Jerat Korupsi

Siapa yang tidak mengenal Patrialis Akbar, mantan Menkum HAM era Presiden SBY ini tertangkap tangan oleh tim work Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK kemarin. Ia dituduh terlibat suap pengurusan peternakan dan kesehatan hewan senilai 200.000 dollar Singapura, dan menerima uang senilai 20.000 dollar AS,di mal Grand Indonesia

Dalam perkembangannya tindakan penyelewengan sering dikatakan korupsi, setidaknya dengan tangannya Hakim Konstitusi Patrialis Akbar dunia Hukum kembali tercoreng setelah Hakim Akil Muhtar mengalami nasib serupa.

Dikatakan korupsi apabila tertangkap petugas pemberantasan korupsi, kita salah besar menuduh seseorang melakukan korupsi tanpa ada bukti dan tidak tertangkap. Mau ditaruh kemana wajah hukum negeri ini, atas peristiwa memalukan ini. Disisi lain Presiden Jokowi RI gencar menggelorakan semangat bersih-bersih berantas korupsi, di lain sisi korupsi kian beranak-pinak.

Perilaku korupsi memang sudah menggejala di mana-mana. Entah antara pengusaha dan pejabat birokrat yang mempunyai kekuasaan, atau antara warga masyarkat yang bertaraf ekonomi menengah ke bawah.

Dalam berbagai perbincangan mengenai beragam topik, hampir tak aneh bila orang-orang selalu saja mendengar kata korupsi. Seolah menjadi bahasa lumrah dalam setiap perbincangan bila ada selingan mengenai korupsi, lama-lama membosankan untuk dibicarakan.

Tidak lengkap berbicara korupsi jika tidak berbicara lapar, mengapa? Lapar membuat orang gelap mata alias kalap. Agar kenyang tentu harus memilki uang, dimana uang merupakan sarana pendukung mengobati lapar.

Segala cara akan ditempuh untuk mendapatkan uang tersebut. Dunia birokrasi mengalami kesulitan ketika menemui tiga hal ini, bahkan saya sendiri belum tentu mampu menolaknya yaitu harta, tahta, wanita.

Urusan tahta kemungkinan besar masih mampu dihindari akan tetapi harta dan wanita lelaki mana yang sanggup terjebak dalam rayuan setan, bahkan seorang Hakim Mahkamah Konstitusi, Patrialis Akbar dibuat tepar.

Kondisi silang sengkarut perekonomian indonesia tentu sangat memprihatinkan bagi yang menolaknya. Makan saja selagi masih bisa makan, tidak usah canggung karena makanan bisa membuat orang saling makan, meski awalnya berkawan, toh gara-gara makanan menjadi lawan.

Inilah boroknya ketika politisi masuk dalam sistem Birokrasi, karena ketika ada beberapa hal negatif dengan mudah dipantau sebuah lembaga independen pemberantasan korupsi, karena dianggap merugikan negara.

Lingkaran birokrat seperti ini diduga penuh kepalsuan. Korupsi juga merupakan sampah paling mengancam kesehatan masyarakat indonesia dan dunia. Solidaritas korupsi tidak pernah luntur, semakin ramai orang berjihad memberantas korupsi, semakin subur berkembang biak. Ibarat memberangus sarang tikus.

Keganasan tindak pidana korupsi terbilang extra ordinary crime selama masih mempunyai “kepentingan” mustahil untuk dibumi hanguskan. Apalah gunanya dipasangi embel-embel Benci Korupsi, Benci Narkoba di pakaian seragam sekolah anak-anak, toh yang korupsi para elite politik, birokrat, tentu tidak ada korelasinya sama sekali. Tidak ada relevansinya terhadap anak-anak sekolah atas koruptor, mengenakan embel-embel konyol seperti ini.

Jauh panggang dari pada api, bagaikan langit dan bumi. Apakah ada yang berani menjamin, dengan mengenakan embel tersebut aksi para elite negara mampu dihentikan?

Mengerikan adalah ketika itu hakim apalagi hakim agung, hakim konstitusi, dan jajarannya. Kualitasnya dipertanyakan soal rekruitmen, soal latar belakang, soal partisipan atau anggota bahkan petinggi parpol, sejatinya kualitas pribadinya jelas.

Bagaimana revolusi mental harus berjalan dan bergegas, sudah sangat terlambat selama ini tetap saja masih banyak maling berdasi yang berkeliaran.

(*)

Close Ads X
Close Ads X