Stop Diskriminasi Terhadap Kaum Disabilitas

Oleh : Satriana Sitorus S.Pd.I

Negara Indonesia sangat menjunjung tinggi hak-hak dan persamaan warga negara dalam kehidupan. Hak-hak setiap orang diperlakukan cara sama dan bebas dari perlakuan diskriminatif, sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.

Namun pada kenyataannya, deskriminasi masih sangat kental dalam kehidupan kita terutama bagi para penyandang disabilitas (orang dengan keterbatasan fisik). Para penyandang disabilitas kerap mendapat perlakuan tak menyenangkan baik dilingkungan keluarga, tempat tinggal, sekolah dan dunia kerja.

Dalam dunia kerja misalnya, banyak perusahaan yang melarang atau tidak memperkerjakan penyandang disabilitas. Memang mereka memiliki kekurangan, namun mereka juga memiliki kelebihan dan skill tersendiri yang bahkan tidak dimiliki oleh orang normal pada umumnya.

Penyandang disabilitas juga merupakan tenaga produktif yang dapat memberi kontribusi besar bagi perusahaan masyarakat dan negara. Begitu juga bagi penyandang disabilitas dilingkungan keluarga dan sekolah. Mereka sering menjadi objek bully yang menyebabkan tekanan psikis yang berdampak buruk pada mental.

Penyandang disabilitas cenderung dijauhi dalam pergaulan. Cara pandang masyarakat saat ini masih menilai penyandang disabilitas dari segi kekurangannya, bukannya menerima dan membiarkan mereka berbaur dalam kehidupan sosial masyarakat.

Masih kental
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Republik Indonesia, pada 2010 tercatat jumlah penyandang disabilitas mencapai sekitar 9.046.000 jiwa dari 237 juta jiwa.

Jika dikonversi dalam bentuk persen, jumlahnya sekitar 4,74 persen. Direktur Statistik Kesejahteraan Rakyat BPS Teguh Pramono menjelaskan, jumlah tersebut dibagi ke dalam beberapa kategori.“Cacat melihat kategori ringan sebanyak 5.313 jiwa dan parah sebanyak 507 jiwa. Cacat mendengar kategori ringan sebanyak 5.268 jiwa, sementara kategori parah 456 jiwa,” kata Teguh.

Untuk disabilitas yang kesulitan berjalan atau menaiki tangga, kata dia, kategori ringan berjumlah 2.432 jiwa sementara kategori parah sebanyak 656 jiwa.

“Penyandang cacat yang kesulitan mengingat atau konsentrasi, termasuk seperti autis atau down syndrome, kategori ringan sebanyak 2.126 jiwa sementara kategori berat sebanyak 616 jiwa. Semntara penyandang cacat yang kesulitan mengurus diri sendiri dalam kategori ringan sebanyak 1.511 jiwa sedangkan kategori parah berjumlah 533 jiwa,” katanya. (okezone.com)

Masih berdasarkan data tersebut, selain kesulitan fisik, penyandang disabilitas juga harus mengalami marginalisasi yang berlipat ganda pada semua aspek kehidupan. Mulai dari rasa rendah diri, kekangan keluarga karena malu, ejekan masyarakat, buta huruf, kemiskinan, serta minimnya akses pelayanan publik.

Bahkan penyandang disabilitas juga sering dikonotasikan dengan suatu penyakit yang bisa menular ke orang lainnya, atau kutukan bagi keluarga.

Jika kita tilik, akses fasilitas publik hingga saat ini masih belum mendukung kebutuhan penyandang disabilitas. Contoh kecil, akses jalan yang tidak menyediakan pejalan khusus bagi penyandang disabilitas kesulitan berjalan atau minimnya perpustakaan yang menyediakan buku-buku dengan menggunakan huruf braile bagi penyandang disabilitas kesulitan melihat.

Serta sederet pelayanan publik yang tidak berperspektif disabilitas.

Stop Diskriminasi
Dalam UU Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat, disebutkan bahwa setiap penyandang cacat/disabilitas, berhak untuk mendapatkan pendidikan pada semua jenjang pendidikan, pekerjaan yang baik dan layak, perilaku untuk mengembangkan diri dan bakat. Pemerintah dan/atau masyarakat berkewajiban mengupayakan terwujudnya hak-hak penyandang cacat.

Oleh karenanya, diskriminasi yang dilakukan oleh orang/badan, merupakan perbuatan yang bertentangan dengan Undang-undang.

Perjuangan penyandang disabilitas dalam mengenyam pendidikan pun juga tak kalah sulit. Diskriminasi terhadap hak-hak pendidikan kaum disabilitas masih terus berlangsung. Berdasarkan data dari Persatuan Penyandang Cacat Indonesia (PPCI), jumlah Sekolah Luar Biasa (SLB) di seluruh Indonesia hanya 1.500 unit.

Padahal, jumlah disabilitas usia sekolah mencapai 1,5 juta anak. Dengan terbatasnya jumlah sekolah, maka hanya sekitar 90.000 anak saja yang mengecap bangku sekolah. Sedangkan sisa anak disabilitas yang lain terpaksa harus terabaikan. (jurnas.com)

Harusnya pemerintah dan masyarakat saling bahu-membahu dalam membela serta memperjuangkan hak-hak kaum disabilitas. UU mengamanatkan hal ini dengan tujuan agar tidak ada perbedaan mencolok antara kaum normal dan disabilitas.

Karena pada dasarnya mereka adalah masyarakat yang memiliki hak-hak dan perilaku serupa dihadapan hukum. Pemerintah bersama dengan aparat penegak hukum harus bersinergi dalam membuat memperketat regulasi untuk memberi efek jera kepada siapa saja yang terbukti melakukan diskriminasi terhadap kaum disabilitas.

Semua itu harus dilakukan guna mewujudkan kehidupan bangsa yang harmonis, tentram dan aman sebagaimana tujuan dan cita-cita negara kita yaitu untuk melindungi seluruh rakyat Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum. Stop diskriminasi terhadap kaum disabilitas.***

*)Penulis adalah Alumni FAI Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, bekerja sebagai guru Pesantren Al-Ihsan di Labura

Close Ads X
Close Ads X