tiongkok menciptakan perhitungan Ganzhi. Gan yang berarti batang surga memiliki 10 huruf, diwakili oleh lima elemen bumi, yakni kayu, api, tanah, logam, dan air, yang masing-masing dalam bentuk yin dan yang berurutan.

Sementara Zhi yang artinya cabang bumi terdiri dari 12 huruf yang diwakili oleh 12 binatang, yakni tikus, sapi, macan, kelinci, naga, ular, kuda, kambing, monyet, ayam, anjing, dan babi.

Dengan menggabungkan urutan 10 batang surga dan 12 cabang bumi, terbentuklah 60 pasang simbol pencatatan tahun dan berada dalam satu siklus.

Setiap hewan beserta yin dan yang akan berganti setiap tahun, sedangkan untuk elemen akan berganti dua tahun sekali. Ini digunakan oleh masyarakat Tiongkok untuk memproyeksi umur.

Pola astrologi ini pun disebut sangat mirip dengan astrologi orang Jawa. Bhiksu Dutavira Benny mengatakan, kemiripan dengan astrologi Jawa mencapai 70 persen.

“Perbedaan yang nyata antara astrologi Tiongkok dan Jawa adalah berdasarkan perhitungan unsur dan jam,” kata pria yang akrab disapa Suhu Benny, Kamis (15/2).

Ia menerangkan, astrologi dalam tradisi Tiongkok berdasarkan pada tai chi yang muncul gelombang dan menciptakan yin dan yang. Prosesnya yang panjang membentuk energi yang solit.

Hal yang sama pun disampaikan tokoh Tionghoa Solo, Sumartono Hadinoto. Saat dihubungi Kompas.com, Kamis (15/2), ia menyampaikan, shio memiliki karakteristik yang mirip dengan zodiak bagi orang Barat atau wuku bagi orang Jawa dan Bali.

“Caranya (menghitung) sama. Itu sebenarnya hanya mengambil sifat dasar manusia yang lahir pada bulan-bulan tersebut dan digambarkan sesuai dengan penggambaran masing-masing. Kalau wuku itu pewayangan, kalau shio binatang, dan zodiak juga binatang. Bedanya pada nama dan simbolnya saja,” ujar Martono.

Laurentius Suwarno, budayawan Jawa dari Solo, mengatakan, astrologi Jawa banyak dipengaruhi oleh budaya yang juga menggunakan bulan sebagai pedoman astrologi, seperti budaya Tiongkok, Islam, Hindu, dan Buddha.

“Astrologi Jawa yang spesifik adalah hari dan pasaran atau selapan yang memiliki 35 hari siklus alam. Hal ini pun tidak ditemukan dalam budaya lain,” kata Suwarno kepada Kompas.com, Jumat (16/2).

Ia mengatakan, penanggalan Jawa lebih mirip pada penanggalan Hindu dan Tiongkok yang berbasis pada musim dan iklim. “Oleh sebab itu, bentuk-bentuk ritual mistis orang jawa hampir mirip dengan Tiongkok dan Hindu, yaitu adanya sistem sesaji,” ujarnya.

(kc/hut)

Close Ads X
Close Ads X