Menyikapi Fenomena Prostitusi Artis dari Segi Hukum

Oleh : Ramen Antonov Purba
Publik kembali dikejutkan dengan ditangkapnya artis NM dan PR. Selain itu petugas juga menangkap dua orang pria berinisial F dan O, yang diduga menjadi mucikari prostitusi artis. Artis sepertinya tiada henti mengisi jagat informasi tanah air dengan tingkah polahnya yang beragam.

Hal yang menjadi perhatian dan cukup mengejutkan, ketika banyak media yang merilis bahwa pihak kepolisian menyatakan bahwa artis yang ditangkap dan diduga menjadi pelacur online adalah korban, bukan tersangka. Tentunya ini menjadi sebuah pertanyaan besar, mengapa pihak kepolisian sampai menyatakan demikian. Padahal prostitusi jelas-jelas merupakan hal terlarang untuk dilakukan di negeri ini.

Undang-Undang Tindak Pi­dana Perdagangan Orang (UU TPPO) dikatakan menjadi dasar bagi pihak kepolisian ter­kait dengan pernyataannya ter­se­but. Didalam UU TPPO, pela­curan dianggap sebagai bentuk perdagangan orang. UU ter­sebut seperti sejalan dengan Konvensi PBB Tahun 1949 untuk Pemberantasan Perdagangan Orang dan Eksploitasi Prostitusi. Berarti diartikan bahwa pelaku prostitusi dalam hal ini yang menjajakan dirinya, dianggap dieksploitasi. Dengan kata lain mereka diperdagangkan. Berarti yang dianggap bersalah adalah pihak yang memperdagangkan dan mempergunakan jasa me­reka. Tentunya terjadi kontradiksi yang cukup aneh terkait hal ini.

Mucikari dan konsumen si pelacur menjadi sasaran sanksi hukum, sementara si pelacur sendiri dilindungi dan diberikan bantuan agar dapat keluar dari kondisi tereksploitasi. Padahal seharusnya ketika kita melihat kondisi penyebab terjunnya oknum tertentu kedalam alam prostitusi, bukan karena paksaan, tetapi mayoritas karena keinginan mereka sendiri. Berarti idealnya harus ada penyamarataan posisi. Seyogianya kita berpikir secara realita, dimana ada orang-orang yang memang memilih bekerja sebagai pelacur seperti mengemuka pada kasus prostitusi online yang melibatkan artis sebagai pelacurnya.

Jika ditelusuri lebih jauh, maka kita bisa saja sampai ke pengertian PSK (Pekerja Seks Komersial). Ketika melihat kondisi sosial diatas, bisa jadi tidak semua pelacur masuk kedalam kategori PSK. Bisa jadi ada yang namanya Budak Seks yang bukan masuk kedalam kategori PSK. Ketika berbicara tentang konteks budak seks, maka jelas ada makna eksploitasi yang terkandung didalamnya. Dimana mereka yang dijadikan budak seks di­per­dagangkan kesana-kemari dengan paksaan harus melayani, berbeda dengan konsep pelacur (PSK) yang melacurkan dirinya karena keinginan mereka sendiri.

Oleh sebab itu, sesungguhnya Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO) yang menjadi dasar bagi pihak kepolisian memberikan status korban bagi pelaku prostitusi dalam hal ini artis tentunya harus dipertanyakan. Karena jelas-jelas artis tersebut tidak dipaksa untuk melakukan tindakan menjajakan tubuhnya. Mereka dengan sadar dan waras mau melacurkan dirinya, bahkan dengan bandrol harga tertentu. Karenanya kita harus cerdas dalam melihat hal ini, agar kedepannya jangan ada lagi pihak-pihak tertentu yang menjadikan UU sebagai alat sandung untuk menjerat pelaku prostitusi. Karena prostitusi jelas-jelas merusak. Apalagi yang menjadi pelakunya adalah artis yang notabene merupakan publik figur. Seharusnya mereka dihukum berat untuk menjadi contoh bagi yang lain.

Sudah sepatutnya dirumuskan ulang rumusan pasal-pasal, khususnya relasi antara UU TPPO dan UU KUHP terkait ihwal prostitusi. Ini penting karena menyangkut dengan masalah etika dan moral yang menjadi perhatian publik. Jangan sampai publik menilai bahwa tindakan prostitusi sah-sah saja untuk dilakukan karena dianggap bukan hal yang melanggar hukum.

Jangan sampai sinisme publik meningkat melihat sikap pihak kepolisian yang menjadikan pelaku prostitusi sebagai korban, dan bukannya tersangka. Ujung-ujungnya pelaku hanya di­ma­sukkan ke panti sosial untuk direhabilitasi agar jangan lagi melakukan tindakan serupa. Ten­tunya tidak ada sebuah jaminan yang memperkuat perihal mereka tidak akan kembali mengerjakan pekerjaan serupa.

