Suburkan Ideologi Pancasila Untuk Lawan Pemikiran Radikal

Oleh : Muhammad Razi Rahman
Teror pengeboman dan baku tembak di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat, merupakan buah dari pemikiran radikal yang perlu dilawan dengan menggalakkan serta menyuburkan penyebaran ideologi Pancasila.

“Proses penanaman ideologi Pancasila di era reformasi ini sudah tidak lagi diajarkan kepada generasi muda di semua lapisan masyarakat,” kata Yanuar Prihatin dalam keterangan tertulis yang diterima, Kamis (21/1).

Menurut politisi Partai Ke­bangkitan Bangsa itu, peristiwa peledakan bom di kawasan Tha­mrin beberapa waktu lalu, ideologi nasional Republik Indonesia se­dang menghadapi krisis ideologi.
Dia berpendapat bahwa saat ini, Pancasila hanya sebagai ideologi simbolik tanpa adanya pemaknaan yang kuat di tengah masyarakat.

Bagi dirinya, kejadian bom Thamrin harusnya menyadarkan semua pihak bahwa proses pe­nanaman ideologi Pancasila belum tuntas dan nyaris diabaikan. Ketua DPP PKB itu juga men­yayangkan semakin sedikit orang bicara tentang Pancasila dan sedikit menggunakan Pancasila sebagai sudut pandang yang berakhir pada krisis kepemimpinan.

Untuk itu, ujar dia, dirinya menyarankan perlu segera ditetap­kan undang-undang terkait pe­nanaman nilai-nilai Pancasila harus dilakukan pelbagai lapisan mas­yarakat di berbagai sektor dan kesempatan. “Pemerintah dan DPR harus duduk bersama dan menetapkan UU Pe­­mas­yarakatan dan Pe­nanaman Nilai-nilai Pancasila,” kata Yanuar.

Bila perlu, lanjutnya, maka dapat saja dibuat lembaga khusus yang memikirkan soal pemasyarakatan dan penyebarluasan Pancasila di Indonesia. Dia juga berpendapat bahwa aparat TNI dan Polri selayaknya juga diberikan kewenangan tindakan hukum yang berkaitan dengan individu dan ormas yang secara nyata memiliki ajaran konsep, ide dan tindakan secara sadar dan sengaja bertujuan mengganti Pancasila. “Sudah saatnya elemen pro-Pancasila berkumpul dan bersatu padu untuk melawan kelompok yang anti-Pancasila,” ucapnya.

Sementara itu, Menteri Per­tahanan Ryamizard Ryacudu men­­­yatakan bahwa masyarakat perlu waspada terhadap suatu gerakan yang bertujuan untuk membelokkan hati terhadap keu­tuhan ideologi Pancasila.

“Kita menyatakan perang ter­hadap gerakan yang ingin mem­belokkan hati seseorang untuk melemahkan ideologi Pan­ca­sila. Keutuhan Pancasila harus di­pertahankan dengan mening­katkan wawasan ke­bangsaan,” katanya di Pekalongan, Sabtu (16/1).

Pada acara “Silaturahmi Nasional Ula­ma Mursyidi, Tarikah, TNI, Polri Dalam Urgensi Bela Negara Demi Menjaga Keutuhan NKRI”, Menhan Ryamizard mengatakan saat ini banyak tindakan kekerasan dengan mengatasnamakan agama sehingga hal itu menimbulkan kerawanan disintegrasi.

Menhan juga berpesan pada rakyat Indonesia dalam pelak­sanaan demokrasi agar lebih mengedepankan musyawarah dan mufakat karena hal ini bisa menciptakan situasi yang kondusif.
Sedangkan Wakil Rektor Uni­­versitas Andalas Padang, Fe­brin Anas Ismail, mendukung upaya pemerintah khususnya Kementerian Dalam Negeri untuk menjadikan Pancasila sebagai penguat karakter bangsa.

“Sebagai falsafah, ideologi dan alat pemersatu bangsa pantas Pancasila akan dapat menguatkan jati diri bangsa Indonesia, hal ini perlu didukung oleh berbagai institusi,” kata Febrin Anas Ismail di Padang, Senin (28/12).

Sementara itu Kemendagri melalui Ditjen Politik dan Pe­me­rintahan Sapto Supono me­ngatakan bahwa lemahnya bangsa yakni tidak bersatunya kaum terpelajar dan masyarakat biasa.
“Pancasila disinyalir bisa me­mutus rantai kesenjangan tersebut jika pengamalannya benar dan sesuai kaidah yang berlaku,” ka­tanya.

