Pengembangan Energi Terbarukan Semakin Menggeliat

Oleh : Muhammad Razi Rahman

Pengembangan energi terbarukan telah menjadi gerakan global sejak akhir abad ke-20, dan hal itu bukan hanya impian ideal semata, karena energi terbarukan merupakan bentuk energi yang lebih bersih dan lebih berkelanjutan. Tren proenergi terbarukan juga bukan hanya wacana yang dibicarakan oleh aktivis atau kalangan tertentu saja. Sejumlah pengusaha listrik swasta me­nginginkan pemerintah mem­percepat pembangunan energi baru terbarukan (EBT).

Hal tersebut didorong antara lain karena bakal membantu mewujudkan proyek 35.000 megawatt (MW) yang menjadi salah satu program andalan pemerintah. “Indonesia memiliki potensi EBT dalam jumlah sangat besar, salah satu potensi besar yang ada yakni air, diyakini mampu mendorong percepatan proyek listrik raksasa ini,” kata Komisaris Utama PT Pat Petulai Energi Dony Gouw, di Jakarta, Kamis (3/3).

Dony menegaskan, gerak cepat pemerintah diperlukan karena pembangunan 35.000 MW itu bila benar-benar terea­lisasikan akan ada dampaknya kepada Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang sangat ter­buka.

Dia memaparkan, banyak keuntungan yang didapatkan dari pemanfaatan air untuk pembangkit listrik, antara lain PLTA itu berusia bisa sangat panjang antara 50-100 tahun. Selain itu, lanjutnya, kapasitas daya keluaran PLTA nisbi besar, kemudian teknologinya bisa dikuasai dengan baik oleh Indonesia, dan yang terpenting adalah bebas emisi karbon.

Ia mengungkapkan, sejumlah masalah yang menghambat pembangunan itu antara lain adalah banyaknya peraturan yang bisa ditafsirkan berbeda-beda yang menjadi potensi konflik antara pengembang listrik swasta, pemerintah, dan PLN.

Senada dengan Dony, Di­rek­tur PT Klaai Dendan Les­tari (perusahaan listrik swas­ta) Yogi Adhi Satria mema­parkan, pengembang memiliki ketertarikan untuk ikut berinvestasi dalam proyek listrik itu, akan tetapi ia melihat posisi pengembang terkesan “digantungkan” walaupun mereka telah mengeluarkan banyak dana.

“Di sisi lain, pengembang tertarik untuk ikut berinvestasi untuk pembangkit EBT terutama PLTM, itu karena harga beli yang dicantumkan dalam Peraturan Menteri ESDM No. 19/2015. Namun, saat ini pengembang ada dalam posisi digantungkan, padahal sudah mengeluarkan investasi awal dalam jumlah besar untuk kepentingan studi, mengurus perizinan, dan akuisisi lahan,” papar Yogi.

Dia berpendapat, bila ini diteruskan maka akan menim­bulkan kerugian bagi pengem­bang listrik dan akibatnya juga akan memperlambat program pemerintah yang ditargetkan rampung tahun 2019 itu.

Tidak hanya pengusaha dalam negeri, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) juga telah mengidentifikasi minat perusahaan energi terbarukan Singapura di bidang pembangkit listrik tenaga biogas dari proses limbah cair industri kelapa sawit senilai 1,1 miliar dolar AS (setara Rp137,5 triliun, kurs Rp12.500).

Kepala BKPM Franky Sibarani mengatakan investor tersebut berencana membangun sekitar 100 titik lokasi di Indonesia, khususnya Kalimantan dan Sumatera. “Mereka mengincar lokasi-lokasi banyak terdapat industri pengolahan kelapa sawit, karena proyek ini akan terintegrasi dengan industri pengolahan kelapa sawit,” katanya.

Menurut Franky, nantinya tenaga listrik yang dihasilkan akan digunakan oleh industri pengolahan kelapa sawit sendiri juga dijual ke masyarakat melalui perjanjian jual beli listrik (PPA) dengan BUMN kelistrikan.

Sebelumnya, BKPM juga mengidentifikasi minat investor asal Eropa, tepatnya Inggris dan Belanda, yang membidik bidang pembangkit listrik tenaga surya dengan nilai investasi mencapai 370 juta dolar AS (setara Rp5,1 triliun, kurs Rp13.900).

Kepala BKPM Franky Sibarani mengatakan bahwa investasi itu akan tersebar di beberapa lokasi di Indonesia, khususnya kawasan Indonesia bagian timur serta proyek “waste to energy” di Jawa Barat.

“Investor yang bersangkutan berencana untuk melakukan penandatangan komitmen in­vestasinya dengan mitra lokal atau dengan BUMN kelistrikan pada bulan April mendatang,” katanya.
Franky menuturkan bahwa investor tasal Eropa memang banyak yang mengemukakan ketertarikan, khususnya dalam bidang energi terbarukan.

