Harta Haram, Boleh Membayar Zakat?

Oleh : DAtuk Imam Marzuki

Zakat adalah kewajiban mengeluarkan sebagian harta yang telah ditentukan kadar dan jenisnya oleh syari’at. Rasulullah telah menjelaskan bagaimana seorang muslim mengeluarkan zakatnya dengan mudah. Sebagaimana dahulu manusia berdagang dengan cara tukar-menukar barang (barter). Kemudian manusia mendapat kemudahan dengan adanya uang emas (dinar) dan uang perak (dirham). Kemudian manusia mendapatkan kemudahan yang lebih jauh dengan adanya uang logam, uang kertas, cek, rekening, saham, dan berbagai macam surat/barang berharga.

Banyak permasalahan harta yang dimiliki kaum muslimin yang dahulu belum pernah ada, dan kondisi ini memaksa setiap muslim mengetahui apakah harta yang ia miliki wajib dikeluarkan zakatnya atau tidak. Di tengah masyarakat muncul pertanyaan mengenai apakah orang yang memiliki harta haram, seperti barasal dari bunga bank, hasil korupsi, dan hasil judi, memiliki kewajiban membayar zakat serta bagaimana seharusnya memanfaatkan harta haram tersebut.

Firman Allah SWT: “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.” (QS. Al-Baqarah: 267). Hadis Rasulullah SAW, antara lain: “Sesungguhnya Allah SWT itu Maha Baik dan tidak menerima kecuali yang baik “ (HR Muslim dari Abu Hurairah). “Sesungguhnya Allah SWT mewajibkan zakat sebagai pensucian harta “. (HR Bukhari dari Abdullah bin Umar).“Allah SWT tidak menerima sedekah dari harta hasil korupsi rampasan perang “ (HR Muslim dari Abdullah bin Umar) “Barang siapa yang mengumpulkan harta dari cara yang haram kemudian ia bersedekah darinya, maka ia tidak mendapatkan pahala apapun, bahkan ia tetap menanggung dosa dari harta haram tersebut “ (HR al-Baihaqi, al-Hakim, Ibnu Huzaimah dan Ibnu Hibban dari Abu Hurairah)

Setiap usaha yang haram menghasilkan harta yang haram, dan harta yang haram ada dua macam: Pertama; harta haram secara dzatnya seperti khamr, rokok, anjing, babi, dan lainnya. Harta haram jenis ini, para ahli fiqih sepakat mengatakan tidak ada zakatnya. Kewajiban pemiliknya hanya bertaubat kepada Allah dan meninggalkan usaha haramnya, sebagaimana dalam hadits dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah bersabda:”Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah itu Mahabaik dan tidak akan menerima kecuali yang baik-baik saja.” (HR al-Bukhari: 1321).

Kedua; harta yang asalnya halal (dzatnya halal), tetapi mendapatkannya dengan cara yang haram, seperti uang yang dijadikan modal usaha tetapi dengan cara riba, uang hasil suap, harta hasil korupsi, dan lainnya. Adapun jenis kedua ini para ulama berbeda pendapat tentang hukum zakatnya. Sebagian ulama’ berpendapat bahwa harta yang didapatkan dengan cara haram wajib dikeluarkan zakatnya, sebab jika tidak, manusia akan bermudah-mudahan mencari harta dengan cara haram, dan ini diqiyaskan kepada kewajiban zakat pada perhiasan yang hukumnya haram (seperti emas berbentuk makhluk hidup, atau emas bagi laki-laki) maka tetap wajib dikeluarkan zakatnya.

Sebagian lain berpendapat tidak ada zakat dari harta yang didapat dengan cara haramsebagai mana jenis harta haram yang pertama. Kewajiban zakat dibebankan kepada para pemilik harta, sedangkan harta yang haram hakikatnya bukanlah milik seorang muslim, bahkan ia wajib menjauhinya. Tidak diwajibkan zakat bagi usaha yang haram bukan berarti meringankan bagi para pelakunya, tetapi justru sebagai peringatan keras supaya segera meninggalkannya.

Adapun qiyas kepada perhiasan haram yang diwajibkan zakatnya, maka ini adalah qiyas yang tidak tepat, sebab perhiasan seperti emas meski haram bagi laki-laki, Allah dan Rasul-Nya telah menerangkan kewajiban zakatnya, kemudian keharaman emas itu tidak secara mutlak, bahkan dibolehkan jika untuk kaum wanita atau tidak berbentuk makhluk bernyawa, berbeda dengan khamr, riba, atau suap-menyuap yang keharamannya secara mutlak.

Pendapat Imam Ibnu Nujaim sebagaimana dikutip dalam kitab Al-Bahru Al-Raaiq (2/221) yang menerangkan tidak wajibnya membayar zakat atas harta haram sekalipun sudah sampai satu nishab, sebagai berikut: “Seandainya ada seseorang yang memiliki harta haram seukuran nishab, maka ia tidak wajib berzakat. Karena yang menjadi kewajiban atas orang tersebut adalah membebaskan tanggungjawabnya atas harta haram itu dengan mengembalikan kepada pemiliknya atau para ahli waris jika bisa diketahui, atau disedekahkan kepada fakir miskin secara keseluruhan harta haram tersebut – dan tidak boleh sebagian saja “.

Pendapat Imam Al-Qurthubi sebagaimana dikutip dalam kitab Fathu Al-Baari (3/180) yang menjelaskan alasan tidak diterimanya zakat atas harta haram sebagai berikut : “Sedekah/zakat dari harta haram itu tidak diterima dengan alasan karena harta haram tersebut pada hakekatnya bukan hak miliknya. Dengan demikian, pemilik harta haram dilarang mentasharrufkan harta tersebut dalam bentuk apapun, sementara bersedekah adalah bagian dari tasharruf (penggunaan) harta. Seandainya sedekah dari harta haram itu diangggap sah, maka seolah-olah ada satu perkara yang di dalamnya berkumpul antara perintah dan larangan, dan itu menjadi mustahil “.

Cara bertaubat sebagaimana dimaksud adalah sebagai berikut: Meminta ampun kepada Allah, menyesali perbuatannya, dan ada keinginan kuat (‘azam) untuk tidak mengulangi perbuatannya; Bagi harta yang haram karena didapat dengan cara mengambil sesuatu yang bukan haknya seperti mencuri dan korupsi, maka harta tersebut harus dikembalikan seutuhnya kepada pemiliknya. Namun, jika pemiliknya tidak ditemukan, maka digunakan untuk kemaslahatan umum. Bila harta tersebut adalah hasil usaha yang tidak halal seperti perdagangan minuman keras dan bunga bank – maka hasil usaha tersebut (bukan pokok modal) secara keseluruhan harus digunakan untuk kemaslahatan umum (Fatwa MUI).
Penulis adalah Dosen UMSU
Mahasiswa Pascasarjana UIN Raden Fatah Palembang

Close Ads X
Close Ads X