Darurat Imigran Gelap

Oleh : Sagita Purnomo
Saat ini Kota Medan menjadi salah satu tujuan utama bagi imigran gelap. Sampai Oktober 2016 ini setidaknya tercatat sebanyak 2.000 imigran (orang asing) dari berbagai negara datang dan menetap di Kota Medan. Sebagian besar imigran tersebut masuk ke Medan dengan cara melawan hukum dalam arti tidak memiliki paspor, dokumen keimigrasian ataupun izin untuk tinggal dan bekerja.

Banyaknya imigran ini di­kahawatirkan menimbulkan masalah baru di kemudian hari. Imigran gelap semakin mantap menjejakkan kakinya seiring dengan bantuan keluarga dan mudahnya mendapat KTP jadi-jadian. Hasilnya semakin hari Kota Medan terus dibanjiri imigran gelap. Masalah imigran gelap di Medan sangat kompleks, diduga terdapat sindikat besar yang melibatkan sejumlah pejabat dan aparat.

Sebagai contoh, disejumlah tempat hiburan dan klub malam Kota Medan, sangat banyak dijumpai pekerja seks komersial (PSK) dari luar negeri yang tidak memiliki paspor. Dalam beberapa penggerebekan yang dilakukan kepolisian, diketahui bahwa PSK ini sengaja didatangkan untuk dipekerjakan guna memenuhi kebutuhan pasar dunia hitam. Sejauh ini pihak imigrasi hanya dapat melakukan karantina atau deportasi (pemulangan) dalam menindak imigran gelap. Belum ada upaya tegas (investigasi) untuk menyelidiki siapa oknum yang bermain dalam bisnis imigran gelap ini.

Darurat
Menurut data International Organization for Migration (IOM) Indonesia, sekarang ini tercatat sekitar 2.000 imigran di Kota Medan. Dari jumlah tersebut, 1.600 di antaranya menetap di sejumlah penampungan, sedangkan 400 orang lagi berada di Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Jalan Selebes Kecamatan Medan Belawan. Adapun sebanyak 2.000 imigran itu berasal dari Srilangka, Somalia, Sudan, Afghanistan, Iran, Irak, Etophia, Kuwait, Mesir, Suriah, Jordania, Myanmar serta Mesir.

Meski masuk ke Medan dengan cara tidak resmi Dinas Sosial bersama Pemko Medan justru melakukan tindakan yang sangat mengejutkan. Dalam audiensi antara Dinas Sosial, Pemko Medan dan IOM belum lama ini, Kepala Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Medan, Syarif Armansyah Lubis mengungkapkan, pihaknya pernah bekerja sama dengan organisasi IOM dalam menangani masalah imigran tersebut. Salah satunya dengan memberikan bantuan uang tunai Rp.1,2 juta untuk para imigran setiap bulannya.

Bukan hanya itu, Wakil Walikota Medan, Akhyar Nasution, juga menawarkan bantuan lain yang dapat diberikan oleh Pemko kepada IOM sebagai organisasi sosial kemanusiaan dalam menangani masalah imigran sebelum mendapat suaka dari negara lain.

Sifat wellcome Pemko menangani masalah imigran ini, dikhawatirkan menimbulkan kecemburuan dari warga sipil. “Bantuan yang diberikan ini yang menjadi kecemburuan di masyarakat setempat, masyarakat mengira bantuan itu berasal dari Pemko Medan, padahal itu bantuan murni ditanggung oleh IOM. Ditambah lagi imigran selalu memenuhi kebutuhannya dengan berbelanja di super market bukan di pasar tradisional,” kata Syarif Armansyah.

Agar tidak terjadi kesalah pahaman di masyarakat, ia meminta agar pihak IOM meng­klarifikasi bantuan yang diberikan tersebut kepada masyarakat, sehingga nantinya bila ker­jasama ini terjalin masyarakat tidak mengira bahwa Pemko Medan hanya berpihak kepada kepentingan imigran asing saja. “Jadi IOM harus mengklarifikasi bantuan yang diberikan tersebut kepada masyarakat. Jangan sampai masyarakat berasumsi justru Pemko Medan lebih peduli terhadap imigran asing ketimbang rakyatnya sendiri,” kata Armansyah. (dinamikarakyat.com)

Prioritas?
Terlepas dari apapun pe­nyebabnya, Imigran kerap mendapat perlakuan istimewa di Kota Medan. Mereka sering mendapat bantuan logistik, tunjangan langsung dan bergaya hidup mewah. Sementara untuk warga sipil, harus berjibaku hanya untuk mendapatkan sepiring nasi. Ditambah lagi adanya akses khusus bagi imigran gelap dalam memperoleh pekerjaan (menjadi buruh kasar atau tenaga ahli pada sejumlah perusahaan tambang di Sumut), dikhawatirkan akan menimbulkan konflik di kemudian hari.

Indonesia memiliki peraturan ketat yang mengatur prihal pendatang asing, mulai dari peraturan keimigrasian, Peraturan Pemerintah, hingga undang-undang kewarganegaraan. Bagi warga negara asing, untuk dapat bekerja sementara, mendapat suaka, berwisata, di Indonesia harus memiliki dokumen izin resmi (visa). Jadi, siapapun tidak diperkenankan untuk mendatangkan orang asing sesuka hatinya ke negara ini.

Begitu juga halnya dengan sistem politik balas budi ter­hadap para investor (asing). Pemerintah sekarang sangat apik dalam membungkus kerjasama terselubung atau politik balas budi dengan negara lain yang telah membantu finansial Indonesia.

Setelah mendapat pinjaman luar negeri, pemerintah bersedia menerima secara diam-diam ribuan orang asing untuk dipekerjakan pada sejumlah proyek strategis. Kondisi ini tentu sangat disayangkan, mengingat pengangguran di Indonesia terus bertambah, pemerintah justru lebih membela kepentingan para imigran asing.

Contohnya ada dari Proyek PLTU Celukan Bawang di Bali yang hampir 80 persen mempekerjakan warga asing tanpa memiliki dokumen resmi. Perlahan tapi pasti, pemerintah mulai menggeser sitem ekonomi kekeluargaan dan menggantinya menjadi neo kapitalis. Itu artinya telah terjadi pengkhianatan terhadap UUD 1945, namun banyak diantara kita khususnya para pejabat dan elit politik terkesan cuek dalam menghadapi persoalan imigran gelap.
*) Penulis adalah Alumni FH UMSU 2014

Close Ads X
Close Ads X