Transformasi Polri

Oleh : Hidayat Banjar

Jenderal Polisi Tito Karnavian dilantik Presiden Joko Widodo pada 13 Juli 2016. Tito merupakan Kepala Polri (Kapolri) yang ke-23. Jabatan Kapolri yang pertama – ketika itu masih bernama KKN (Kepala Kepolisian Negera) – Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo yang dilantik pada 29 September 1945 oleh Presiden Soekarno. Sebelumnya, pada 19 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) membentuk Badan Kepolisian Negara (BKN).

Polisi Indonesia bertransformasi dari melindungi raja dan kerjaan menjadi melindungi dan mengayomi rakyat Indonesia. Polisi pada pada zaman Kerajaan Majapahit disebut Bhayangkara. Ketika itu patih Gajah Mada membentuk pasukan pengamanan dengan nama Bhayangkara yang bertugas melindungi raja dan kerajaan.

Bertitik tolak dari hal itulah, ada baiknya kata bhayangkara dicarikan gantinya agar substansi polisi profesional, modern dan terpercaya (promoter) mendapat tempat yang pas, tidak sekadar melindungi penguasa. Indonesia sudah memasuki 72 tahun kemerdekaannya, tidak zamannya lagi lembaga kepolisian sekadar melindungi penguasa dan menjaga terselenggaranya peraturan serta udang-undang sebagaimana makna bhayangkara.

Memasuki 71 usia Polri – promoter – konsep yang dicetuskan Tito merupakan perlindungan bagi seluruh rakyat Indonesia, bukan penguasa saja. Ya, Polri – sesuai tuntutan zaman hendak mengubah ‘wajahnya’, bertransformasi menjadi lebih baik, profesional, modern dan dipercaya masyarakat. Tak gampang memang, tetapi bukan tak mungkin, imej negatif yang melekat di korps baju cokelat ini dapat ditanggalkan.

Untuk mengubah imej negatif tersebut, Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengusung promoter sebagai program unggulan. Menurut Kabagpenum Polri Kombes Martinus Sitompul, Promoter berisikan 10 program unggulan dan 1 program quick wins.

Lebih Dipercaya
Dengan promoter, Polri bisa lebih dipercaya dan profesional dalam menjalankan tugasnya melayani masyarakat. “Selain sebagai pelayan, pengayom dan pelindung masyarakat, Polri juga dituntut profesional dan modern, sehingga dapat dipercaya oleh masyarakat,” kata Martinus Sitompul beberapa waktu lalu.

Dikatakan, profesionalitas Polri diimplementasikan melalui peningkatan di bidang sumber daya manusia (SDM) agar tercipta anggota Polri yang andal dalam menghadapi setiap tantangan tugas ke depan. “Di bidang perekrutan SDM diharapkan Polri memiliki personel yang mampu mengahadapi segala persoalan dan tantangan dan itu diperlukan pendidikan dan pelatihan ” terang pria yang akrab disapa Martin init.

Sebelas program unggulan dan satu program quick wins Kapolri diwakili oleh program Promoter: 1. Pemantapan reformasi internal di kepolisian 2. Peningkatan pelayanan publik yang lebih mudah bagi masyarakat dan berbasis teknologi informasi 3. Penanganan kelompok radikal pro kekerasan dan intoleransi yang lebih optimal 4. Peningkatan profesionalisme Polri menuju keunggulan 5. Peningkatan kesejahteraan Personel Polri. 6. Penataan kelembagaan dan pemenuhan proporsionalitas anggaran serta kebutuhan minimal sarpras. 7. Penguatan Harkamtibmas 8. Membangun kesadaran dan partisipasi masyarakat terhadap kamtibmas. 9. Penegakkan hukum yang lebih profesional dan berkeadilan 10. Penguatan pengawasan. 11. Quick Wins Polri.

