Penjajah Cinta (2)

Cerpen: L Masruroch
Penjajah Cinta (1)Adzan subuh pun mulai terdengar. Surau disekat rumah Marni menjadi tempat yang paling mendamaikan  hati. Tempat pelarian dari segala problema kehidupan. Mengadu pada yang Maha tahu, tanpa ragu dan malu menangis tersedu. Memohon ampun atas segala keliru. Lulusan SMK jurusan akutansi ini seringkali dihantui oleh dilemma dalam hatinya. Keluarga adalah sumbe kekuatan terbesar dalam hidupnya. Apalah arti impian-impiannya tanpa restu dan dukungan keluarga. Mereka seolah berjalan dijalan yang berbeda dengan Marni. Jalan yang memiliki tujuan yang berbeda pula. Jalan yang memisahkan keduanya semakin jauh.
Terliahat kekecewaan yang mendalam diwajah Bapaknya sepulang dari rumah neneknya. Karena tinggal dikota yang sama sengan neneknya. Bapak Marni pun mendatangi rumah orang tua David untuk memperjelas acara perjodohan anak mereka. Namun semuanya hancur sebelum wktunya. Perjodohan tersebut harus dibatalkan tanpa adanya kejelasan. Diuraikannya kisah demi kisah rencana perjodohan antara David dan Marni. Suara Bapaknya terdengar kacau, terasa kering. Kabar tersebut meniupkan angin surge bagi Marni. Hatinya berjingkrak kegirangan layaknya penonton konser rock dilapangan luas. Penuturan sang Bapak melepas rantai besi yang mengikat tubuhnya melilitnya hingga sulit bernafas. Semua beban pikirannya telah meguap terasa ringan hidupnya. Hidup yang selama ini dia rasakan bagai bernafas tanpa udara. Hidupnya kembali menyala, berkobar-kobar penuh semangat meraih cita-cita. Meski begitu, disimpan bahagianya itu dari pandangan orang tuanya. Seolah dia turut berduka atas pembatalan perjodohan itu. Bagi Murni tak perlu tahu alas an pembatalan itu, yang jelas kini dia kembali bebas.
Keesokan harinya wajah berseri-seri terpancar dari kedua pipinya yang cubby terlihat mereka. Namun itu tidaklah lama terjadi, terdengar suara motor menghampiri halamannya. Diintipnya terlihat dari jendela kamar. Marni mencoba memastikan siapa yang datang. Wajahnya terlihat asing. Dalam hatinya bertanya-tanya siapakah dia ?. Terdengar akrab sapaan Bapaknya pada lelaki yang masih muda itu.
“ Nduk, cepat keluar ! ada tamu. Dandan dulu yang ayu yo !” perintah Ibunya sambil menata rambut Marni yang acak-acakan.
“ Siapa sih bu……? “ Tanya Marni penasaran
“ Itu David Nduk”. Jawab Ibunya dengan seulas senyum tipis
“ Hah ?? David ? kok dia datang ke sini ? Bukankah seudah dibatalkan ? “ ucap Marni terkejut setengah mati.
“ Hus…… pelan-pelan. Kan bagus to Nduk……., berarti dia serius sama kamu “ Ucap Ibunya kemudian berlalu meninggalkan anak gadisnya yang masih bengong. Dalam hatinya mengamuk-ngamuk dia merasa diejek oleh keadaan ini.
“ Untuk apa harus menemui dia, aka tak punya kewajiban untuk hal itu “. Gerutunya sambil meremas-remas guling yang di pangkunya.
Langkah kakinya begitu berat untuk menuju ruang tamu. Menemui David yang datang tak diundang. Obrolan mereka terasa kering, bagai musim kemarau panjang. Ngalor-ngidul tanpa tujuan tak sedikit pun Marni menatap calon suaminya. Senyumnya kecut, mukanya di tekuk, pikirannya sibuk mempertanyakan apa yang sebenarnya terjadi.
Anggap saja ini menyambung silaturohmi, ini hanya perkenalan biasa. Tidak ada yang perlu ditakuti. Ini hanya untuk menyambung tali persaudaraan,” Ucap Marni dalam hati mencoba untuk menenangkan keributan  dalam batin dan otaknya. Pertemuan yang membosankan. Kopi darat yang aneh menyebalkan.
Karena merasa bosan, Marini pun pamit ke belakang dengan alas an yang dia buat-buat. Bapaknya pun jadi sasaran empuk untuk menggantikannya ngobrol dengan sang calon mantu. Entah apa yang mereka bicarakan. Terlihat begitu serius tapi Marni tak ingin mendengarkannya. Te4linganya terasa panas dan gatal. Dia hanya melihat sepintas saja dan balik gorden ruang tengah. Ibunya pun demikian dan sangat betah berlama-lama disana kemudian membuntuti langkah  putrinya.
Percakapan antara dua lelaki itu membuahkan sebutir keputusan pahit yabg harus ditelan Marni. Keputusan yang membuatnya mual dan ingin muntah. Marni diharuskan untuk pergi menemui sang calon mertua dikota. Dia akan menginap selama dua hari dirumah kakaknya David yang hanya berjarak 1km dari rumah David. Entah apah pula yang difikirkan  kedua orang tuanya, mereka mengiyakan permintaan David itu tanpa curiga.
Sepanjang perjalanan menuju Kota Lamongan tempat dimana David dibesarkan, mereka hanya diam. Mulai tumbuh penyesalan dalam batin Marni. Betapa bodohnya dia. Mau memainkan peran konyol semacam ini. Tapi harus bagaimana lagi sudah berjalan sejauh ini. Jika harus kembali pulang, Marni tidak membawa uang sepeserpun untuk ongkos naik angkutan. Rintik hujan mulai menyapa, Seolah ingin menyirami batin Marni yang meradang kesetanan, memaki-maki dirinya sendiri. Bentuk perhatian-perhatian kecil mulai tercipta. Batinnya terus meraung-raungkan penyesalan.
“ Gerimis nih, pake jaket dulu ! bahwa jaket kan ?” ucap David sambil menghentikan laju motor nya.
“ Ya…..” jawab Marni sekenanya memangnya kalu tidak kenapa ? Sok care banget deh Marni membatin.
(Bersambung)

Close Ads X
Close Ads X