Benang Kusut Lembaga Praperadilan

Oleh : Raju Moh. Hazmi

Belum lama ini Mahkamah Agung kembali mengeluarkan SEMA ( Surat Edaran Mahkamah Agung) nomor 1 Tahun 2018 tentang larangan Pengajuan Pra Peradilan Bagi Tersangka Yang Melarikan Diri Atau Sedang Dalam Status Daftar Pencarian Orang (DPO) tertanggal 23 Maret 2018.

Lahirnya SEMA ini berangkat dari fakta semakin banyaknya permohonan praperadilan diajukan oleh tersangka, padahal berbarengan itu status Daftar Pencarian Orang (DPO) masih bercokol dan sedang dikejar oleh aparat penegak hukum. Alhasil, tatkala si tersangka mengajukan permohonan praperadilan raganya tak hadir di persidangan, malahan melenggok dari jerat hukum.

Sebut saja kasus permohonan PK (peninjauan Kembali) yang pernah diajukan Lesmana Basuki, Toni Suherman, Samadukin Hartono, Joko S. Tjandra, Sudjino Timan, Nasrun Arbain, Tri Wiyasa, Sudirman, dan yang terakhir kasus La Nyalla Mattaliti.

La Nyalla misalnya, memohon praperadilan ke PN Surabaya. Saat yang sama ia menggandeng status Daftar Pencarian Orang (DPO). Lain halnya dengan rekam kasus yang lain. Lesmana Basuki selaku Presdien Direktur PT. SBU menjadi terpidana perkara korupsi penjualan surat-surat berharga berupa commercial paper yang merugikan keuangan negara sebesar Rp 209 Miliar. Pada tanggal 25 Juli tahun 2000, Mahkamah Agung mengetuk palu 2 tahun penjara. Namun, jaksa tak dapat mengeksekusi lantaran terpidana kabur.

Sejalan dengan itu, lahirnya SEMA ini untuk memagari praktek-praktek hitam bagi tersangka berstatus DPO yang akan melarikan diri dari jerat hukum . Ada 2 muatan pokok isi SEMA tersebut. Dalam hal tersangka melarikan diri atau dalam status daftar pencarian orang (DPO), maka tidak dapat diajukan permohonan peradilan.

Jika permohonan praperadilan tersebut tetap dimohonkan oleh penasihat hukum atau keluargnya, maka hakim menjatuhkan putusan yang menyatakan permohonan praperadilan tidak dapat diterima (niet ovankelijk verklaring).

Pro kontrapun mencuat kepermukaan. Disatu sisi, Keberadaan SEMA ini memastikan bahwa tersangka yang berkelindan statusnya sebagai DPO (Daftar Pencarian Orang) tak dapat lagi mengajukan permohonan praperadilan. Jikalau tetap bersikukuh, hakim menjatuhkan amar putusan permohonan tak dapat diterima (niet ovankelijk verklaring).

Namun, disisi lainnya, SEMA ini berimplikasi memasung tersangka untuk tidak bisa menguji keabsahan formil upaya paksa (penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan) terhadap dirinya yang bermuara melenyapkan hak-haknya untuk mendapatkan akses keadilan sebagaimana yang dijamin oleh kitab undang-undang hukum acara pidana (KUHAP).

Bahkan beririsan dengan itu, putusan praperadilan Jakarta Selatan Nomor 24/Pid.Prap/2018/PN.Jaksel yang dinilai segelintir kalangan semakin memicu membumbungnya “awan mendung” dalam sistem praperadilan kedepannya. Lantas, benarkah demikian ?

Konstruksi Praperadilan

Dahulu, rentang tahun 1848 hingga berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara 1950 dan kembali kepada UUD 1945 (UUD Proklamasi), Sistem peradilan pidana mengenakan “baju” pengaturan Kolonial Herziene Inlansche Reglement (HIR).

Dimasa itu sistem inquisitoir menghiasi wajah peradilan di Negara ini. Tersangka/terdakwa menempati posisi sebagai objek dalam pemeriksaan. Sehingga, sejak pemeriksaan tingkat pertama dihadapan penyidik si tersangka apriori dianggap sudah bersalah.

Akibatnya para penegak hukum rentan memperlakukan si tersangka/terdakwa secara sewenang-wenang, nihil perlindungan, dan bahkan mengebiri hak-hak asasinya sebagai bagian dari titah tuhan.

Seiring bergulirnya waktu, Melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), rezim Herziene Inlansche reglement (HIR) mengalami perombakan mendasar.

Sistem inquisitoir yang semula dianut bermetamorfosis menjadi sistem aquisitoir yang menempatkan tersangka/terdakwa tidak lagi bernaung sebagai objek pemeriksaan.

Sebaliknya, menempatkan tersangka/terdakwa sebagai subjek yang dikaruniai oleh seperangkat hak-hak asasi, harkat-martabat, dan mempunyai kedudukan yang sama di depan hukum (Equality before the law).

