Saudara Kembar Islam dan Kekuasaan (1)

Dalam Islam pun, kepemimpinan merupakan suatu keniscayaan, sebagaimana ditunjukkan dalam sejarah Islam yang selalu diwarnai oleh dinamika politik untuk menciptakan salvation (keselamatan) di dunia ini. Akan tetapi Islam tidak identik dengan politik, Al-Qur’an bukanlah kitab politik, sehingga di dalamnya tidak ditemukan model sistem pemerintahan.
Al-Qur’an hanya berisi aturan moral yang harus ditegakkan dalam kehidupan, termasuk dalam urusan politik. Lagi pula persoalan politik sangat dipengaruhi oleh kondisi ruang dan waktu.
Mengingat Al-Qur’an tidak menentukan suatu bentuk pemerintahan yang Islami, maka sepeninggal Nabi Muhammad SAW terjadi suatu krisis dalam suksesi kepemimpinan Islam, namun berhasil diselesaikan dengan bijaksana oleh para sahabat Nabi (Wahid, 2000). Jelas bahwa ulama mesti punya pengaruh dominan dalam negara, dimana pemerintahan dan seluruh administrasinya diatur oleh syari’at dan pemimpin agama dianggap sebagai figur yang paling memiliki pengetahuan komperhensif.
Besarnya peran syari’at atau Qur’an Hadits dan pengaruh ulama dalam pemerintahan Islam ideal juga tergambar pada bagian pendahuluan dari konstitusi Iran sekarang yang antara lain menyebutkan: “Legislation setting forth regulations for the administration of society will revolve around the Koran and Sunnah. Accordingly, the exercise of meticulous and earnest supervision by just, pious, and committed scholars of Islam is an absolute necessity”. (Undangan- undang yang dirancang untuk mengatur administrasi masyarakat akan bersumber dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Sejalan dengan itu penerapan secara hati-hati disertai pengawasan yang teliti oleh ahli hukum yang saleh yang juga seorang pakar yang komitmen terhadap Islam, mutlak diperlukan).
Antara agama dan kekuasaan digambarkan oleh al-Ghazali sebagai saudara kembar yang keluar dari perut ibu yang sama (al-din wa al-mulk tau’amani mistlu akhwaini wulida min bathin wahidin). Oleh karena itu pandangan sebagian politisi Islam pada periode modern seperti Abdul Qadir Audah yang menyatakan bahwa dalam Islam antara al-din wa daulah tidak bisa dipisahkan, disebabkan karena trauma historis setelah melihat perkembangan sekularisme yang terjadi di Barat bukan didasarkan atas fakta yang terjadi dalam perkembangan sejarah Islam.
Itulah sebabnya salah seorang pemikir Islam dan sejarawan terkemuka Mohammed Arkoun menyatakan bahwa Islam tidak memisahkan antara agama dan politik, dan Islam adalah daulah (kerajaan).
Problematika kita selama ini adalah penghayatan agama dalam kehidupan masyarakat hanya sekadar formalisme. Artinya, dalam menjalani kehidupan beragama masyarakat cenderung lebih mementingkan bentuk-bentuk lahiriah dari hidup keberagamaan dibandingkan bentuk batiniahnya. Penghayatan masyarakat terhadap kehidupan keagamaan juga sering hanya bersifat ritualisme.
Dalam menjalani kehidupan beragama masyarakat lebih mengutamakan bentuk-bentuk peribadatan dibandingkan berperilaku yang sesuai dengan tuntunan nilai-nilai dan norma-norma sebagaimana diajarkan oleh agama. Atau dalam menjalankan kehidupan keagamaan sering pula muncul sikap-sikap dalam masyarakat yang hanya bersifat legalisme. Dalam arti masyarakat dalam menjalani kehidupan keagamaan cenderung menganut ketaatan buta terhadap hukum-hukum agama, yakni mengaktualisasikan hukum-hukum agama dalam kehidupan praksis secara hitam-putih.
Kita sudah punya dasarnya, yaitu Ideologi Pancasila. Selama ini Pancasila telah disakralkan dan ditempatkan berhadap-hadapan dengan kelompok agama Islam tertentu. Umat Islam yang mengkritik dan menentang Pancasila dikejar-kejar, dihukum, dan kalau perlu diperangi; padahal mereka tidak melakukan tindakan kriminal. Mereka tidak menyadari sebagai sesama Muslim, yang harus menjunjung tinggi kedamaian, tolong-menolong, dan kerjasama untuk mewujudkan salvation.
