Eks Koruptor Bisa Nyaleg

Mahkamah Konstitusi akhirnya mementahkan gugatan agar mantan koruptor tak boleh nyaleg. Dengan demikian, eks napi tersebut bisa maju sebagai calon anggota DPR untuk periode 2019 mendatang. Maka membolehkan eks-koruptor nyaleg dipandang serupa mendudukkan kucing di depan piring penuh daging. Sudah pasti di-embat.

Ah, tidak, itu berlebihan. Kucing hanya punya naluri. Ia tidak bernalar soal baik-buruk. Ia tidak paham peraturan, tidak punya moral. Hanya insting. Koruptor itu manusia. Sebelum bertindak, ia berpikir dulu, ia menimbang salah-benar, pantas-tak-pantasnya.

Eks-koruptor adalah warga negara. Tiap-tiap warga negara melekat pada dirinya hak-hak yang diakui konstitusi. Koruptor juga adalah manusia, dan tiap-tiap manusia melekat pada dirinya hak asasi yang tanpa pemenuhannya belum paripurna dirinya sebagai manusia.

Hak pilih, memilih dan dipilih dalam pemilu adalah hak asasi sekaligus hak konstitusional. Bicara hak asasi berarti bicara wewenang Tuhan. Bicara hak konstitusi berarti bicara UUD 1945 dan turunan perundang-undangan yang musti mengacu kepadanya. Konstitusi yang beradab adalah yang mengatur perlindungan atas semua hak asasi.
Ketika menjadi narapidana, koruptor kehilangan sebagian hak konstitusinya. Ia tidak merdeka ke mana-mana, juga tidak bisa mencalonkan diri menjadi siapa-siapa dalam pemerintahan, legislatif, dan lembaga publik lain.
Jadi eks-napi korupsi adalah warga masyarakat yang sama dengan Om-Tante semua. Ketika mendaftar caleg, eks koruptor sama dengan caleg lain yang belum korupsi; sama dengan anak pejabat yang baru tamat sekolah dan kini diorbitkan bapaknya untuk jadi anggota parlemen; sama dengan ibu rumah tangga yang ingin berpenghasilan sendiri dengan menjadi anggota DPR; sama dengan pemuda pengangguran yang terlalu takut menjadi TKI dan merasa jago membual sehingga layak duduk di lembaga tukang bicara. Begitulah. Wajar mencurigai mantan koruptor akan kembali jadi koruptor jika diberikan kesempatan. Kita perlu ambil langkah-langkah pencegahan agar jangan sampai anggota parlemen terpilih hanyalah kumpulan koruptor. Tetapi jangan sampai itu ditempuh dengan pelanggaran juga, dengan kejahatan atas hak konstitusional orang.

Memang ada kemungkinannya, bagi mantan pidana kasus korupsi, untuk tidak melakukannya lagi. Tetapi apakah kita harus membiarkan usaha yang telah dilakukan selama ini, akan kita mulai dari awal lagi. Kemudian, bagaimana cara memastikan, kalau mantan pidana korupsi ini tidak akan berbuat lagi. Sudah sangat banyak kasus bangsa ini memperbaiki kesalahan dengan kesalahan baru. (*)

Close Ads X
Close Ads X