Ironi Gizi Buruk di Kota Metropolitan

Gizi buruk terjadi akibat masalah ketahanan pangan ditingkat rumah tangga dalam memperoleh makanan untuk semua anggota, perihal kesehatan, kemiskinan, pemerataan dan kesempatan kerja.

Indonesia mengalami ma­salah gizi ganda yang artinya sementara masalah gizi kurang belum dapat diatasi secara menyeluruh sudah muncul masalah baru. Kasus ini sering dijumpai di daerah miskin, per­sediaan makanan yang terbatas, dan tingkat pendidikan yang rendah.

Kemiskinan masih merupakan bencana bagi jutaan manusia. Sekelompok kecil penduduk dunia berpikir “hendak makan dimana” sementara kelompok lain masih berkutat memeras keringat untuk mempero­leh sesuap nasi. Dibandingkan orang dewasa, kebutuhan akan zat gizi bagi bayi, balita, dan anak-anak boleh dibilang sangat kecil. Namun, jika diukur berdasarkan persentase berat badan, kebutuhan akan zat gizi bagi bayi, balita, dan anak-anak ternyata melampaui orang dewasa nyaris dua kali lipat.

Ironi memang, dibuat kota metropolitan dengan kemajuan peradaban sekelas Kota Medan, kasus gizi buruk masih saja terjadi. Padahal pimpinan kota ini sering mengumbar janji dan retorika akan membaiknya ke­mampuan finansial serta ke­sejahteraan penduduknya.

Pembiaran
Menurut United Nations Children’s Fund (Unicef) saat ini ada sekitar 80 % anak Indonesia di bawah usia lima tahun men­derita gizi buruk. Betapa ba­nyaknya bayi dan anak-anak yang sudah bergulat dengan kelaparan dan penderitaan sejak mereka dilahirkan. Penyebab utama kasus gizi buruk di In­donesia tampaknya karena ma­salah ekonomi atau kurang pengetahuan. Kemiskinan dan ketidakmampuan orang tua menyediakan makanan bergizi bagi anaknya menjadi penyebab utama meningkatnya korban gizi buruk di Indonesia, kemiskinan memicu kasus gizi buruk.

Fenomena gizi buruk ini bi­asanya melibatkan kurang­nya asupan kalori baik dari kar­bo­hidrat atau protein (pro­tein-energy malnutrition–PEM). Ku­rangnya pasokan energi sa­ngat mempengaruhi kerja ma­sing-masing organ tubuh. Me­nu­rut situs Dinas Kesehatan Pem­ko Medan, keadaan gizi bu­ruk ini secara klinis dibagi men­jadi 3 tipe, yaitu Kwashiorkor, Marasmus, dan Kwashiorkor-Marasmus.

Sebagai negara berkembang yang gencar dengan pem­ba­ngunan di segala bidang, bangsa Indonesia masih memiliki be­berapa ketertinggalan dan ke­kurangan jika dibandingkan ne­gara lain yang sudah lebih maju. Di bidang kesehatan, bangsa Indonesia khususnya Sumatera Utara masih harus berjuang memerangi berbagai macam penyakit infeksi dan kurang gizi yang saling ber­interaksi satu sama lain se­hingga menjadikan tingkat kesehatan masyarakat Sumut tidak kunjung meningkat secara signifikan.

Melihat situasi dan kondisi yang tampak, sekarang ini ma­salah gizi mengalami per­kembangan yang sangat pesat. Sayangnya, malnutrisi masih saja menghantui anak-anak dari kelurga yang ku­rang mampu secara finansial. Berdasarkan data Dinas Ke­sehatan Kota Medan tahun 2016, kasus gizi buruk atau gizi kurang yang ada mencapai sebanyak 120 kasus. Salah satu diantaranya kasus gizi buruk yang dialami Zahira Husna, bayi yang baru berusia satu tahun di Lingkungan 23, Kelurahan Pekan Labuhan, Kota Medan.

Menurut anggota Komisi E DPRD Sumut, HM Nezar Djoeli, mengatakan, kasus gizi buruk tersebut dapat terjadi di berbagai daerah tanpa melihat kondisi kewilayahan. Dari data FKM USU pada 2015 terdapat 1.152 kasus gizi buruk yang tersebar di berbagai kabupaten/kota di Sumut. Diantaranya, Kabupaten Asahan (117 kasus), Langkat (72 kasus), Mandailing Natal (62 kasus), Serdang Bedagai (52 kasus), Batubara (49 kasus), dan Tapanuli Tengah (43 kasus) dan masih banyak terdapat di daerah lainnya. (Tribun,com).

Menanggapi hal tersebut di atas, Pengamat sosial Universi­tas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) Mujahidin me­nilai, “sebagai kota yang di­anggap ma­ju, hal itu tentu sangat memalukan bila saat ini masih saja ada warga Medan yang mengalami gizi buruk. Ini artinya bahwa pembangunan yang dilakukan di Kota Medan masih hanya berorientasi kepa­da unsur fisik belaka. Sementara pembangunan manusia yang lebih baik masih jauh tertinggal” ungkapnya.

Padahal, sebut Mujahidin, sa­lah satu unsur penting pem­­ba­ngunan di samping pendidi­kan juga adalah kesehatan. Kare­na kesehatan turut mempenga­ru­hi pem­bangunan masa de­pan ma­­syarakat. “Jadi, dengan gizi buruk apalagi menimpa anak-anak bagaimana mereka akan bersekolah dengan baik. Sebab bila kita melihat dalam sosi­al pembangunan, kecukupan gizi yang rendah, tentu akan menciptakan daya saing ma­syarakat yang rendah pula,” tutupnya (Medanbisdily.com).

Masalah-masalah gizi buruk yang kita ketahui bisa menye­rang siapa saja khususnya balita dan anak-anak dengan kriteria umur tertentu. Masalah gizi pada hakekatnya adalah masalah kesehatan masyarakat, namun penanggulangannya tidak dapat dilakukan dengan pendekatan medis dan pelayanan kesehatan saja melainkan dari pendekatan lain. Sudah seharusnya anak mendapatkan layaknya ma­ka­nan yang bergizi, kalori dari karbohidrat untuk beraktivitas, dan protein sebagai pembangun badan. Bukan hanya menjadi otot, tapi yang lebih penting, otak. Terlebih pada saat balita anak sedang aktif-aktifnya.

Untuk itu dibutuhkan per­hatian khusus dari keluarga dan harus adanya kerjasama yang terpadu dan konfrehensif antara orang tua dan petugas kesehatan.Yang terpenting tindak pencegahan otomatis sudah dilakukan bila faktor-faktor penyebabnya dapat di­hindari. Misalnya ketersediaan pangan yang tercukupi, daya beli masyarakat untuk dapat membeli bahan pangan, serta pentingnya sosialisasi makanan bergizi bagi balita.

Pemerintah harus mampu dan melindungi seluruh anak-anak di Indonesia dari ancaman gizi buruk. Program perbaikan gizi, peningkatan kesejahteraan keluarga kurang mampu, ser­ta penuntasan kemiskinan haruslah digalakkan. Semoga kedepannya tidak ada lagi anak di Indonesia yang menjadi korban gizi buruk.

*) Penulis Alumni FAI UMSU, bekerja sebagai guru Pesantren Al-Ihsan di Labura

Close Ads X
Close Ads X