Seharusnya mereka mengembangkan suatu dialog dalam rangka menyiarkan dakwah Islam kepada seluruh dunia. Namun banyak penguasa yang mengatasnamakan Islam bersikap tidak toleran terhadap kebebasan berpikir di dalam kalangan umat Islam sendiri, karena mereka takut kehilangan legitimasi politik, yang secara langsung maupun tidak langsung berarti kehilangan kekuasaan, sehingga mereka akan mematikan gerakan oposisi sejak dini. Sementara itu UUD 1945 sebagai dasar hukum negara masih mengandung banyak kelemahan karena tidak menegakkan prinsip check and balance di antara berbagai lembaga negara dan memberi kekuasaan yang besar kepada presiden sehingga cenderung menghasilkan presiden yang otoriter (Mahfud, 2000: 146-147). Maksud baik saja tidak cukup untuk menegakkan sistem pemerintahan yang demokratis. UUD 1945 perlu diamandemen sejalan dengan perubahan yang terjadi di dalam masyarakat kita.
Melakukan modernisasi model top-down (dari atas ke bawah) dengan menggerakkan perangkat birokrasi yang mendukung kekuasaannnya. Birokrasi menjadi suatu kelas tersendiri yang bukan melayani rakyat tetapi melayani kekuasaan. Birokrasi mempunyai misi untuk mengelabuhi rakyat yang masih bodoh agar dalam setiap pemilu mendukung kekuasaan Orde Lama dan Orde Baru.
* bersambung
Birokrasi cenderung menjadi pelayan kekuasaan dan bukan pelayan masyarakat. Birokrasi telah berkembang begitu kuat untuk mendukung sentralisasi kekuasaan, dengan mengenalkan program-program pemerintah yang mendukung status quo, bukannya mengajak rakyat untuk merumuskan sendiri masalahnya sehingga mereka merasakan kegunaan dari program tersebut, disamping adanya kesinambungan antara tradisi dan modernisasi dalam pembangunan.
Sehubungan dengan zaman modern, setidaknya terdapat dua ciri mendasar, pertama, semakin hilangnya pengaruh institusi agama, kedua, semakin tingginya supremasi rasionalitas. Dari kedua ciri mendasar tersebut, zaman modern lebih banyak berorientasi kepada komunalitas (orang banyak) ketimbang loyalis kelompok organisasi Islam. Negara berhasil menggeser peran institusi agama sebagai otoritas yang mengatur perjalanan budaya. Kekuasaan negara dan fungsi-fungsinya mengalami pertumbuhan yang pesat dan kepemimpinan pada zaman ini lebih menekankan pada corak kepemimpinan yang bercorak rasional. Padahal Kharisma ulama memperoleh dukungan masyarakat, karena dipandang memiliki kemantapan moral dan kualitas keimanan. Melahirkan suatu bentuk kepribadian magnetis bagi para pengikutnya.
Proses ini, mula-mula beranjak dari kalangan terdekat, sekitar kediamannya, yang kemudian menjalar ke luar ke tempat-tempat yang jauh. Kemudian, fungsi kepemimpinan yang diidealisasikan sebagai peran yang melekat pada status keulamaannya merupakan suatu peran yang mesti dipandang signifikan. Sebab kepemimpinan adalah salah satu faktor penting yang mempengaruhi terhadap berhasil seorang ulama dalam memimpin masyarakatnya. Ulama merupakan status yang dihormati dengan segudang peran dalam masyarakat.
Dewasa ini ada kecenderung masyarakat hanya di dorong untuk melakukan pilihan-pilihan yang ditandai oleh nilai manfaat atau kepentingan sesaat. pemahaman bahwa keagamaan masyarakat dewasa ini belum mampu membangun kesadaran, menggugah nurani, dan membangun sikap spiritual individu dalam keseharian.
Menurutnya hal ini disebabkan adanya kesenjangan antara nilai ajaran agama dengan pemahaman para pemeluknya. Menjadi pertanyaan ketika riak para kandidat calon gubernur tidak ada yang berani tampil mewakili organisasi kemasyarakatan Islam tersebut.Organisasi besar keagamaan Islam, seperti Muhammadiyah, Alwasliyah dan NU. Masing-masing pasti mempunyai seorang ulama kharismatik untuk mengisi panggung demokrasi pemilihan gubernur Sumut mewakili umat Islam.
Dalam konteks kekinian, apakah kharisma ulama masih mampu menjadi sumber perubahan sosial? apakah pesan dan pandangannya senantiasa diresponsi masyarakat kita, yang kini, cenderung bergerak ke arah modernitas, meski pun masih dalam taraf proses atau masa transisi.
Ketokohan dan kepemimpinan ulama sebagai akibat dari status dan peran yang disandangnya, telah menunjukkan betapa kuatnya kecakapan dan pancaran kepribadiannya dalam memimpin dan masyarakat.
Hal ini dapat dilihat dari bagaimana seorang ulama dapat membangun peran strategisnya sebagai pemimpin masyarakat non formal melalui suatu komunikasi intensif dengan masyarakat. Kedudukannya yang penting di lingkungan pedesaan maupun perkotaan sama sekali bukan hal baru, sebab kehadirannya diyakini membawa berkah.
Penulis adalah Dosen UMSU
Mahasiswa Pascasarjana UIN Raden Fatah Palembang

Close Ads X
Close Ads X