Aturan Paspor Layu Sebelum Berkembang

Dirjen Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM RI akhirnya membatalkan persyaratan kepemilikan tabungan Rp25 juta bagi pemohon pembuatan paspor, Senin (20/3). Pembatalan ini setelah memperhatikan protes dan keberatan masyarakat.

Kebijakan paspor Rp 25 juta sebenarnya ditujukan bagi calon TKI yang berpotensi menjadi TKI ilegal dan terjebak kejahatan perdagangan orang. Kontroversi kemudian muncul, bagaimana duit Rp 25 juta bisa mencegah tindakan perdagangan orang? Termasuk persoalan mencegah TKI non-prosedural, bisakah?

Melihat kenyataan di lapangan, dengan biaya Rp300an ribu, masih saja calon TKI yang tak mau buat paspor dan memilih “jalur belakang”, non-prosedural alias TKI ilegal. Mereka berharap bisa memangkas pengeluaran, alias lebih murah dengan jalur belakang.

Akibat selanjutnya yang terjadi, TKI ilegal ini jadi korban. Kerja melampaui jam kerja, kadang ditunda gaji, bahkan tak digaji.

Kalau sudah begini, TKI harus menerima. Ia bisa dilapor, diancam majikan sebagai TKI ilegal. Terjepit TKI. Mau keluar dari mulut harimau, akan masuk ke lubang buaya. Gambaran terjepitnya TKI di atas, masih di bawah kadar susah dibandingkan kasus TKI yang mengalami kejahatan perdagangan orang.

Ada oknum-oknum calo pemberi tenaga kerja, baik calo secara individu, berkelompok atau lembaga abal-abal, menjanjikan kerja kepada calon TKI tanpa perlu bawa modal sepeser pun.

Tak bisa disalahkan, jika calon TKI percaya. Mereka datang dari latar yang penuh kelemahan. Lemah secara ekonomi, lemah pengetahuan, dan tak berpengalaman. Beginilah rata-rata calon TKI sehingga banyak jadi babu dan kuli di negeri orang.

Mengenai calon TKI yang mengalami kejahatan perdagangan orang, jika pun nantinya bisa membebaskan dirinya, calon TKI ini masih terancam dan berhadapan dengan polisi di negeri yang dituju.

Sama dengan kasus TKI ilegal yang digambarkan di atas. Menjadi status ilegal, “budak haram”. Terancam diciduk, dipenjara, dan cambuk yang menanti. Lagi-lagi terjepit. Masih banyak lagi kasus lain. Misalnya pergi alasan wisata tiga hari, tetapi tak balik-balik lagi. Paling bermasalah adalah adalah calon TKI modal seadanya dan nekat, menempuh “jalur belakang”.

Di jalur belakang ini malah lebih rentan terjebak kejahatan perdagangan orang sekaligus kehadiran TKI ilegal di negeri orang. Lalu bayangkan yang terjadi calon TKI yang bermodal nekat ini. Mengandalkan dan mempercayakan hidup di negeri orang pada orang tak dikenal.

Buta di negeri orang; kontak putus dengan kerabat, teman atau pihak lain; bahasa tak dikuasai, maka makin tak berdaya dan menerima saja diciduk dan dihalau oleh pelaku sindikat perdagangan orang.

Gambaran di atas bisa jadi latar kebijakan paspor Rp25 juta. Tujuan sebenarnya baik, mengatasi semua potensi masalah terhadap calon TKI. Akan tetapi, kebijakan ini masih tak efektif dan berpotensi masalah baru seperti tergambar di atas.

Ditjen Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM RI sudah membatalkannya. Perlu solusi dan sinergi bersama antara pihak yang terkait yang mengirim warga keluar negeri. Penguatan kerja sama sehingga potensi masalah-masalah ini bisa diatasi dan tak ditanggung pihak imigrasi semata. Sampai-sampai harus mengeluarkan kebijakan paspor Rp 25 juta.

Calon- calon TKI akan terus bermunculan. Mereka bermunculan karena latar ekonomi lemah sedang negeri belum mampu menyediakan pekerjaan buat mereka. Bagi segolongan calon TKI lainnya, kemunculan bisa karena iming-iming penghasilan yang lebih tinggi di negeri orang.

Apa pun tipenya, calon TKI ini hendak membantu ekonomi keluarga, atau hendak memberi nafkah keluarga, atau hendak hendak memandirikan dirinya sendiri ada kerja. Mereka tidak ingin menganggur, atau tak mau menjadi beban buat keluarga dan sekitar. (*)

Close Ads X
Close Ads X