Basis fundamental kedudukan yang sama didepan hukum (equality before the law) itulah yang kemudian memantik tumbuhnya cikal lembaga praperadilan. Sebagai suatu sarana perlindungan hak-hak bagi tersangka/terdakwa, lembaga praperadilan mengejawantahkan mekanisme kontrol terhadap tindakan-tindakan yang berpotensi sewenang-wenang dari penyidik dan penuntut umum ketika melaksanakan tindakan upaya paksa, semisal penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penuntutan, penghentian penyidikan, penghentian penuntutan.

Dengan demikian, melalui mekanisme praperadilan tersangka/terdakwa dapat menguji keabsahan upaya paksa yang dilakukan oleh penegak hukum dengan ketentuan hukum dan undang-undang yang berlaku (due process of law).

Ikhwal Surat Edaran

Lahirnya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 Tahun 2018 menetaskan langkah progresif bagi mahkamah agung. Disatu sisi, ini menjadi “nadi” yang berdenyut diantara balutan kekosongan hukum yang melanda organ praperadilan. Akan tetapi disisi lainnya, kedudukan Surat Edaran kembali menjadi sorotan tajam yang semakin memperuncing disparitas tafsir diantara bentangan peraturan perundang-undangan. Tatkala norma pasal 79 KUHAP menjamin hak-hak tersangka/terdakwa untuk mengajukan permohonan praperadilan, pengaturan setingkat Surat Edaran mementahkannya. Dengan begitu, apakah Surat Edaran tersebut dapat menegasikan keberadaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ?.

Menelisik konsep peraturan perundang-undangan yang tertera dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan Peraturan Perundang-undangan, hierarki peraturan perundang-undangan terdiri dari UUD 1945, TAP MPR, UU/Perppu, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kab/Kota. Tidak ada penyebutan Surat Edaran secara eksplisit.

Senada dengan itu, menilik dari kacamata Teori Hukum Administrasi Negara. Surat Edaran (circulaires) adalah sebuah produk dari perbuatan tata usaha Negara yang bertujuan menampakkan keluar suatu kebijakan tertulis (naar buiten gebrach schricftelijk beleid).

Fungsinya sebagai bagian dari operasional penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan. Sehingga, kedudukan Surat Edaran Hanya sebatas pseudo wetgeving/spigelsrecht (hukum bayangan) yang berimplikasi tidak bisa mengubah, menyimpangi, dan tidak termasuk kedalam jenis peraturan perundang-undangan (P.J.P. Tak. 1991. Rechtsvorming in Netherlands. Samson H.D. Tjeenk Willink. Open Universiteit. Page 129. Terj. Ridwan HR : 2011).

Dengan begitu materi muatan yang dituangkan dalam surat edaran hanya mengikat “intra-organ” lembaga negara dan tak dapat menegasikan peraturan perundang-undangan setingkat Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, atau Peraturan Presiden. Berdasarkan itulah SEMA tak dapat memberangus hak-hak terangka/terdakwa untuk mengajukan permohonan praperadilan sebagaimana yang dijamin norma Pasal 79 KUHAP.

Perluasan Objek dan Darurat Payung Hukum

Terlepas dari polemik terbitnya Surat Edaran Mahkamah Agung. Pasca Putusan Praperadilan Jakarta Selatan nomor 24/Pid.Prap/2018/PN.Jaksel, Realitas praperadilan kembali menyisakan lubang menganga. Putusan tersebut memerintahkan sejumlah nama untuk ditetapkan sebagai tersangka terkait kasus dugaan korupsi dana talangan Bank Century. Putusan ini pun semakin memperkeruh objek pemeriksaan praperadilan.

Betapa tidak, Merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 dan norma pasal 2 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 4 Tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan. Objek pemeriksaan praperadilan hanya menyangkut sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, penetapan tersangka, penyitaan, penggeledahan, ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

Hal itulah yang kemudian menggariskan bahwa pemeriksaan di tingkat praperadilan hanya sebatas mendiagnosis aspek formil, bukan malah menyungsup kearah substansi perkara sebagaimana dalam putusan praperadilan Jakarta selatan.

Dalam batas penalaran yang wajar, putusan tersebut mengakibatkan konflik norma dan mendobrak batasan objek pemeriksaan praperadilan yang digariskan dalam Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016. Akibatnya, Objek praperadilan kembali mengalami perluasan dan ini semakin melanggengkan keambiguan dalam sistem praperadilan kedepannya.

Untuk mengurai benang kusut tersebut, seyogyanya diperlukan sebuah langkah yang strategis, sistematis, dan efektif. Pengaturan pada taraf yang lebih tinggi sebagai “payung hukum” harus segera dilahirkan. Bertepatan dengan itu, momentum agenda revisi KUHP dan KUHAP Nasional harus dimanfaatkan oleh pemerintah untuk menata kembali lembaga praperadilan di Negara ini.

Diperlukan Political will (kemauan pemerintahan) untuk segera menginisiasi perbaikan dalam aspek pengaturan hukum acara khusus praperadilan. sehingga kedepannya kepastian hukum yang menyangkut tapal batas objek hingga kewenangan hakim dalam pemeriksaan ditingkat praperadilan dapat diwujudkan. Semoga.

*) Mahasiswa Pascasarjana Program Magister Ilmu Hukum Universitas Andalas

Close Ads X
Close Ads X