Ketimpangan Penegakan Hukum (1)

Oleh: Datuk Imam Marzuki

Ketimpangan yang terjadi dalam proses penegakan hukum terutama di sebabkan karena, secara konsepsionil dianut pendapat yang sempit. Hukum tidak hanya terdiri dari “law enforcement” penegakan hukum juga mencakup pencipta kedamaian. Indonesia masa kini, khsusunya sebahagian masyarakat banyak yang tidak percaya terhadap penegakan hukum. karena disebabkan persoalan-persoalan hukum yang tidak kunjung efektif dalam penanganannya. Ketidak percayaan pada sistem hukum di Indonesia, yang makin hari mangkin memperhatinkan. Leibniz berkata, bahwa kebaikan hidup itu hanya terjamin, kalau orang-orang memiliki sikap keadilan. Mengutip Menurut Diego Gambeta (1993), negara dan mafia menawarkan hal yang sama, yaitu proteksi. Mafia menjual proteksi khusus kepada kliennya. Praktik mafia menjadi persoalan karena memperdagangkan hal-hal yang menurut aturan negara adalah ilegal. Persoalan legal dan ilegal menjadi kabur batasnya dalam pasar mafia. Melindungi pelaku pelanggar hukum merupakan komoditas perdagangan dalam jaringan mafia.

Di Indonesia, tanpa memahami gerak mafia hukum dan kaitannya dengan negara, usaha membuka kasus kriminal ibarat melenyapkan satu sel kanker. Aparat negara yang telah dikuasai jaringan mafia malah melakukan kejahatan terhadap kepercayaan warga negara. Krisis negara terjadi setelah kita mabuk pujian fantasi sebagai satu dari banyak negara dengan penduduk terpadat yang menjalankan demokrasi. Jean Jacques Rousseau menyebut demokrasi yang diselewengkan sebagai ochlocracy (1973: 234), atau praktik ”kerumunan”. Ini bagian kondisi anarki yang ditandai dengan pupusnya negara. Di Indonesia, hal ini tampak dengan memudarnya legitimasi aparat. Jika Rousseau hanya menyebut ”kerumunan”, jaringan mafia yang bergerak dalam situasi anarki bukan kerumunan. Jaringan kriminal yang terorganisasi dengan struktur rapi beroperasi dalam sel lintas institusi. Bagaimana negara bisa bertahan menghadapi mafia hingga kini belum terjawab. Ini sekaligus menjawab pertanyaan mengapa jaringan mafia Indonesia bisa dijawab para facebookers Indonesia. Sederhananya karena keduanya beroperasi dalam sistem jaringan simetris.

Sebagai kelompok kejahatan terorganisir, mafia berusaha menanamkan pengaruhnya ke seluruh wilayah-wilayah penting (seperti kota-kota besar/metropolitan). Baik dalam bentuk yang legal maupun yang ilegal. Memonopoli dan mengendalikan perdagangan bebas agar menambah keuntungan. Monopoli yang dilakukan oleh organisasi kejahatan dikerjakan dengan cara kekerasan, dengan ancaman. Berusaha menjalin hubungan dengan pejabat-pejabat penegak hukum. Biasanya Para mafia menjauhkan diri dari hal-hal seperti kompetisi. Dengan tidak adanya kepastian hukum terkait kebijakan ini, maka justru membuka jalan melakukan pemerolehan kekuasaan. Dalam beberapa sisi, kelompok kriminal bersembunyi dibalik topeng kekuasaan eksekutif. Bisa juga sebagai pemilik perusahaan seolah-olah untuk melayani masyarakat. Kekuasaan remuneratif dan punitif dijadikan cara untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Dengan mengedepankan tindak criminal, para mafia menanamkan upayanya untuk merebut kekuasaan. Kenyataan yang perlu disadari, bahwa intensnya pengaruh tuntutan masyarakat terhadap pembentukan hukum, karena rasa ketidakadilan.

