Korporasi Dalam Lingkaran Korupsi

Umumnya penanggung jawab ini adalah direktur utama atau jajaran direksi lainnya. Pemidanaan korporasi sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kasus pencucian uang.

Jika korporasi tidak sanggup membayar denda, maka aparat penegak hukum berhak menyita aset korporasi sebagai ganti kerugian negara. Masih berdasarkan perma, selain pembayaran denda, korporasi juga bisa dikenakan pidana tambahan berupa pencabutan izin.

Seiring dengan alasan sistem ekonomi politik modern dewasa ini, domain negara harus dipisah dari domain swasta. Masing-masing memiliki ciri dan karakteristik berbeda serta diatur dengan aturan main yang berbeda pula. Campur-aduk keduanya menyebabkan kedua sistem tersebut mengalami distorsi, yang akan berujung pada ketidakadilan, kesenjangan ekonomi, monopoli, dan korporatisme.

Partai politik dan lembaga perwakilan rakyat belum berfungsi secara profesional. Begitu juga birokrasi dalam memelihara etik dan nilai-nilai yang dapat mendukung fungsinya sebagai lembaga pelayan publik.

Hal ini dikhawatirkan struktur kekuasaan politik tidak dapat menjamin berfungsinya mekanisme saling kontrol. Sehingga yang terjadi adalah penyelewengan mandat rakyat untuk kepentingan bisnis.

Bagi pengusaha, parpol dipandang sebagai sarana bisnis untuk kepentingannya. Begitu juga bagi pengurus partai politik, berbisnis dipandang dapat mendorong kemandirian partai. Parpol menjadi menyalahgunakan kekuasaan yang dimilikinya di parlemen atau birokrasi untuk mengeruk keuntungan demi kas parpol.

Hal ini disebabkan mekanisme itu terdistorsi oleh kepentingan-kepentingan pragmatik elit parpol. Sehingga kualifikasi kandidat yang berkaitan dengan kompetensi, kredibilitas, dan akuntabilitas calon tenggelam oleh kepenting-kepentingan jangka pendek elit parpol. Di sinilah terjadi negosiasi menyangkut kontribusi calon terhadap partai.

Akibatnya calon yang dimunculkan adalah yang berhasil memenangkan negosiasi itu, dengan tolok ukur utamanya berupa materi.Fenomena di atas dapat menjadi ilustrasi bagaimana karakteristik bisnis yang murni pencari laba bertemu dengan kepentingan kekuasaan.

Besarnya komposisi sumbangan pengusaha dapat dipandang sebagai besarnya kepentingan bisnis dalam mempengaruhi kebijakan parpol.

Transaksi ini terjadi biasa pada saat proses untuk mencapai kekuasaan lewat pemilu dan berlanjut ketika kekuasaan didapat dan diimplementasikan. Hal ini berdampak pada otoritas penguasa parpol dapat mudah dipengaruhi kepentingan pengusaha sebagai pamrih dukungan saat pemilu.

Disinilah kemudian terjadi distorsi yang seharusnya posisi bisnis sebenarnya berada di luar lingkup kekuasaan namun ternyata dapat membalikan kenyataan. Akibatnya, peran kekuasaan berubah yang seharusnya berwatak pelayanan menjadi berorientasi keuntungan. Hal ini menjadi pertanda lonceng kematian demokrasi.

Hal itu terkait dengan terjadinya komplikasi karena menyatunya tiga karakter sumber daya politik yakni pada diri pengusaha, bisnis, dan partai politik. Relasi pengusaha dan penguasa adalah masuknya para pengusaha bisnis kedalam jabatan publik atau elit kekuasaan.

Bila hal ini terjadi maka partai politik akan berkarakter oligarkis yang memusatkan kekuasaan pada kekuatan pengusaha. Pusat kekuasaan tumbuh di sekitar sedikit elite utama di pucuk organisasi partai.
Kepentingan dan kenikmatan partai pun tidak terdistribusikan ke luar lingkaran elite utama itu.

Yoshihara Kunio (1990) menyebut kapitalis yang berkembang di Asia Tenggara ini sebagai kapitalis semu (ersatz capitalist), yaitu pengusaha yang tumbuh karena bergandeng mesra dengan rezim. Pengusaha semu ini membangun bisnis dengan memperoleh kemudahan (privilese) dan proteksi politik.

