Survei Wahid Institute: 11 Juta Orang Mau Bertindak Radikal

Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo (keempat kiri) bernyanyi didampingi Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian (ketiga kanan), Kepala UKP-PIP Yudi Latief (kanan), Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto (kedua kanan), Direktur The Wahid Institute Yenny Wahid (kedua kiri) dan Ketua Umum DPP Taruna Merah Putih Maruarar Sirait (ketiga kiri) serta penyanyi Edo Kondologit (kiri) saat acara Simposium Nasional di Balai Kartini, Jakarta, Senin (14/8). Taruna Merah Putih mengadakan simposium nasional bertajuk “Bangkit Bergerak, Pemuda Indonesia Majukan Bangsa”. ANTARA FOTO/Galih Pradipta/aww/17.

Jakarta – Direktur Wahid Institute Yenny Wahid menyebutkan, sebanyak 11 juta orang bersedia melakukan tindakan radikal. Data itu berdasarkan hasil survei tentang radikalisme dan intoleransi yang dilakukan lembaganya.

Yenny menyampaikan hal itu dalam diskusi Simposium Nasional. Putri Presiden RI keempat Abdurrahman Wahid itu mengatakan, survei tersebut dilakukan pada 1.520 responden dengan metode multi stage random sampling.

Berdasarkan survei tersebut, sebanyak 0,4 persen penduduk Indonesia pernah bertindak radikal. Sedangkan 7,7 persen mau bertindak radikal kalau memungkinkan.

“Kalau dari populasi berarti 600 ribu pernah bertindak radikal dan 11 juta orang mau bertindak radikal. Sama seperti penduduk Jakarta dan Bali,” kata Yenny di Balai Kartini, Jakarta Selatan, Senin (14/8).

Yenny menjelaskan, kesenjangan ekonomi dan ceramah sarat kebencian menjadi penyebab berkembangnya radikalisme di Indonesia.

“Salah satunya karena kesenjangan, kalau miskin bareng kalau kaya bareng, itu komunal. Kalau di sini terpapar ceramah yang berbau kebencian pada ustaz yang mengajarkan jihad itu perang. Jadilah orang yang rentan radikal,” kata Yenny.

Yenny mengatakan orang yang terekspose kebencian mudah terpapar radikalisme. Ia pun meminta masyarakat Indonesia memastikan muatan kebencian tidak beredar di masyarakat.

“Jangan biarkan ruang publik dikuasai pihak yang menyebarkan kebencian,” katanya.

Yenny juga menjelaskan soal salah kaprah masyarakat mengenai keterkaitan antara tingkat pendidikan dan ekonomi dengan radikalisme.

Dia menjelaskan masyarakat sempat salah berpendapat soal bidang-bidang yang tidak berkaitan dengan radikalisme. Selama ini sebagian orang menganggap radikalisme dekat dengan kelompok berpendidikan rendah dan berpenghasilan kecil.

“Ternyata enggak ada hubungannya sama sekali. Contoh Bahrun Naim, S2 UI dan anak saudagar batik di Solo, dia sekarang di ISIS,” kata Yenny.

Menurut Yenny hal serupa juga terjadi di negara lain, bukan hanya di Indonesia. Oleh karena itu radikalisme menjadi tantangan berat bagi Indonesia.

“Tapi kita punya modal, yaitu Pancasila. Demokrasi Pancasila adalah sintesa yang luar biasa,” kata Yenny.

(cnn)

Close Ads X
Close Ads X