Jangan Melupakan Bahasa Daerah

Oleh : Ramen Antonov Purba
Tradisi menggunakan bahasa daerah sudah mulai langka dilakukan. Orang tua, pemuda, dan anak-anak lebih terbiasa mempergunakan bahasa Indonesia. Tak jarang ada yang lebih suka mempergunakan bahasa Inggris. Terlebih menjelang pelaksanaan Masyarakat Eko­nomi Asean (MEA), yang men­yebabkan generasi sekarang lebih suka menyerap bahasa nasional daripada bahasa dae­rah.

Kondisi ini menyebabkan bahasa daerah akan punah. Padahal bahasa daerah meru­pakan simbol dan sarana pengekspresian tata cara, adat, komunikasi sosial, dan pranata sosial. Tidak bisa dibayangkan apa yang terjadi jika simbol dan sarana tersebut punah. Tentunya tata nilai budaya juga akan terkikis.

Puluhan bahasa daerah akan punah, disebabkan karena jumlah penutur bahasanya semakin sedikit. Berdasarkan data yang dirilis oleh UNESCO, ada 136 bahasa daerah masuk kategori terancam punah. Ada 14 bahasa daerah yang sudah mati atau punah karena penuturnya tidak ada lagi, 10 di antaranya bahasa dari Maluku Tengah yakni Bahasa Hoti, Hukumina, Hulung, Serua, Te’un, Palumata, Loun, Moksela, Naka’ela, dan Nila. Dua bahasa lainnya dari Maluku Utara yakni Ternateno dan Ibu. Selainnya berasal dari Papua, yakni Saponi dan Mapia.

Pakar linguistik dari Universitas In­­donesia, Prof Dr Multamia Lau­der, mengungkapkan ma­salah bahasa terjadi di Indonesia bagian timur karena begitu banyak bahasa yang ada di sana namun hanya sedikit pe­nuturnya. Keadaan tersebut berbanding terbalik dengan Indonesia bagian barat, sedikit bahasa tapi banyak penutur. Meskipun demikian, banyak juga bahasa daerah di Indonesia bagian barat yang sudah mulai langka dipergunakan.

Sumatera Utara merupakan salah satu daerah di Indonesia bagian barat yang memiliki ragam bahasa daerah. Suku Melayu Deli mayoritas menuturkan Bahasa Indonesia karena kedekatannya dengan Bahasa Melayu yang menjadi bahasa ibu masyarakat Deli.

Pesisir timur seperi wilayah Serdang Bedagai, Pangkalan Dodek, Batubara, Asahan, dan Tanjung Balai, memakai Bahasa Melayu dialek ‘o’ begitu juga di Labuhan Batu dengan sedikit perbedaan ragam. Di Kabupaten Langkat masih menggunakan bahasa Melayu dialek ‘e’ yang sering juga disebut Bahasa Maya-maya. Mayarakat Jawa di daerah perkebunan, menuturkan Bahasa Jawa sebagai pengantar sehari-hari.

Di Medan, orang Tionghoa lazim menuturkan Bahasa Hok­kian selain bahasa Indonesia. Di pegunungan, masyarakat Batak menuturkan Bahasa Batak yang terbagi atas empat logat (Silindung-Samosir-Humbang-Toba). Bahasa Nias dituturkan di Kepulauan Nias oleh suku Nias. Sedangkan orang-orang di pesisir barat, seperti Kota Sibolga, Kabupaten Tapanuli Tengah, dan Natal menggunakan Bahasa Minangkabau. Di dataran tinggi karo menggunakan bahasa karo.

Aneka ragam bahasa daerah ini tentunya harus dijaga keles­tariannya. Tujuannya agar ba­hasa daerah yang merupakan ke­kayaan budaya bangsa ter­sebut tidak punah. Karenanya kita harus peduli dengan bahasa daerah. Membiasakan untuk mem­pergunakannya dalam ke­sem­­patan-kesempatan ter­tentu merupakan salah satu solusi untuk menjaga bahasa daerah tersebut tidak punah. Dengan demikian kita sudah melindungi kekayaan bahasa daerah dan merawat kearifan lokal dan kekayaan budaya nasional.

Peran Pemerintah
Pemerintah, baik Pusat mau­pun Daerah, sesung­guh­nya harus pe­duli dengan kelestarian bahasa daerah. Untuk menyelamatkan ba­hasa yang bermasalah agar tidak ikut punah, perlu ada program yang komprehensif. Harus ada kerjasama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah setempat dan lembaga pendidikan misalnya perguruan tinggi setempat untuk men­datangi tiap daerah dan melihat permasalahan yang ada.

Perguruan Tinggi dapat men­jadi garda terdepan untuk ini. Tentunya dengan tetap dimonitoring dan didukung oleh pemerintah. Perguruan tinggi melalui Tridharma Perguruan tinggi dapat mengambil peran yang besar. Melalui kegiatan pengabdian kepada masyarakat, Perguruan tinggi dapat langsung turun ke daerah dan melihat langsung permasalahan yang ada. Kemudian menyusun stra­tegi sebagai solusi dari per­masalahan penggunaan bahasa daerah ini.

Dengan demikian, kelestarian bahasa daerah akan dapat dijaga. Penuturnya juga semakin banyak. Sehingga tidak akan sulit untuk dipelajari. Dengan demikian identitas dan karakter nasional bangsa akan tetap terjaga. Kita jangan sampai kehilangan bahasa daerah hanya gara-gara kurangnya kepedulian terhadap kelestariannya.

DPD RI akan menggodok RUU Bahasa Daerah untuk diajukan dalam Prolegnas 2015 hingga 2019. Kita harapkan RUU ini akan segera disahkan, sehingga tujuan mulia untuk tetap menjaga kelestarian bahasa daerah akan semakin mantap dilakukan.

Peran Keluarga
Keluarga tetap merupakan garda yang terdepan terkait dengan menjaga kelestarian bahasa daerah. Karena keluarga merupakan lingkungan tempat penggunaan bahasa daerah. Misalnya penulis yang senantiasa mempergunakan bahasa karo ketika berada dirumah dengan keluarga. Kebiasaan ini men­jadikan seisi rumah juga rajin mempergunakan bahasa daerah.

Dengan demikian bahasa daerah akan semakin terjaga khususnya bahasa karo. Apabila kondisi yang sama dilakukan juga oleh keluarga-keluarga yang lain, sudah pasti niat untuk tetap menjaga kelestarian bahasa daerah akan sesuai dengan yang direncanakan. Bahasa daerah akan tetap terjaga dan tidak akan ada yang namanya punah.

Kepunahan tentunya meru­pakan kehilangan yang terbesar apabila terjadi. Terlebih jika yang punah tersebut sesungguhnya dapat dilindungi. Karenanya, selain keluarga, pemerintah daerah maupun pusat, kita sebagai masyarakat pun harus peduli dengan kelestarian bahasa daerah ini. Karena bahasa daerah merupakan aset yang sangat berharga untuk dilindungi. Mari Belajar Bahasa Daerah.
*)Penulis Staf UPT Lembaga Penelitian dan Pengabdian Mas­yarakat di Politeknik Unggul LP3M Medan

:

Close Ads X
Close Ads X