Mendambakan Polri yang Promoter

Kasat Binmas Polrestabes Medan AKBP Alamsyah Parulian Hasibuan (keempat kiri) didampingi Kapolsek Medan Barat Kompol Victor Ziliwu (ketiga kanan) berbincang bersama warga saat sosialiasi program “Kampungku Bebas Narkoba” di Medan, Sumatera Utara, Rabu (15/3). Program yang digagas Polri, TNI, BNN dan pihak Kecamatan tersebut, guna mencegah peredaran dan penyalahgunaan narkoba di lingkungan masyarakat. ANTARA FOTO/Irsan Mulyadi/ama/17

Kecintaan masyarakat kepada polisi kita ’jatuh-bangun’. Kadang-kadang polisi dibenci, di lain waktu kehadirannya dirindukan. Ketika terjadi keributan, polisi dicari sebagai penentram keadaan.

Polisi juga kerap didatangi masyarakat mengadu mencari keadilan. Namun simpati masyarakat terhadap tugas mulia polisi rusak ketika ulah segelintir oknum di internal Polri masih menjadi ganjalan.

Tidak dapat dipungkiri di tengah dinamika kehidupan masyarakat perkotaan ancaman keamanan ketertiban masyarakat (kamtibmas) selalu dihadapi aparat kepolisian kita. Belum lagi kepungan aksi kejahatan di berbagai sudut kota, mulai kejahatan kovensional sampai kejahatan yang memanfaatkan kemajuan teknologi.

Mulai pencurian dengan kekerasan, narkoba, teror, hingga kejahatan kerah putih (cyber crime) yang melibatkan pelaku yang mengandalkan kecerdasan intelektual.

Tingginya dinamika kehidupan politik dan sosial masyarakat perkotaan serta modus operandi kejahatan yang terus berkembang menjadi tantangan tersendiri bagi aparat kepolisian yang bertugas di kota besar seperti Medan.

Kadang kala tantangan datang bukan dari dinamika pada kelompok masyarakat yang makin kritis dan para pelaku kejahatan yang makin canggih. Tantangan justru datang dari sikap personal aparat di internal Polri sendiri dalam menyikapi dinamika masyarakat dan berbagai tindak kejahatan perkotaan.

Tak jarang di tengah kondisi yang menantang itu, aparat kepolisian terpancing bersikap arogan kepada rakyat. Segelintir oknum di antaranya malah terseret pusaran kejahatan, mulai kasus narkoba, perjudian, bahkan perampokan.

Beberapa fakta minor ini sangat mengganggu upaya-upaya institusi Polri yang tengah melakukan pemantapan reformasi internal dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap Polri.

Untunglah Polri sebagai sebuah institusi penegak hukum dan penjaga keamanan dalam negeri, kini jauh lebih terbuka ketimbang era sebelumnya. Pada masa Orde Baru dan masa transisi di awal-awal reformasi, Polri sangat tertutup terhadap kritik dan tindak tanduk oknum di internal Polri amat terlindungi rapi.

Tanpa disadari, diam-diam sikap demikian justeru semakin menjauhkan simpati rakyat terhadap Polri. Polri yang pada hakikatnya memiliki peran mulia sebagai pelindung dan pengayom masyarakat, seakan menjadi institusi yang tertutup, angker dan ‘sombong’.

Antipati terhadap Polri kemudian muncul di kalangan masyarakat, akibat ulah segelintir oknum yang seakan dilindungi pimpinannya.

Itu dulu. Paradigma Polri sebagai pelindung anggota sendiri, kini benar-benar telah berganti menjadi paradigma Polri yang benar-benar mengayomi rakyat dan memihak terhadap kebenaran dan keadilan meskipun melibatkan oknum di internal Polri.

Reformasi Polri pelan-pelan telah mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada institusi yang diamanahkan Undang-undang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Promoter
Harus diakui Polri belum sepenuhnya berhasil dalam mereformasi kultur pelayanan kepada masyarakat. Dalam tataran konsep memang sudah mendukung. Sejumlah instrument perundang-undangan yang mengatur penyelenggaraan tugas-tugas kepolisian telah mengalami perbaikan mendasar.