Senada dengan semuanya, Forum Bela Negara Kepulauan Riau (FBN Kepri) berpendapat radikalisme sebaiknya dilawan dengan meningkatkan pendidikan yang berhubungan dengan nilai-nilai nasionalisme dan Pancasila.

Ketua FBN Kepri Hery Suryadi, di Tanjungpinang, Selasa (19/1), mengatakan penanaman nilai-nilai keindonesiaan harus dilakukan secara konsisten dan merata kepada seluruh elemen masyarakat, teru­tama generasi muda sebagai penangkal radikalisme.

Menurut dia, teror bom di kawasan Sarinah Jakarta menun­jukkan bahwa aksi radikalisme bukan hanya isapan jempol belaka. Peristiwa menakutkan itu perlu ditanggapi secara serius oleh aparat pertahanan keamanan dan pemerintah.

“FBN sebagai organisasi di­bawah naungan Kementerian Pertahanan akan mendorong para generasi muda menjadi generasi yang kuat dan memiliki rasa nasionalisme yang tinggi,” katanya.
Pesantren tidak radikal Se­dangkan Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid menegaskan tidak benar kalau pesantren yang banyak tersebar di berbagai daerah di Tanah Air dikaitkan dengan radikalisme apalagi tindak terorisme.

“Justru pesantrenlah yang mengajarkan cinta Tanah Air, mengisi kemerdekaan sesuai de­ngan cita-cita luhur, dan menolak komunisme,” kata Hidayat Nur Wahid dalam acara silaturahim alumni Pesantren Gontor di Ta­ngerang, Banten, 22 Januari 2016.

Hidayat juga mengingatkan bahwa dulu pada masa perang sebelum kemerdekaan, para santri dan kiai serta pemimpin yang berada di pesantren berjuang untuk kemerdekaan Indonesia.
Setelah Indonesia merdeka, lanjutnya, para santri, kiai dan pemimpin pesantren pun mengisi kemerdekaan dengan aktivitas yang luar biasa seperti melalui pendidikan.

Dari fakta tersebut, Wakil Ke­tua MPR menyayangkan kalau pe­santren dicurigai karena se­harusnya pesantren dihormati dan diajak bersama-sama untuk menghadirkan generasi Islam yang moderat dan Islam yang memajukan bangsa.

Hidayat berpendapat bila pe­santren dihormati dengan baik akan menjadi partner yang luar biasa yang mampu meningkatkan kualitas SDM Indonesia. Sebagaimana diwartakan, Pre­siden Joko Widodo memimpin rapat terbatas yang membahas program pencegahan terorisme dan deradikalisme.

“Beberapa hari lalu (Senin 18/1), Saya bertemu pimpinan lembaga negara. Dalam pertemuan itu disampaikan pencegahan terorisme dipandang perlu dan sangat men­desak, perlu payung hukum yang lebih kuat, komprehensif, se­hingga aparat keamanan tidak ragu melakukan penindakan,” kata Presiden saat memimpin rapat terbatas di Kantor Kepresidenan Jakarta, Kamis (21/1).

Jokowi mengungkapkan para pim­pinan Lembaga Negara me­mang be­lum menyepakati payung hu­kum pencegahan te­rorisme dan radikalisme itu apa­kah dalam bentuk revisi undang-undang, Peraturan Pengganti UU (Perppu) atau UU baru. “Inilah yang perlu dibicarakan lagi dengan DPR,” kata Presiden.

Dalam pencegahan terorisme ini, Presiden memerintahkan pada Panglima TNI, Kapolri, Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), untuk mem­perkuat sinergi, terutama antar lembaga intelijen tidak me­mun­culkan egosentris.

Sebelumnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla meminta Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk meng­­­hidupkan kembali tim pe­nang­­gulangan terorisme guna mereduksi radikalisme. “Wapres meminta supaya tim penanggulangan terorisme di MUI dihidupkan lagi. Dan kita lakukan gerakan atau langkah-langkah bersama dalam rangka menghadapi deradikalisasi,” kata Ketua MUI Ma’ruf Amin di Jakarta, Selasa (19/1).

Hal itu disampaikan Ma’ruf dan pengurus MUI usai bertemu dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla di Kantor Wapres. MUI bertemu Wapres untuk melaporkan hasil munas dan rakernas.
Terkait terorisme, Ma’ruf me­ngatakan MUI sebelumnya pernah membuat fatwa yang menjadi landasan dan membentuk Tim Penanggulangan Teroris.

Upaya yang dilakukan MUI dalam mereduksi radikalisme dengan menerbitkan buku-buku, melakukan diskusi tentang pe­ma­haman agama, dakwah, me­luruskan pahamnya, terutama tentang paham jihadnya bagi yang sudah terkontaminasi paham radikalisme. (ant)

Close Ads X
Close Ads X