Selamat Mudik

Mudik Lebaran itu mengasyikkan. Banyak penjelasan mengapa orang ramai-ramai pulang mudik untuk ber-Lebaran di kampung. Di antaranya ialah untuk berkumpul keluarga di hari yang istimewa itu. Terlebih bagi mereka yang masih punya orangtua, kerinduan untuk bertemu mereka menjadi dorongan utamanya.

Kapan mudik? Mudik naik apa? Itulah pertanyaan klasik yang muncul jelang Lebaran. Pertanyaan tahunan yang dimunculkan sesama ‘’mudiker’’ ini selalu dikumandangkan lewat media sosial atau langsung diucapka. Mereka saling berkomunikasi untuk agenda sakral bertajuk mudik bersama menuju kampung halaman tercinta.

Ritual mudik selalu diawali dan diakhiri dengan bersusah payah. Untuk mewujudkannya pun harus diperjuangkan dengan berdarah-darah. Bahkan, nyawa pun rela menjadi taruhannya. Meski menanggung risiko besar, irama ritual mudik selalu berputar kencang untuk menyedot para pengembara dan perantau setia.

Dalam konteks kebutuhan mudik, perayaan Idul Fitri menjadi magnet besar. Ia dimitoskan mampu membangunkan adrenalin rasa kangen manusia perantau pada orangtuanya, sanak saudara, sahabat dan kerabat di lingkungan asalnya.

Harus diakui, mudik senantiasa menyembulkan getaran romantisisme tiada tara. Getaran natural bersifat alamiah yang secara kodrati harus dipenuhi dengan derajat kewajaran. Hal itu diekspresikan dalam wujud silaturahim bernuansa kehangatan. Cirinya saling bermaafan.

Ritual klasik yang direpresentasikan lewat prosesi menggenggaman tangan merupakan obat penawar rindu.

Seiring berjalannya waktu, mudik seakan telah menjadi ritus budaya yang sedemikian mentradisi dalam masyarakat kita. Dari segi ritus budaya, mudik biasanya ditandai dua hal. Pertama, mudik menjadi kebutuhan primer tahunan masyarakat urban.

Kedua, walaupun memiliki korelasi waktu dengan Idul Fitri yang notabene adalah ritual Islam, mudik juga melibatkan hampir seluruh lapisan masyarakat, termasuk nonmuslim.

Bertemu dengan keluarga besar di kampung halaman memang menyenangkan. Tapi rasa-rasanya kita perlu mengubah cara pandang kita terkait mudik: bahwa mudik bukan kewajiban. Tidak perlu juga menganggapnya sebagai sebuah tradisi yang perlu dilakukan. Seperti naik haji: mudiklah jika mampu! (*)

Close Ads X
Close Ads X