Lebih lanjut, Franky men­jelaskan minat investasi tersebut diperoleh dari investor asal Inggris yang berencana untuk membangun 200 megawatt dengan nilai investasi 250 juta dolar AS.
Sementara itu, investor asal Belanda juga berminat untuk mengikuti lelang Proyek Persampahan Legok Nangka, Jawa Barat, dengan perkiraan nilai investasi sekitar 120 juta dolar AS, yang menurut jadwal akan dilaksanakan pada bulan Maret ini.

Permudah Prosedur Se­ba­gaimana diwartakan, peme­rintah menjanjikan akan mem­­permudah prosedur dan birok­rasi bagi investor yang ingin menanamkan modalnya pada pengembangan energi terbarukan di Indonesia. “Sudah sangat mudah sekali memang,” kata Wapres Jusuf Kalla saat membuka “Bali Clean Energy Forum 2016” di Nusa Dua Convention Center di Bali, Kamis (11/2).

Dia memaparkan, investasi di bidang energi terbarukan ditawarkan kepada para pebisnis yang punya teknologi karena baik untuk kerja sama, sebab masalah ligkungan bukan hanya masalah negara tapi masalah dunia.

Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berkomitmen membantu pembiayaan pengem­bangan energi baru, terbarukan dan konservasi energi (EBTKE) yang dilakukan oleh pemerintah melalu Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Komitmen itu ditandai dengan penandatanganan nota kesepahaman (MoU) terkait per­cepatan pengembangan EBTK melalui peningkatan peran lembaga jasa keuangan antara OJK dengan Kementerian ESDM yang dilakukan di Gedung Sumitro Djojohadikusumo OJK Jakarta, Rabu (3/2).

“Lembaga-lembaga jasa keuangan akan kami dorong berinvestasi ke sektor EBTKE, bukan hanya bank tetapi juga dari industri keuangan nonbank. Ini adalah kesempatan yang baik karena EBTK adalah bidang yang produktif,” ujar Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman Hadad usai acara tersebut.

Pemerintah juga diberitakan bakal memberikan subsidi harga sebagai salah satu skema untuk mendukung Program Indonesia Terang, yang bertujuan melistriki ribuan desa tertinggal dengan energi baru terbarukan di seluruh Indonesia.

Menteri ESDM Sudirman Said mengatakan, pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan di desa daerah terdepan, per­batasan, dan pulau-pulau kecil tidak ekonomis secara bisnis, sehingga tidak ada investor yang berminat.

“Untuk itu perlu kehadiran negara untuk menjembatani jurang (gap) keekonomian ter­sebut dengan skema antara lain penyediaan infrastruktur, ‘feed in tariff’, dan subsidi harga,” katanya.
Jika listrik sudah masuk ke desa, lanjutnya, maka akan menumbuhkembangkan pere­konomian lokal, kegiatan usaha berjalan, dan pendapatan mas­yarakat dan negara meningkat.

Saat ini, 12.659 dari total 74.754 desa di Indonesia belum dialiri listrik. Sebesar 65 persen dari desa belum berlistrik tersebut, terletak di enam provinsi kawasan timur Indonesia.
Kementerian ESDM juga ber­komitmen berusaha meng­genjot penguatan sektor energi baru terbarukan dan konservasi energi untuk mensuplai kebutuhan energi nasional.

Dalam Forum Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) di Bandung, Jawa Barat, beberapa waktu lalu, disepakati enam tindaklanjut untuk memperkuat EBTKE yaitu pertama finalisasi persiapan pembentukan dana ketahanan energi (DKE), kedua finalisasi persiapan program Indonesia Terang dengan yang mengalirkan listrik bagi 12.659 desa atau 16 persen dari total jumlah desa se-Indonesia.

Ketiga, PLN menyiapkan salah satu anak usahanya sebagai badan usaha khusus yang akan menjadi PLN EBT. Keempat, Pertamina akan menyiapkan investasi pembangkit listrik tenaga surya 1.000 MW dalam lima tahun ke depan.

Kelima PLN siap menan­datangani power purchase agree­ment (PPA) proyek 50 MW dengan PLN untuk Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika, Lombok Tengah. Dan terakhir, Pertamina serta PLN, masing-masing berkomitmen untuk melakukan audit energi di SPBU dan pembangkit-pembangkit listrik tua untuk diterapkan konservasi energi.

Sementara itu, Direktur Jen­deral EBTKE Kementerian ESDM Rida Mulyana menyatakan ko­mitmen terhadap EBTKE harus terus disuarakan dan di­prio­ritaskan. “Kami mengajak seluruh pe­mangku kepentingan untuk mulai menggeser pandangan miopik ke pandangan yang lebih luas, berjangka panjang, berkesinambungan dan ber­keadilan untuk semaksimal mungkin menyelesaikan masalah yang dihadapi masyarakat,” ujar Rida.
(ant)

Close Ads X
Close Ads X