Dua Aktivis Danau Toba Diduga Dianiaya Penambang Batu

Samosir – Dua orang aktivis, Sebastian Hutabarat (47) dan Johannes Marbun (37) dianiaya sekelompok orang di Desa Silimalombu, Kecamatan Onanrunggu, Kabupaten Samosir, Selasa (15/8).

Akibat penganiayaan tersebut, kedua pria yang kerap menyuarakan penyelamatan lingkungan di kawasan Danau Toba itu mengalami luka di bagian wajah, kepala, dan tangan. Keduanya sudah membuat laporan polisi ke Polres Samosir pada Selasa (15/8) setelah sebelumnya melakukan visum ke rumah sakit setempat.

“Benar kami sudah mengadu ke Polres Samosir, pada Selasa sore,” kata Sebastian Hutabarat, salah seorang korban yang merupakan warga Jalan Tarutung 100, Balige, Kabupaten Tobasa, dihubungi Rabu (16/8).

Kejadian tersebut menurut Sebastian, berawal saat dia dan Johannes yang kebetulan ada agenda ke Kabupaten Samosir. Lalu dia dan Johannes tiba di Desa Silimalombu. Di lokasi itu sedang ada kegiatan penambangan batu. Mereka bertemu dengan Jautir Simbolon, pemilik penambangan batu.

Saat itu, mereka bertemu dan berbincang-bincang. Diduga Simbolon merasa tidak enak dengan pertanyaan Sebastian dan Johannes, terkait protes warga atas kegiatan penambangan batu di desa tersebut yang dikhawatirkan merusak lingkungan. Sebastian dan Johannes pun pamit baik-baik.

“Sekitar 10 meter dari tempat kami berbincang, kami dikejar dan dipukuli bergantian oleh beberapa orang anak buahnya Simbolon itu,” kata Sebastian.

Hal serupa disampaikan Johannes, yang dikenal sebagai Sekretaris Eksekutif Yayasan Pencinta Danau Toba, menyebut, dia dipukul Jautir Simbolon pertama kali di bagian pelipis kanan. Saat dipukul, Johannes terjatuh dan diseret hingga pakaiannya robek, yang kemudian sudah dijadikan sebagai alat bukti oleh kepolisian.

“Diperkirakan ada 10 orang yang memukuli kami, termasuk Jautir,” kata Johannes yang mengaku sedang berada di Kabupaten Tobasa untuk menenangkan diri.

Bantah Aniaya
Sementara itu, Jautir Simbolon (57), warga Kabupaten Samosir mengaku tidak ada peristiwa pemukulan atau penganiayaan terhadap dua aktivis lingkungan Danau Toba di lokasi penambangan batu di Desa Silimalombu, Kecamatan Onanrunggu, Kabupaten Samosir.

Hal itu disampaikan Jautir Simbolon saat dihubungi Kamis (17/8), terkait tuduhan dugaan penganiayaan dua aktivis Danau Toba, Sebastian Hutabarat (47) dan Johannes Marbun (37), yang dilakukannya bersama sejumlah anak buahnya.

“Saat kejadian, Hutabarat dan Marbun berlari dari lokasi base camp kami, katanya bermaksud mengejar kapal feri untuk menyeberang ke Simalungun. Bisa jadi mereka terjatuh, di lokasi kan banyak batu,” kata Jautir.

Mengenai tuduhan Johannes Marbun, bahwa dirinya memukul Johanes di pelipis kanan, Jautir menyebut di lokasi banyak orang. Dia tak bisa menyebut tak memukul atau tidak.

“Tak bisa saya sebut, karena kalau saya bilang tak memukul itu terkesan pembelaan pribadi. Maka lebih baik saja dibuktikan di pengadilan nanti apakah saya memukul,” katanya. Begitu juga soal tuduhan perlakukan terhadap Sebastian yang mengaku celananya dipelorotkan. Jautir malah balik bertanya siapa yang melakukan itu.

Jautir mengakui terjadi perdebatan di dapur base camp miliknya, antara dia dengan Sebastian dan Johannes. Itu terjadi lantaran Sebastian awalnya menyebut bahwa usaha penambangan batu ditolak warga di sekitar Desa Silomalombu.

Jautir menjawab itu dengan memperkenalkan Gultom, sekretaris desa yang kebetulan berada di dapur bersama mereka. “Kalau disebut warga menolak, ada di situ sekretaris desa, Gultom.

Dan tak lama kemudian datanglah Nainggolan, mantan kades. Sehingga kami berlima di dapur base camp. Mereka berdua juga saya suruh disuguhi kopi oleh karyawan saya,” kata Jautir.

Kemudian, Sebastian, kata Jautir mengalihkan pembicaraan dan dengan suara keras dan kuat menyebut Aquafarm (PT Aquafarm Nusantara) yang merupakan perusahaan tambak ikan di Danau Toba harus ditutup karena sudah digugat di pengadilan.

“Dia dengan suara keras bilang, Presiden Jokowi, Menteri Luhut Panjaitan sudah meminta tutup Aquafarm. Tapi Gubsu Tengku Eri tak mau. Bupati juga, dia tak mau karena pemegang saham di Aquafarm,” kata Jautir menirukan ucapan Sebastian.

Lalu, Gultom kemudian menjawab Sebastian bahwa siapa saja boleh berkata Aquafarm ditutup. Tetapi kalau ada 60 persen warga tak setuju karena merasa perusahaan itu dibutuhkan, lalu hanya 40 persen yang meminta tutup, hal itu juga harus diperhitungkan.

Mulai merasa tak enak dengan ucapan Sebastian, Jautir pun meminta kepada Sebastian dan Johannes agar menunjukkan surat Presiden Jokowi dan Menko Kemaritiman Luhut Pandjaitan terkait penutupan Aquafarm.

“Saya juga minta bukti surat Gubsu menolak Aquafarm ditutup dan bukti Bupati pemegang saham. Tapi Sebastian dengan suara yang mengagetkan dan menyebut Tuhan saja pun tak pakai surat,” ucap Jautir.

Merasa bahwa situasi tak lagi kondusif, Jautir meminta keduanya dibawa keluar oleh sekuriti. “Itulah kronologisnya. Dan mereka kemudian berlari mengejar kapal feri,” katanya.

Sebelumnya, Kapolres Samosir AKBP Donald Simanjuntak pada Rabu (16/8) malam menyebut, pihaknya sudah menerima pengaduan atas nama SH dan JHS pada Selasa (15/8).

“Intinya ada laporan pengaduan berinisial SH dan JHM. Mereka melaporkan terkait adanya dugaan penganiayaan yang dilakukan oleh oknum JS dkk di Desa Silimalombu, Kecamatan Onanrunggu,” kata Donald.

Ditanya apakah sudah ada penetapan tersangka atas laporan pengaduan dimaksud, Donald menyebut belum karena pihaknya masih melakukan penyelidikan.

“Masih belum, Lae. Kita masih melakukan pendalaman terhadap pemeriksaan saksi-saksi dulu. Dan kita tetap menangangi kasus ini dengan profesional dan proporsional,” ucapnya.

(kc)

Close Ads X
Close Ads X