Tak Ada Jaminan Bebas Pemadaman | Meski Listrik Bertambah 35 Ribu MW

Pemerintah saat ini sedang mengebut proyek listrik 35.000 MW. Kebutuhan listrik makin banyak sementara tidak ada pembangkit listrik baru yang dibangun. Hal itu diungkapkan Wakil Ketua Unit Pelaksana Program Pem­bangunan Listrik 35.000 MW Agung Wicaksono dalam diskusi di Jakarta, Minggu (4/10).

“Kembali ke 35.000 MW, itu dasarnya target, tapi juga kebu­tuhan. Kita sebut 35.000 MW se­bagai kebutuhan karena sejak krisis tahun 1997, tidak pernah ada pembangkit listrik baru yang dibangun (sampai 10.000 MW tahap I). Sehingga PLN hampir membubarkan divisi kontruksinya. Bayangkan berapa lama kita tidak membangun pembangkit baru,” katanya.

Ia mengatakan, selama ini masalah perizinan menjadi kendala dalam membangun pembangkit listrik baru. Namun masalah ini sudah bisa teratasi dengan ada­­nya rencana pemerintah me­mangkas perizinan.

“Untuk masalah perizinan, kita ada perizinan satu pintu di BKPM jadi kita mengandalkan one stop service. Bukannya one service terus stop, kemudian kita sedang siapkan peraturan presiden yang akan memberi prioritas kepada program 35.000 mw, sehingga izin-izin dapat disederhanakan. Misalkan, pada sektor kehutanan, jika belum mendapatkan izin prinsip bisa melanjutkan pembangunan. Sementara untuk izin prinsip bisa diurus secara paralel,” ujarnya.

Bukan Jaminan Tak Ada Pemadaman
Pemadaman listrik diperkirakan akan terus terjadi meskipun nantinya proyek pembangunan pem­bangkit listrik 35.000 mega­watt (MW) terwujud. Menurut anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Rinaldy Dalimi, pemadaman listrik secara alamiah adalah keniscayaan karena kemampuan pemerintah mengejar kebutuhan dana dan mem­bangun tidak sebesar kebu­tuhan listrik yang ada saat ini.

“Kalaupun selesai proyek 35.000 megawatt nanti, selama rasio elektrifikasi kita belum 100 persen, maka kita akan selalu kurang,” ujar Rinaldy saat ditemui di acara diskusi Energi Kita, di Jakarta, Minggu (4/10).

Apabila rasio elektrifikasi sudah mencapai 100 persen, nantinya kebutuhan real hanya akan dipengaruhi oleh kebutuhan ekonomi. “Kalau sekarang ini be­rapa saja yang dibangun itu akan ‘terserap’ apabila semua per­­syaratan infrastruktur terse­lesaikan,” ujarnya.

Saat ini berdasarkan data Ke­men­terian Energi dan Sum­ber Daya Manusia (ESDM) pada Agustus 2014, realisasi elek­trifikasi di seluruh Indonesia mencapai 82,37 persen. Di tahun 2015 ini ditargetkan rasio elektrifikasi akan naik 1,06 persen menjadi 85,18 persen.

Sementara itu, Wakil Ke­tua Unit Pelaksana Program Pem­bangunan Listrik 35.000 MW Agung Wicaksono mengatakan, sam­pai saat ini prosesnya proyek ter­sebut masih berjalan.
“Sampai hari ini, yang sudah terbangun termasuk kuartal sebelumnya adalah 1.500 mw. Untuk tanda tangan kontrak sudah mencapai 6.000 mw. Memang ada progress, namun masih banyak hal yang harus dicapai,” katanya usai diskusi di Jakarta, Minggu (4/10).

Saat ini masih banyak daerah di Indonesia yang mengalami defisit listrik. Oleh karena itu, proyek raksasa ini sangat penting untuk dibangun. “Sebenarnya bukan 35.000 MW, tapi plus dengan 7.000 MW yang sudah dibangun jadi 42.000 MW. Tapi apakah itu bisa segera selesai sehingga pemadaman (listrik) bisa dihentikan langsung? Jadi pelan-pelan defisit akan teratasi kalau jangka waktu singkat tidak bisa tertangani, yang bisa cepat dengan pembangkit sewa tapi harganya mahal dan butuh subsidi banyak,” katanya.

Ia mengatakan asumsi pertumbuhan kebutuhan listrik di Indonesia tiap tahun sebesar 6-7%. Sehingga pemerintah harus menyediakan tambahan listrik dengan pertumbuhan 8,7% tiap tahun.
Daerah yang saat ini kekurangan listrik adalah wilayah Indonesia bagian timur. Ada alasa khusus mengapa wilayah timur selalu kekurangan listrik. “Alasan yang pertama adalah soal infrastruktur masih kurang untuk listrik. Terutama daerah kepulauan, banyak pulau kecil yang punya 100 kepala keluarga dan untuk menjangkaunya belum ada upaya,” katanya. (dtf/ant)

Close Ads X
Close Ads X