Kantin Kejujuran, Solusi Alternatif Tingkatkan Kejujuran Siswa

Oleh : Imada Rahmadia Lubis
Memilih bersikap jujur terkadang menjadi hal yang tidak mudah untuk dilakukan. Khususnya untuk anak usia remaja yang masih duduk di bangku sekolah. Usia remaja merupakan usia rentan dimana seseorang berusaha mencari, menunjukkan kualitas dan jati dirinya. Kualitas seseorang sebenarnya dapat dilihat dari seberapa besar nilai dan karakter kejujuran yang tertanam dalam perilakunya.

Secara sederhana jujur dapat dijadikan sebagai salah satu alat dalam mendidik siswa menuju kesuksesan. Perilaku jujur erat kaitannya dengan kepercayaan. Untuk membentuk karakter jujur pada siswa diperlukan dukungan dari berbagai pihak dan harus ditanamkan sedini mungkin.

Siswa tentu tak bisa dipisahkan dari lingkungan sekolah. Tiap harinya seorang siswa baik dari tingkat SD, SMP hingga SMA menghabiskan waktu disekolah dengan jam berbeda. Siswa SD menghabiskan waktu selama 5 jam tiap harinya, SMP selama 6 jam dan SMA selama 7 jam. Tentu dengan lamanya waktu tersebut, lingkungan ini pasti memiliki kekuatan tersendiri yang mampu mempengaruhi banyak hal dari diri siswa termasuk karakter dan perilakunya.

Seorang siswa tentu tidak hanya mendapatkan ilmu, teman dan hiburan saja. Pendidikan yang diperoleh siswa selama berada di sekolah biasanya terfokus pada bidang akademik semata. Siswa diajarkan bagaimana menguasai berbagai macam bahasa, ilmu pengetahuan alam seperti fisika, kimia, maupun matematika.

Berkenaan dengan karak­ter, pendidikan di negara ini terbatas pada teori tanpa banyak melibatkan siswa. Penerapannya melalui pendidikan agama maupun pendidikan kewarganegaraan yang sama-sama kita tahu jam belajarnya juga amat sedikit. Sangat disayangkan sebab dampak yang ditimbulkan cukup serius dimasa kini. Bila hal ini dibiarkan tentu dampak di masa mendatang juga akan sangat luar biasa.

Maraknya kasus korupsi dapat dijadikan alasan nyata bahwa jujur adalah hal langka dinegara ini. Pemberitaan di semua media massa tak habis-habisnya membahasa kasus korupsi. Selalu saja ada kasus korupsi baru ketika kasus korupsi lama belum dituntaskan. Dari pembangunan wisma untuk para atlit, pengadaan pembangkit listrik bahkan kitab suci Al-Quran pun turut di korupsi. Indonesia memang luar biasa akan sumber daya alam tapi amat menyedihkan untuk moral sumber daya manusianya.

Membentuk Karakter Jujur
Sederhananya jujur diartikan sebagai aktivitas mengakui dan melakukan sesuatu apa adanya, sesuai dengan apa yang terjadi tanpa sedikitpun ditambahi maupun dikurangi dengan alasan apapun baik itu dari perkataan maupun perbuatan.

Menilik luka lama, siapa yang mampu melupakan kasus Nyoya Siami beberapa waktu silam? Siami harus mengungsi ke Solo akibat diusir paksa dari lingkungannya. Kasus ini, berawal dari kejadian di sekolah. Dilansir dari Kompas.com kasus Nyonya Siami terjadi karena tulusnya niat seorang ibu menanamkan kejujuran pada anaknya.

Ia tak pernah membayangkan jika mengajarkan kejujuran adalah hal yang akan membuat keluarganya terusir. Siami diketahui melaporkan guru SDN Gadel 2 kepada polisi karena telah memaksa anaknya yang pintar memberikan contekan kepada teman sekelasnya saat ujian nasional berlangsung Mei 2011 lalu. Anaknya mengeluhkan jika sebelum Unas berlangsung, wali kelasnya bahkan mensimulasikan kegiatan contek mencotek didalam kelas.