Dewasa ini, Kepolisian Republik Indonesia menghadapi banyak tantangan yang semakin kompleks seperti pemberantasan narkoba, korupsi dan pencucian uang, terorisme, cybercrime, perdagangan orang, kelompok-kelompok radikal dan intoleran. Kejahatan-kejahatan tersebut sudah bersifat transnasional dan memiliki jaringan global.

Modern dan Global
Perkembangan paling akhir, Polri bukan hanya mengurusi keamanan dan ketertiban di dalam negeri, juga masalah-masalah keamanan dan ketertiban regional maupun antarabangsa. Sebagaimana kebijakan PBB yang telah meminta pasukan-pasukan polisi, termasuk Indonesia, untuk ikut aktif dalam berbagai operasi kepolisian, misalnya di Namibia (Afrika Selatan) dan di Kamboja (Asia).

Visi dan misi Polri saat ini, telah menggeser paradigma lama yang konvensional dan represif menjadi paradigma baru, bernuansa “polisi sipil”, menghargai hak asasi manusia, bersifat proaktif, inovatif dan kreatif. Mengutamakan tindakan preemtif dan preventif yang selanjutnya dapat ditindaklanjuti dengan tindakan represif.

Dalam melangkah ke depan, sangat tepat dirumuskan visi “terwujudnya fostur Polri yang profesional, modern dan terpercaya”. Pesan Presiden ketika melantik Tito memiliki relevansi dengan implementasi grand strategy Polri 2005-2025.

Fokus strategi Polri membangun kemampuan pelayanan publik yang unggul, mewujudkan good government, best practice Polri, dan profesionalisme SDM, serta mewujudkan implementasi teknologi, infrastruktur materiil, fasilitas, dan jasa. Targetnya membangun kapasitas Polri yang kredibel di mata masyarakat nasional, regional, dan internasional.

Profesionalisme Polri tersebut ditunjang oleh modernisasi dalam layanan publik yang didukung teknologi. Tentunya dengannya layanan Polri semakin mudah dan cepat diakses masyarakat. Modernisasi juga meliputi pemenuhan kebutuhan alat material khusus dan alat peralatan keamanan.

Polri tepercaya dapat diwujudkan melalui reformasi internal yang bersih dan bebas dari KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme). Hal tersebut akan mewujudkan penegakan hukum yang obyektif, transparan, akuntabel, dan berkeadilan.

Dalam hal ini kepemimpinan Kapolri Hoegeng Imam Santoso dapat jadi teladan, rule of the game. Hoegeng melakukan pembenahan dalam struktur organisasi di tingkat Mabes Polri sehingga lebih dinamis dan komunikatif.

Dalam pada itu, selama menjabat sebagai Kapolri 15 Mei 1968 – 2 Oktober 1971, Hoegeng menangani dua kasus menggemparkan masyarakat karena integritasnya. Pertama kasus Sum Kuning – yang kemudian dibuat film – pemerkosaan terhadap penjual telur, Sumarijem. Diduga pelakuya anak-anak petinggi teras di Yogyakarta.

Ironisnya, korban perkosaan malah dipenjara oleh polisi dengan tuduhan memberi keterangan palsu. Lalu merembet dianggap terlibat kegiatan ilegal, PKI. Nuansa rekayasa semakin terang ketika persidangan digelar tertutu. Wartawan yang menulis kasus harus berurusan dengan Dandim 096. Hoegeng kemudian bertindak.

Kita tidak gentar menghadapi orang gede siapa pun. Kita hanya takut kepada Tuhan Yang Maha Esa. Jadi, walaupun keluarga sendiri, kalau salah tetap kita tindak. Geraklah the sooner the better, tegas Hoegeng di halaman 95 buku biografinya.

Kasus lainnya yang menghebohkan adalah penyelundupan mobil-mobil mewah bernilai miliaran rupiah oleh Robby Thahjadi. Berkat jaminan, pengusaha ini hanya beberapa jam mendekam di tahanan Komdak (Komando Daerah Kepolisian). Sungguh berkuasanya si penjamin sampai Kejaksaan Jakarta Raya pun memetieskan kasus ini. Siapakah si penjamin itu?

