Setelah Skripsi

Cerpen : Musdalifah

Dari sejak Oktober 2017 lalu, hatiku selalu cemas. Jantungku berdetak tidak stabil. Kecemasan akan bagaimana berjalan di akhir-akhir semester. Bagaimana melalui pahitnya ngebut skripsi, ngejar-ngejar pembimbing yang sok sibuknya luar biasa. Perihal tanda tangan saja harus ini, harus itu.

Setelah peraktek pengalaman lapangan selesai, aku mulai mengajukan judulku sebanyak delapan. Dan alhamdulillah, semua tidak ada yang diterima. Semua judul yang ku kemukakan disilang besar.

“Judulmu kurang menarik, cari lagi yang banyak!”

“Oh iya, Buk. Baiklah, akan saya cari lagi nanti.”

Pulang dengan selembar kertas yang berteteskan air mata. Kemana lagi harus ku temukan judul yang menarik itu? Sedangkan di isi kepalaku sudah ku paparkan dan tidak diterima satu pun.

Kemalasan dalam mencari judul mulai hadir dalam benakku. Namun, teman-temanku selalu mensuport agar aku tetap mencari dan tetap semangat. Ku cari buku-buku yang dipelajari, ku temukan beberapa judul di bagian-bagian isinya. Hanya tiga yang kutemukan, meski mereka berkata minimal delapan, aku tidak peduli. Otakku sudah tidak mampu mencari banyak-banyak lagi.

Setelah jam makan selesai, aku menghampiri dosenku. Dan mencoba menjelaskan judul-judulku untuk lebih meyakinkan kepadanya. Ia tertarik semuanya bagus, aku memilih judul yang sedikit menantang.

Aku mulai mengerjakan proposalku, dari bab satu sampai tiga. Bimbingan dengan coretan-coretan yang menyakitkan. Sudah bimbingan sekali, eh besoknya dicoret lagi. Di pertengahan Desember proposalku sudah diterima dan akan melanjutkan seminar proposal.

“Kamu sudah siap maju seminar?” Tanya pembimbingku.

“Siap, Pak. Semua harus dilalui, Pak. Jawabku”

“Baiklah, kamu baca ulang-ulang lagi. Agar nanti bagus hasilnya.”

“Baik, Pak.”

Seminar ini lebih menakutkan dari pada sidang meja hijau kata mereka-mereka yang sudah wisuda. Dan aku selalu panik, duduk tidak tenang, makan tidak lahap, minum tidak tertelan.

Seminar berlangsung dari pagi sampai sore hari, hingga menutup senja. Pujian dan arahan sangat memotivasi untuk melanjutkan bab selanjutnya.

Kelegahan hanya sebentar, mulai cemas lagi untuk bab selanjutnya. Harus riset ke sekolah, setelah semua selesai baru bimbingan kembali, dicoret-coret lagi, bimbingan lagi: begitulah seterusnya sampai diterima.

Bimbingan yang terakhir kalinya, dan akhirnya skripsiku diterima untuk melanjutkan sidang meja hijau. Senangnya luar biasa. Namun, siapa tau sidang itu tidak menegangkan kepala. Semua harus dilewati demi terselesainya perjuangan ini.

Pertengahan Maret harus sidang, tepatnya hari senin 19 Maret 2018. Namaku tertera di list peserta sidang. Belajar terus-terusan, mau tidur belajar, bangun tidur belajar. Bahkan alas kepalaku bukan bantal yang empuk, tapi tumpukan kertas yang berisikan skripsi yang akan di paparkan senin mendatang.

Tidur tidak lelap, selalu tersentak di larut-larut malam. Karna, bangun aku harus berada dihadapan mereka dengan setumpuk pertanyaan yang belum tentu mampu kujawab dengan sempurna.

Sidang berjalan hingga siang hari. Semua dosen sudah ku lalui untuk tanya jawab. Yudisium yang akan segera diumumkan. Ada yang lulus dengan nilai yang buruk, ada yang lulus dengan nilai sangat baik. Namun, namaku sangat jauh disebut. Mata terpejam dengan kuat. Seketika semua harus selesai pada hari itu.

Namaku disebut dengan nilai yang tidak terlalu bagus dan tidak begitu buruk. Aku lulus yudisium dengan hasil yang tak di ragukan. Setelah namaku disebut, hanya mereka yang ingin kudekap dengan erat.

Tapi tak ku temui itu, aku hanya bisa meneteskan air mata dan rasa syukur. Aku hanya bisa menghubungi ayahku via telepon. Tapi tidak dengan ibuku. Dia dimana? Kenapa tidak terlihat? Aku ingin bersamanya saat masa bahagia ini.

Dulu aku pernah berbisik pada telinganya; sehat-sehat terus ya, bu. Hingga aku sarjana, dan bekerja untuk ibu. Tapi itu semua sirna, ia pergi tanpa pamit. Dan tidak selalu hadir saat ku pinta akan kerinduan wajahnya.

Semua terasa hampa, gelar yang susah payah diraih ini terasa biasa saja tanpa ada ibu melihatnya. Terasa tidak adil, jika aku disini akan berhasil dan masih bernafas, sedangkan ibu hanya membayang.

*) Musdalifah adalah mahasiswi FKIP Bimbingan dan Konseling UMSU

Close Ads X
Close Ads X