Siami dituding menjelekkan nama sekolah dengan per­buatannya. Banyak orang tua murid tidak nyaman dengan tindakannya. Bahkan berulang kali unjuk rasa pengusiran dilakukan hingga akhirnya, Siami dan keluarganya merasa tidak tahan karena tertekan.

Orang tua siswa menganggap Siami “Sok Pahlawan”. Mereka menyalahkan Siami dan me­nganggap kegiatan mencon­tek adalah hal wajar yang telah dilakukan oleh generasi ke generasi dulu hingga sekarang. Banyak pihak menyayangkan ini. Profesor Daniel Rosyid ketua tim independen pencari fakta kasus tersebut menyatakan perilaku warga sekampung yang merasa tidak nyaman adalah awal kehancuran bangsa.

Mencontek merupakan salah satu penyebab terjadinya tinda­kan korupsi. Banyak kasus korupsi belum terpecahkan di negeri ini, begitu banyaknya hingga kian hari kian menggerus moral bangsa. Tentu ketika ditanya secara sadar tidak ada yang mau menjadi penghancur bangsa sendiri tapi secara tidak sadar bila hal ini terus dibiarkan, tidak segera diatasi maka generasi bangsa akan hancur dengan sendirinya.

Kasus ini tidak boleh terulang. Disayangkan sebab kejadiannya terjadi di sekolah. Sekolah sebagai tempat “mencetak” generasi unggul harusnya melibatkan secara nyata masyarakatnya menjadi masyarakat terdidik. Minimnya pendidikan yang melibatkan karakter pada siswa harus segera ditinggalkan. Ratna mewangi menyatakan dalam bukunya Pendidikan Karakter, mengungkapkan 95% individu paham perbuatan baik dan buruk. Masalahnya banyak individu tidak mempunyai komitmen kuat melakukannya dalam tindakan nyata. Ini akibat banyak dari kita yang tidak terbiasa melakukannya.

Penerapan Kantin Kejujuran
Kejujuran kian luntur, solusi untuk ini harus segera dicarikan dan segala pihak harus terlibat. Ironis bila menyampaikan kejujuran berujung petaka dikarenakan tidak terbiasa melakukanya padahal paham nilai-nilai kejujuran tersebut.

Kantin kejujuran dapat dijadikan solusi sebab kantin dianggap sebagai sarana yang dekat dengan siswa. Penerapan kantin kejujuran oleh pemerintah disekolah harus dimodifikasi ulang pada beberapa bagian. Biasanya untuk membeli makanan dan minuman yang disediakan, siswa memasukkan sendiri uang pembayaran dan mencocokkan pengembalian sesuai harga tanpa pengawasan seperti di kantin lain.

Kejujuran siswa akan ter­latih disini. Tanpa adanya pengawasan, mereka disediakan ruang membiasakan diri berlaku jujur dan yang tidak jujur bisa saja mengambil dan membayar sesuka hati. Ini menjadi tantangan bagi pengelola tapi, kebiasaan buruk bila didominasi oleh kebiasaan baik akan luruh dengan sendirinya. Modifikasi kantin kejujuran dengan menyelipkan berbagai kata-kata motivasi diharapkan mampu mempengaruhi psikologi siswa.

Harapan mewujudkan kejujuran yang luhur pada siswa tidak akan sia-sia bila penerapan kantin kejujuran di kontrol maksimal. Penerapannya yang konsisten secara tidak sadar dapat dijadikan mata pelajaran baru karena ditemui para siswa tiap harinya. Praktik ini harus disosialisasikan lebih maksimal karana merupakan alternatif dalam meningkatkan kejujuran pada siswa.
*)Penulis adalah mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) jurusan Ilmu Komunikasi.

Close Ads X
Close Ads X