Mimbar Islam | Kehidupan Sufi

Oleh : Robie Fanreza, M.Pd.I

Seorang muslim harus kuat aqidahnya, karena merupakan unsur yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan orang yang beriman. Dan aqidah dalam pandangan Hamka pada dasarnya yaitu beriman kepada Allah SWT dan Rasul Muhammad SAW yang substansinya terletak pada aktivitas memerintahkan untuk melaksanakan yang ma’ruf dan mencegah berbuat munkar.

Hal ini tampak dari defenisinya tentang dakwah, yakni menyampaikan ajakan kepada yang ma’ruf dan menjauhi yang munkar.

Pandangan ini sejalan dengan pemikiran Shaykh Ali Mahfuz, bahwa dakwah adalah mengajak umat manusia kepada al-khayr dan al-huda serta memerintahkan mereka berbuat ma’ruf dan mencegah berbuat munkar agar mereka memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.

Dalam pemikiran tasawuf hamka, amar ma’ruf nahy munkar tidak saja dilakukan dengan lisan dan tulisan, tetapi juga dengan akhlak atau budi pekerti yang mulia.[1] Menurutnya, dengan perilaku terpuji, seseorang bisa menanamkan nilai-nilai Islam kepada orang lain. Karena itu, dakwah tentang aqidah dapat dijalankan oleh setiap Muslim, termasuk pemerintah. Ia dapat melaksanakan dakwah sesuai dengan kedudukannya, yaitu dengan cara memberi contoh yang baik dan berlaku adil.

Tiga kehidupan yang harus dimiliki jiwa sufi Pertama, para sufi yang berhenti hanya sebatas tujuan moral saja, yaitu meluruskan jiwa, mengendalikan kehendak yang membuat manusia hanya konsisten terhadap keluhuran moral. Tasawuf yang begini lebih bersifat mendidik, yang ditandai dengan coraknya yang praktis.

Kedua, para sufi yang bertujuan mengenal Allah secara lebih dekat. Untuk merealisasikan tujuan ini dibutuhkan syarat-syarat khusus menuju penyikapan langsung (kashf).

Ketiga, para sufi yang mengembangkan ajarannya dengan disertai filosofis. Dari pembagian ini dapat diketahui bahwa tasawuf Hamka termasuk kategori yang pertama karena Hamka bukanlah seorang yang telah mengalami perjalanan ruhani, namun ia dapat menerima dan mengamalkan tasawuf sebagai jalan untuk mendekatkan diri pada Allah, selama ajarannya masih dalam koridor keIslaman yang berdasar pada alqur’an dan as-Sunnah. Kemudian ia pun mengkontekstualisasi dan menginterpretasikannya kembali hingga lebih mudah diterima oleh masyarakat modern.

Penutup
Kehidupan yang semakin dengan kehidupan glamor dan sifatnya keduniaan saja maka harus dihidupkan bernuansa kehidupan sufi. Dengan berjiwa sufi dapat menekan atau menjadi benteng dari kenikmatan dunia yang semu. Harus menyeimbangkan kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat. Fastabiqul khairat

Close Ads X
Close Ads X