Dipensiunkan
Hoegeng tak gentar. Di kasus penyelundupan mobil mewah berikutnya, Robby tak berkutik. Pejabat yang terbukti menerima sogokan ditahan. Rumor yang santer, gara-gara membongkar kasus ini pula, Hoegeng dipensiunkan, 2 Oktober 1971 dari jabatan Kapolri. Kasus ini ternyata melibatkan sejumlah pejabat dan perwira tinggi ABRI (halaman 118).

Kisah Hogeng tersebut kiranya dapat menjadikan Polri makin berani dan cerdas dalam memberantas modus-modus kejahatan baru yang makin canggih. Misalnya, kejahatan di dunia maya (cyber crime) yang korbannya bukan hanya individu, melainkan juga korporasi dan institusi negara.

Ini meliputi pembajakan laman internet, pencurian data komputer, bisnis daring bodong, pembobolan kartu kredit, pornografi anak, hingga prostitusi daring. Selain itu, ancaman gangguan keamanan lintas negara (transnational crime) dalam bentuk perdagangan manusia, penyelundupan narkoba, maupun aksi terorisme juga kian meningkat.

Polri memang memiliki keterbatasan sumber daya internal. Di luar persoalan dukungan anggaran dan sarana prasarana, ketersediaan jumlah personil Polri secara keseluruhan belumlah optimal.

Rasio polisi dan masyarakat berdasarkan data 2014 ialah 1:575, padahal rasio ideal menurut PBB ialah 1:300. Karena itu, partisipasi masyarakat melalui sistem atau jaringan kemitraan antara polisi dan masyarakat merupakan strategi utama dalam menjaga kamtibmas. Upaya membangun kesadaran dan partisipasi masyarakat terhadap kamtibmas memang merupakan salah satu program prioritas Kapolri.

Inisiatif ini telah lama dirintis melalui Surat Keputusan Kapolri No 737/2005 tentang penerapan perpolisian modern yang dikenal dengan community policing atau Pemolisian Masyarakat (Polmas).

Polmas mewadahi pranata sosial yang berkembang di masyarakat seperti siskamling maupun pecalang. Dalam bentuknya yang lebih modern, Polmas mengadopsi model neighborhood watch yang diterapkan di banyak negara maju. Model ini dikenal sebagai Forum Kemitraan Polisi Masyarakat (FKPM).

Penyelesaian Perkara
Penelitian lapangan yang dilakukan Alex Reynold Situmorang Perwira Menengah di Biro SDM Polda Jatim, FKPM-FKPM di Jawa Timur menunjukkan beberapa fakta menarik. Di tengah berbagai keterbatasan yang ada, Polmas ternyata berfungsi efektif dalam membantu penyelesaian perkara tindak pidana ringan di masyarakat.

Selain itu, temuan di lapangan menunjukkan bahwa Polmas menjadi media efektif untuk memperoleh masukan masyarakat tentang potensi gangguan kamtibmas di wilayahnya. Di sisi lain, Polmas juga menjadi sarana pemberdayaan masyarakat terkait dengan kesadaran hukum maupun hak dan kewajiban warga negara. Karena itu, masyarakat menyambut baik dikeluarkannya Peraturan Kapolri No 3/2015 yang menjadi panduan terbaru penerapan Polmas.

Melalui ketentuan ini, infrastruktur Polmas diperluas melalui pilar kemitraan di tingkat desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota, hingga provinsi. Bahkan, Polri dalam Rencana Strategis 2015-2019 berkomitmen menggelar Bhabinkamtibmas, yaitu aparat pengemban Polmas di 81.711 desa dan kelurahan se-Indonesia, guna meningkatkan kemampuan deteksi dini terhadap gangguan kamtibmas. Tantangan ke depan bagi penerapan Polmas adalah bagaimana memperkuat partisipasi masyarakat. Semoga.

*) Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Penulisan Artikel Hari Bhayangkara Ke-71, 1 Juli 2017

Close Ads X
Close Ads X