Terganggunya ketertiban umum akan memicu efek opini bergulir seperti bola salju yang semakin besar dan membahayakan jika tidak mendapat salurannya. Suatu kebijakan produk hukum yang memadai untuk memenuhi tuntutan masyarakat tersebut. Satu catatan penting yang perlu dikemukakan disini untuk menjadi perhatian para lawmaker adalah apa yang menjadi keprihatinan Walter Lippmann, yaitu :”Kalau opini umum sampai menngarah ke pemerintah, maka disanalah terdapat suatu penyelewengan yang menimbulkan kelumpuhan. Dalam konteks Indonesia, cita dan fakta yang berkaitan dengan penegakan keadilan masih belum dapat bertemu. Harapan akan adanya instrumen dan pengadilan yang fair dan berkadilan sangat bertentangan dengan maraknya mafia-mafia peradilan dan praktek-praktek hukum yang menyimpang. Pada tingkatan tertentu Indonesia bahkan dapat dikatakan berada pada situasi lawlessness, misalnya, Dunia hukum Indonesia berada dalam kuasa “demoralisasi, disorientasi, dehumanisasi dan dekadensi”. Hukum adalah perintah dari penguasa, dalam arti perintah dari mereka yang memiliki kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan.

Karena itu perlu menjadi catatan bagi para pembentuk hukum adalah, memperhatikan suara dari kelompok masyarakat yang mayoritas yang punya akses untuk mempengaruhi opini publik. Disnilah peranan para wakil rakyat yang terpilih melalui mekanisme demokrasi yang ada dalam struktur maupun infrastruktur politik untuk menjaga kepentingan mayoritas rakyat. Memahami betul norma-norma, kaidah-kaidah, kepentingan dan kebutuhan rakyat agar nilai-nilai itu menjadi hukum positif.

Jika ada pertanyaan tentang hubungan kausalitas antara hukum yang mempengaruhi politik atau sebaliknya politik yang mempengaruhi hukum. Jawabannya perlu menjaga konsistensi dalam pembentukan dan penegakan hukum. Penegakan hukum dijadikan komoditas politik, penegakan hukum sangat diwarnai oleh uang, perlakuan yang diskriminatif dan perasaan sungkan dari para aparat penegak hukum. Maka perlu upaya pembersihan internal dalam institusi hukum harus dilakukan dan perlu terus mendapat dukungan.

Dalam konteks ini, para pengambil kebijakan harus memahami bahwa mentalitas aparat penegak hukum di Indonesia masih seperti layaknya masyarakat di Indonesia. Mereka takut pada hukum dan bukan taat pada hukum. Oleh karena itu, perlu diciptakan penegakan hukum yang tegas bagi para pejabat hukum yang melakukan penyelewenangan jabatan. Mekanisme yang diciptakan haruslah dapat bekerja (workable) sehingga betul-betul dapat menjerat personil yang bersalah. Pembersihan internal perlu dilakukan secara intensif pada saat pengambil kebijakan telah memutuskan untuk mengedepankan kesejahteraan. Ini untuk memilah mereka yang menyelewengkan jabatan karena untuk sekedar bisa survive hidup dengan mereka yang bermotivasikan ’tamak’ mengkomersialkan jabatannya. Dalam pembenahan penegakan hukum, penting untuk disadarkan dan diintensifkan partisipasi publik. Partisipasi publik tidak sekedar melibatkan lembaga swadaya masyarakat, tetapi para individu yang ada dalam masyarakat. Semua pihak mempunyai peran dalam pembenahan penegakan hukum di Indonesia.

Hukum dan politik adalah berbicara bagaimana hukum bekerja dalam sebuah situasi politik. Hukum sebagai perwujudan dari nilai-nilai yang berkembang yaitu keadilan. Dengan demikian idealnya hukum dibuat dengan mempertimbangkan adanya kepentingan untuk mewujudkan nilai tersebut. Dengan ciri-ciri mengandung perintah dan larangan, menuntut kepatuhan dan adanya sangsi, maka hukum yang berjalan akan menciptakan ketertiban dan keadilan di masyarakat. Hukum sebagai salah satu kaidah yang dipositifkan secara resmi oleh penguasa negara sebuah produk dari kegiatan politik. Keadilan akan dapat terwujud apabila aktifitas politik yang melahirkan produk-produk hukum memang berpihak pada nilai-nilai keadilan itu sendiri. Terlepas bahwa dalam proses kerjanya lembaga-lembaga hukum harus bekerja secara independen untuk dapat memberikan kepastian dan perlindungan hukum.

*)Penulis Dosen UMSU Sekjen Pemuda Muhammadiyah Kota Medan

Close Ads X
Close Ads X