Namun di lapangan, masih banyak ditemukan keluhan masyarakat terhadap ulah sejumlah oknum yang bertindak arogan dan kurang profesional.

Tak jarang terjadi gesekan antara oknum dan warga masyarakat. Tren warga mengadu ke Propam meningkat, belum termasuk insiden yang tidak diadukan dengan berbagai alasan. Tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelayanan yang diberikanpun belum optimal.

Kabar baiknya, Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian relatif terbuka dengan kritik masyarakat untuk membangun Polri yang profesional dan dicintai rakyat. Kapolri menyadari sepenuhnya apa yang diharapkan masyarakat dan mengimplementasikan reformasi Polri melalui program yang sangat ideal dalam membentuk postur polisi masa depan yang dicintai rakyat yakni polisi yang Profesional, Modern dan Terpercaya (Promoter).

Polri yang “Promoter” dijabarkan melalui tiga upaya pencapaian membentuk polisi yang profesional, moderen dan terpercaya. Profesional: Meningkatkan kompetensi SDM Polri yang semakin berkualitas melalui peningkatan kapasitas pendidikan dan pelatihan, serta melakukan pola-pola pemolisian berdasarkan prosedur baku yang sudah dipahami, dilaksanakan, dan dapat diukur keberhasilannya.

Modern: Melakukan modernisasi dalam layanan publik yang didukung teknologi sehingga semakin mudah dan cepat diakses oleh masyarakat, termasuk pemenuhan kebutuhan Almatsus dan Alpakam yang makin modern. Terpercaya: Melakukan reformasi internal menuju Polri yang bersih dan bebas dari KKN, guna terwujudnya penegakan hukum yang obyektif, transparan, akuntabel, dan berkeadilan.

Polri adalah institusi penting yang selalu menjadi tumpuan dan harapan masyarakat dalam rangka mencari keadilan dan rasa aman. Sebagai pengayom masyarakat, polisi diharapkan benar-benar menumbuhkan kultur pelayanan prima, tidak arogan namun tegas bertindak.

Sekian lama masyarakat awam tergiring pandangan keliru melihat sosok polisi. Padahal, sebagai pelayan masyarakat, aparatur negara yang satu ini tidak berbeda dengan aparatur negara lainnya, kecuali fungsinya.

Dilihat dari fungsinya, polisi adalah aparatur yang digaji negara untuk menjaga ketertiban umum, menegakkan hukum dan mengayomi masyarakat. Pada fungsi mengayomi, logisnya masyarakat yang berada di lingkungan polisi akan merasa nyaman dan aman.

Program Polri “Promoter” akan menjawab harapan-harapan akan polisi tegas namun berwajah humanis yang didambakan masyarakat. Kalau boleh jujur, pada masa lalu, seorang awam yang datang ke kantor polisi untuk sebuah urusan akan mengalami kondisi psikologis yang tidak begitu nyaman.

Ketidak nyamanan itu, bukan saja akibat “risih” dengan tatapan tajam petugas yang seolah penuh curiga. Ketidaknyamanan itu kadang-kadang datang dari wajah garang dan komunikasi yang mungkin bermaksud ingin tegas, namun sangat formal dan kaku.

Celakanya, kedekatan hubungan yang tidaknyamanan antara pelayan dan masyarakat yang dilayani ini, dibiarkan, dibiasakan sekian lama sehingga menjadi kultur hubungan yang sungguh buruk bila dilihat dari sebuah hubungan manusiawi antara aparat dan rakyat di sebuah negara.

Sudah seharusnya polisi dan masyarakat melakukan koreksi terhadap stigma negatif itu. Polri tidak harus menampilkan wajah tegas semata, tapi sekaligus harus humanis. Dengan demikian diharapkan akan mampu mengubah citra Polri di masyarakat lebih dicintai, dihargai dan disegani, bukan polisi yang sekadar ditakuti kemudian dibenci.

Harapan menjadikan Polri yang dicintai rakyat akan terwujud bila polisi kita profesional, moderen dan terpercaya (promoter). Ya! (*)

*) Penulis wartawan Jurnal Asia dan tulisan ini diikutkan dalam Lomba Artikel Hari Bhayangkara ke 71 yang diselenggarakan Polresta Medan.

Close Ads X
Close Ads X