Dalam konteks kekinian, persyaratan itu semakin mendekati harapan karena beberapa alasan pokok yang mendasari fenomena itu sebagai berikut.

Pertama, atmosfer politik di Indonesia didominasi ideologi pragmatisme yang mengakibatkan jagat perpolitikan nasional keruh dengan perebutan kepentingan politik.

Kedua, hukum dan perundang-undangan masih merupakan produk politik kepentingan sempit dan sesaat.

Ketiga, birokrasi yang korup dan parasitik telah menjadi medan pertarungan politik partai-partai menjadi sarana akses terhadap kekayaan negara.

Keempat, partai politik dan lembaga perwakilan rakyat masih sekadar broker politik yang memberlakukan politik sebagai dagangan yang dapat diperjualbelikan untuk kepentingan yang sangat subyektif. Kondisi ini dapat saja dimanfaatkan oleh pengusaha dalam pola permainan rentseeking yang mengakibatkan adanya ketidakadilan ekonomi.

Berbagai pengalaman menunjukkan secara empiris bahwa para pengusaha atau taipan di negara berkembang memanfaatkan kondisi itu hanya untuk kepentingan sesaat. Dalam arti bahwa kebanyakan pengusaha di negara berkembang terlibat dalam dunia politik dengan memanfaatkan kroni kapitalis.

Pengusaha di negara berkembang bukan wirausaha-wirausaha sejati, tetapi hanya menikmati rente dari penguasa setelah itu memberikan imbalan finansial serta dukungan politik. Bahkan kalau perlu memperoleh dukungan pengaruh dan kekuasaan.

Salah satu cara untuk membaca situasi perilaku penguasa dalam memaksimalkan keuntungannya adalah dengan melakukan pendekatan the New Political Economy atau yang lebih dikenal dengan istilah Rational Choice. Asumsi dasar yang dibangun dalam pendekatan ini adalah bahwa manusia adalah mahluk yang egois dan rasional.

Sifat ini akan membuat manusia untuk selalu berusaha secara rasional dapat membantu tercapainya kepentingan tersebut. Pada intinya manusia akan berusaha untuk sebisa mungkin mendapatkan keuntungan yang optimal dengan memanfaatkan segala fasilitas dan kemampuan yang ia miliki.

Pengusaha memperoleh keuntungan dengan cara bukan persaingan yang sehat di dalam pasar.

Kekuasaan dipakai untuk memengaruhi pasar sehingga mengalami distorsi untuk kepentingannya.

Dalam praktiknya perburuan rente ekonomi, pelaku usaha mengundang kekuasaan atau memengaruhi kekuasaan untuk mengambil dari suatu nilai yang tidak dikompensasi.

Retorika tentang “pelayanan negara” mengandaikan bahwa para pejabat pemerintah bagaimanapun juga akan diarahkan untuk bertindak dalam kepentingan publik luas, meski dalam kenyataannya perilaku mereka secara empiris lebih dapat dijelaskan lewat motif-motif kepentingan pribadi yang lebih sempit.

Perilaku para pejabat negara dapat dipengaruhi oleh suap, kampanye sumbangan hadiah kepada anggota keluarga, atau janji masa depan. Sejumlah besar aktivitas sektor swasta dengan demikian diselewengkan dari kewirausahaan menghasilkan kekayaan ke pemburuan rente (Krueger 1974; Buchanan, Tullock, dkk, 1980).

Memang tidak semua pengusaha yang berpolitik berdampak negatif. Namun pengalaman empirik di negara berkembang menunjukkan, kemung-kinan tabiat koruptif dari dwifungsi itu justru semakin membesar. Karena umumnya, motivasi utama para pengusaha atau ‘taipan’ berpolitik guna mempertahankan kepentingan bisnisnya (Harris, 2003).

Tracking yang dilakukan menunjukkan, pebisnis di negara berkembang yang berpolitik adalah kroni kapitalis, bukan entrepreneur sejati. ‘Kerajaan’ bisnis yang dibangun bukan hasil persaingan usaha sehat dan inovasi bisnis, tetapi dari privilege dan konsesi yang diberikan patron politik.

Yashiro Kunio (1990) menamakannya ‘’kapitalis semu’’(ersatz kapitalism), yaitu pengusaha yang tumbuh karena memiliki hubungan mesra dengan rezim.
Penulis adalah Dosen UMSU

Close Ads X
Close Ads X