Basis Filosofi
Menurut Irmayanti Meliono (2007), filosofi merupakan ba­gaimana seharusnya manusia bertindak, dan mempertanyakan bagaimana kebenaran dari dasar tindakan itu dapat diketahui. Dalam hal ini terkait dengan kebaikan, kebenaran, tanggung jawab, dan suara hati. Bila dikaitkan dengan masalah prostitusi artis, maka jelas harus diselidiki dan dikaji lebih jauh makna filosofi yang mengatakan bahwa artis itu merupakan korban dan bukan tersangka. Jelas-jelas yang dilakukan adalah melacurkan dirinya.

Tentunya ini merupakan tindakan yang sangat jauh dari namanya kebaikan. Mereka juga memberikan contoh yang tidak baik, maka jelas hal tersebut jauh dari yang namanya bertanggung jawab. Mereka juga dengan sadar melakukan penjajaan tubuh mereka, padahal mereka tahu hal tersebut dilarang oleh hukum dan agama. Maka jelas bahwa itu jauh dari yang na­manya mendengarkan suara hati.

Melihat semua aspek diatas, maka dapat dipastikan semua yang tertaut dalam konteks filosofi sudah dilanggar oleh sipelaku pelacuran tersebut, terlepas dia itu seorang publik figur dalam hal ini artis, atau orang biasa. Karenanya semakin memperjelas bahwa para pelacur tersebut bukan pihak yang tereksploitasi, demikian juga dengan pihak mucikari dan konsumen mereka pun tidak lagi bisa diposisikan sebagai pihak yang mengeksploitasi. Karena jelas semua pihak dengan sadar melakukan dan dengan sadar juga memiliki kesepakatan un­tuk melakukan pemufakatan pelacuran. Ini yang menurut penulis salah satu aspek yang harus dilihat oleh pihak kepolisian se­bagai bahan pertimbangan sebelum memutuskan status pelaku prostitusi.

Sangat penting menge­de­pankan kebenaran ini sebagai benteng pencegah. Jadi orang-orang tidak akan sembarangan lagi untuk terjun kedalam ranah prostitusi terlepas itu secara online atau secara langsung. Karena sudah ada hukum yang jelas dan mengatur cakupan hukum bagi yang terlibat dalam bisnis prostitusi. Dengan de­mikian, tujuan dan harapan untuk meminimalkan prostitusi dapat tercapai. Terlebih prostitusi yang melibatkan artis yang merupakan publik figur dan seharusnya menjadi contoh bagi masyarakat.

Basis Hukum
Nalar hukum tentunya harus saling mendukung dengan basis filosofis. Karena keduanya akan memiliki posisi memutuskan. Terlebih hukumlah yang paling perlu untuk diperjelas posisinya, agar tidak menimbulkan pe­mahaman yang rancu bagi masyarakat, terlebih bagi pihak kepolisian untuk memutuskan. Seksualitas tentunya harus kembali diletakkan pada ke­du­dukan asalnya, bukan se­matamata sebagai hak, pilihan, apalagi kesenangan, melainkan sebagai sebuah dimensi yang berisi unsur tanggung jawab berupa kewajiban, larangan, dan jaminan perlindungan. Pelacur juga tidak bisa dipaksa harus berstatus korban. Dengan kata lain, berarti prostitusi tidak bisa serta-merta disejajarkan dengan perdagangan orang.

Dengan demikian, akan semakin jelas mana pekerja seks ataukah budak seks. Seiring dengan penentuan klasifikasi pelacur, maka tidak akan ada yang namanya kriminalisasi terhadap prostitusi. Pelacur yang bertipe pekerja seks akan dikenai hukuman pidana, sebagaimana muncikari dan pihak pengguna jasa pelacuran. Status hukum pekerja seks ditegakkan sebagai cara untuk menyumbat peluang dijadikannya pelacuran sebagai bidang profesi.

Dengan demikian UU TPPO yang sering dijadikan se­bagai tameng sembari terus me­ngem­bangkan bisnis mesum mereka tidak akan terjadi lagi. Jadi jelas yang dikatakan korban sejati dalam fenomena pelacuran adalah pelacur yang tereksploitasi ser­ta anak dan suami maupun istri dari konsumen yang telah menggunakan jasa pelacur.

Jadi kepada pihak kepolisian dan pihak-pihak lain yang ter­­kait dengan keputusan yang men­cengangkan, harus cer­das dalam melihat UU dan kemudian secepatnya merubah UU tersebut. Tujuannya agar UU jangan malah dijadikan sebagai sarana melegitimasi kegiatan prostitusi.

UU sejatinya harus menjadi benteng untuk mencegah meluasnya aksi pro­stitusi. Orang-orang, ter­masuk artis, yang memilih de­ngan sadar untuk melacurkan diri mereka sendiri harus men­dapat hukuman minimal pendidikan moral agar tidak lagi melakukan hal serupa karena sangat me­lang­gar etika dan norma ke­sopanan yang begitu dijunjung tinggi di Indonesia.
*) Penulis Staf UPT Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat di Politeknik Unggul LP3M Medan

Close Ads X
Close Ads X