Malunya MenPAN RB

Soal rasionalisasi (pensiun dini) PNS di seluruh wilayah Indonesia memang lagi digadang-gadang. Sayangnya rencana ini memang harus kandas setelah diskak mat Jokowi alias tak disetujui.
Padahal sebelumnya, rencana ini memang patut diacungi jempol, cuma memang kurang pendekatan dan main grasak-grusuk. Sehingga banyak yang kebingungan lihat cara kerja Yudhi Crisnandi sebagai Menpan RB.

Memang benar kalau masih banyak PNS kerja nggak sesuai keharusan. Tapi gagasan rasionalisasi adalah gagasan menggampangkan dan mau enaknya sendiri saja. Seolah-olah gak mau mikir banyak sehingga nyari gampang walau hal demikian akan lebih banyak gema negatifnya.

Penulis juga berpikir, kenapa Yuddy tidak belajar kepada Ahok? Coba lihat saja mental PNS DKI Jakarta saat ini. Mereka tak lagi nongkrong-nongkrong atau cuma baca koran sambil ngopi atau main catur. Lurah dan camat akan selalu memantau dengan adanya program qlue untuk memastikan keluhan masyarakat ditanggapi dengan baik.

Mereka, PNS DKI, sudah bergiat-giat. Yudhi harusnya belajar kepada Ahok bagaimana meningkatkan kinerja PNS tanpa ribet rasionalisasi yang cuma berbuih-buih dan tak ada hasil apa-apa kecuali keributan belaka.

Memang susah untuk meningkatkan kinerja PNS. Karena siapa pun yang akan melakukan itu harus bekerja keras. Ahok sampai harus melawan banyak orang untuk mewujudkan pegawai DKI yang rajin-rajin.

Hingga sekarang sudah terasa sekali perubahan mental PNS DKI karena sikap Ahok yang keras. Ydhi, kerja keraslah dikit. Ikuti cara Ahok. Jangan mau enak sendiri. Selain itu kita juga mengetahui, banyak sekali pegawai honorer yang ada di lingkungan PNS. Bahkan mungkin lebih banyak dari jumlah PNS-nya itu sendiri.

Seringkali tenaga honorer itu dimasukkan oleh PNS di kantor itu, terutama yang mempunyai jabatan. Entah kantor itu sebenarnya butuh atau tidak kemampuan, keahlian, atau tenaga si honorer yang dimaksud, yang penting masuk dulu siapa tau nanti diangkat jadi PNS.

Contoh lain terkait itu adalah promosi dan mutasi di lingkungan PNS. Apakah pengangkatan pejabat atau promosi di PNS pada umumnya karena prestasi atau lebih karena persepsi? Kalau menurut banyak pendapat pada umumnya masih karena faktor persepsi.

Satu hal yang sering diucapkan adalah, seandainya kantor PNS (Kementerian/Lembaga Negara) ini adalah klub olahraga apakah itu sepakbola atau basket, maka wajar…sangat wajar memainkan pemain yang itu itu saja, pegawai yang itu itu saja ditugaskan terus.

Kenapa wajar? Agar klub tetap meraih kemenangan karena adanya si pemain hebat ini. Lalu apakah kantor PNS ini klub olahraga? Lalu kalau ada pegawai yang malas bekerja, datang terlambat, datang hanya untuk absen, tidak pernah dicari bos, tidak diberi kepercayaan oleh atasan, itu salah? Kalau memang tidak berkompeten, kenapa tidak dipecat dari sekarang, kenapa dipelihara? Kalau memang hanya butuh beberapa pegawai pintar yang bisa diandalkan, pecat saja sisanya bukan? Atau jangan terima tenaga honorer lagi bukan?

Kalau contoh-contoh itu yang terjadi, sudahkah Kementerian PANRB menyiapkan alat yang tepat untuk mengukur keobjektifan rasionalisasi? Jangan-jangan nanti timbul masalah yang lebih pelik dengan rasionalisasi. Karena PNS hampir selalu atau bahkan selalu dianggap sebagai kewajiban, sebagai beban, bukan sebagai aset. Kalau PNS dianggap aset, maka ia harusnya dirawat, dikembangkan, diberikan kesempatan yang sama untuk berkarya. (*)

Close Ads X
Close Ads X