Saudara Kembar Islam dan Kekuasaan (2-Habis)

Birokrasi cenderung menjadi pelayan kekuasaan dan bukan pelayan masyarakat. Birokrasi telah berkembang begitu kuat untuk mendukung sentralisasi kekuasaan, dengan mengenalkan program-program pemerintah yang mendukung status quo, bukannya mengajak rakyat untuk merumuskan sendiri masalahnya sehingga mereka merasakan kegunaan dari program tersebut, disamping adanya kesinambungan antara tradisi dan modernisasi dalam pembangunan.

Sehubungan dengan zaman modern, setidaknya terdapat dua ciri mendasar, pertama, semakin hilangnya pengaruh institusi agama, kedua, semakin tingginya supremasi rasionalitas. Dari kedua ciri mendasar tersebut, zaman modern lebih banyak berorientasi kepada komunalitas (orang banyak) ketimbang loyalis kelompok organisasi Islam. Negara berhasil menggeser peran institusi agama sebagai otoritas yang mengatur perjalanan budaya. Kekuasaan negara dan fungsi-fungsinya mengalami pertumbuhan yang pesat dan kepemimpinan pada zaman ini lebih menekankan pada corak kepemimpinan yang bercorak rasional. Padahal Kharisma ulama memperoleh dukungan masyarakat, karena dipandang memiliki kemantapan moral dan kualitas keimanan. Melahirkan suatu bentuk kepribadian magnetis bagi para pengikutnya.

Proses ini, mula-mula beranjak dari kalangan terdekat, sekitar kediamannya, yang kemudian menjalar ke luar ke tempat-tempat yang jauh. Kemudian, fungsi kepemimpinan yang diidealisasikan sebagai peran yang melekat pada status keulamaannya merupakan suatu peran yang mesti dipandang signifikan. Sebab kepemimpinan adalah salah satu faktor penting yang mempengaruhi terhadap berhasil seorang ulama dalam memimpin masyarakatnya. Ulama merupakan status yang dihormati dengan segudang peran dalam masyarakat.

Dewasa ini ada kecenderung masyarakat hanya di dorong untuk melakukan pilihan-pilihan yang ditandai oleh nilai manfaat atau kepentingan sesaat. pemahaman bahwa keagamaan masyarakat dewasa ini belum mampu membangun kesadaran, menggugah nurani, dan membangun sikap spiritual individu dalam keseharian.

Menurutnya hal ini disebabkan adanya kesenjangan antara nilai ajaran agama dengan pemahaman para pemeluknya. Menjadi pertanyaan ketika riak para kandidat calon gubernur tidak ada yang berani tampil mewakili organisasi kemasyarakatan Islam tersebut.Organisasi besar keagamaan Islam, seperti Muhammadiyah, Alwasliyah dan NU. Masing-masing pasti mempunyai seorang ulama kharismatik untuk mengisi panggung demokrasi pemilihan gubernur Sumut mewakili umat Islam.

Dalam konteks kekinian, apakah kharisma ulama masih mampu menjadi sumber perubahan sosial? apakah pesan dan pandangannya senantiasa diresponsi masyarakat kita, yang kini, cenderung bergerak ke arah modernitas, meski pun masih dalam taraf proses atau masa transisi.

Ketokohan dan kepemimpinan ulama sebagai akibat dari status dan peran yang disandangnya, telah menunjukkan betapa kuatnya kecakapan dan pancaran kepribadiannya dalam memimpin dan masyarakat.

Hal ini dapat dilihat dari bagaimana seorang ulama dapat membangun peran strategisnya sebagai pemimpin masyarakat non formal melalui suatu komunikasi intensif dengan masyarakat. Kedudukannya yang penting di lingkungan pedesaan maupun perkotaan sama sekali bukan hal baru, sebab kehadirannya diyakini membawa berkah.
Penulis adalah Dosen UMSU
Mahasiswa Pascasarjana UIN Raden Fatah Palembang

Close Ads X
Close Ads X